Melihat Penundaan Pemilu sebagai Wacana Ekstra Konstitusional

Fayasy Failaq
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM
Konten dari Pengguna
9 Juni 2022 12:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fayasy Failaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Melihat Penundaan Pemilu sebagai Wacana Ekstra Konstitusional
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Wacana ekstra konstitusional adalah hal yang sering dibicarakan pra reformasi oleh para pakar politik maupun hukum. Pasca reformasi beserta semakin sempurnanya UUD 1945, wacana ini sudah jarang diperbincangkan, bahkan tindakan ekstra konstitusional juga hampir sudah tidak ada. Upaya untuk mewujudkan tindakan itu dengan beragam jenisnya sudah tidak relevan dan harus ditolak tentunya.
ADVERTISEMENT
Atas nafsu politik, beberapa politisi dan partai menyampaikan keinginannya untuk melakukan tindakan tersebut dalam bungkus penundaan Pemilu tahun 2024 -saya akan jelaskan kemudian mengapa hal itu termasuk ekstra konstitusional. Alasan utama yang digunakan oleh mereka adalah adanya sebab kedaruratan berupa stabilitas ekonomi Tanah Air yang mengharuskan Pemilu ditunda hingga 1-2 tahun. Namun apakah kedaruratan yang berbentuk demikian dapat menghalalkan tindakan ekstra konstitusional itu dilakukan?
Beberapa NGO yang bergerak dibidang ke-Pemilu-an dalam Rilis Media berjudul “Usulan Penundaan Pemilu 2024: Melanggar Konstitusi dan Merusak Sistem Demokrasi di Indonesia” telah merespon wacana ini sebelumnya. Secara singkat alasan mereka menolak wacana ini adalah: (1) Tidak relevannya alasan stabilitas ekonomi dengan penundaan pemilu; (2) contempt of constitution dan merampas hak rakyat; dan (3) pragmatisme politik parpol serta rendahnya komitmen untuk menjaga dan menegakkan prinsip demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pemaksaan ekstra konstitusional
Berangkat dari pertimbangan dan kajian yang dilakukan oleh NGO sebagaimana disebutkan di atas, penundaan Pemilu hanyalah nafsu politik dan kesia-siaan. Melengkapinya, Pakar HTN Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa ide penundaan pemilu adalah sikap dari teroris konstitusi. Kalau dirasionalisasi sikap terorisme memberikan ancaman yang luas, maka teroris konstitusi mengancam konstitusi dan memberikan ketakutan terhadap rakyat.
Sementara jika dipaksakan tetap berlaku, penundaan pemilu akan menjadi tindakan ekstra konstitusional yang dipaksakan. Terdapat dua alasan, pertama, mekanisme asli yang konstitusional terkait Pemilu sudah jelas pada pasal 7 dan 22E UUD NRI 1945, khususnya terkait masa jabatan Presiden-Wakil Presiden adalah selama 5 tahun. Kedua, penundaan pemilu menyimpangi aturan tersebut dan dipaksakan agar diterima oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemaksaan tindakan ekstra konstitusional ini disertai fakta bahwa sudah tidak relevan lagi tindakan ini dilakukan. Pada awal kemerdekaan sering ada kelembagaan maupun tindakan hukum jenis ini karena memang belum sempurnanya konstitusi dan aturan konstitusional saat itu. Soekarno bahkan mengamini bahwa UUD 1945 yang ada saat itu adalah UUD sementara revolutiegrondwet. Sehingga tindakan semacam itu adalah wajar dilakukan untuk mencegah permasalahan mendasar bagi Indonesia.
Bahkan Prof. Jimly Asshiddiqie ketika ditanyakan oleh penulis terkait ekstra konstitusional, menurutnya hal tersebut secara eufemistis dianggap konstitusional. Maksudnya secara halus tindakan-tindakan tersebut diterima dan secara halus dianggap konstitusional. Oleh karena itu dalam hal-hal yang sudah pernah terjadi, tindakan demikian boleh-boleh saja asal memiliki legitimasi serta urgensi yang jelas. Jelas yang dimaksud adalah tidak adanya tindakan lain yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan kecuali tindakan ekstra konstitusional tersebut.
ADVERTISEMENT
Kalau berbicara legitimasi hukum, tentu ekstra konstitusional tidak berangkat dari kepastian hukum melainkan tindakan politis. Berdasarkan klasifikasi legitimasi Franz Magnis Suseno (legitimasi hukum, legitimasi etis, dan legitimasi sosial) maka legitimasi yang paling mungkin adalah legitimasi sosial. Artinya kunci tindakan ekstrakonstitusional diterima adalah pada penerimaan masyarakat, atau setidaknya ada unsur kepentingan masyarakat yang betul-betul fundamental.
Lantas apakah Penundaan Pemilu dapat menjadi ekstra konstitusional yang diterima? Selain sudah tidak relevan, kebutuhan masyarakat yang dikatakan ada pada kedaruratan berupa stabilitas ekonomi itu tidak dirasakan secara riil. Penundaan Pemilu juga bukan satu-satunya solusi yang dapat menyelesaikan itu, negara ini tidak mati jika tidak dilakukan penundaan pemilu.
Bahaya kedepan
Dekrit Presiden adalah tindakan ekstra konstitusional yang paling masyhur dibicarakan dalam jagat politik dan ketatanegaraan Indonesia. Khususnya Dekrit Soekarno 5 Juli 1949 yang berhasil membubarkan kelembagaan Konstituante yang saat itu sedang menyusun Undang-Undang Dasar baru. Tindakan dekrit ini terlegitimasi ketika didukung oleh rakyat serta kekuatan politik yang ada saat itu.
ADVERTISEMENT
Dengan tempo yang singkat tindakan ekstra konstitusional dekrit memang menyelamatkan kemelut politik saat itu. Namun disisi lain kemudian menjadi pintu gerbang otoritarianisme demokrasi era Soekarno terpimpin pascanya. Untuk itu penting sekali untuk menghindari tindakan ekstra konstitusional ini, apalagi jika disertai itikad politik yang buruk akan amat sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi kedepannya.
Penundaan Pemilu 2024 berangkat dari masalah yang lebih sepele daripada Dekrit Presiden. Memaksakan kehendak untuk menerapkannya adalah penyepelean terhadap penyimpangan konstitusi oleh nafsu politik, bahkan contempt of constitution. Jika nafsu-nafsu seperti ini dibiarkan kedepannya akan menjadi preseden pelanggaran konstitusi yang lebih besar dan merugikan rakyat.
Fayasy Failaq, SH
(Alumni FSH UIN Sunan Kalijaga 2021, Penulis Skripsi Legitimasi Tindakan Ekstra Konstitusional dalam Ketatanegaraan Indonesia)
ADVERTISEMENT