Aldi Taher dan Serampangannya Ruang Politik di Indonesia

Felia Primaresti
Peneliti di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
Konten dari Pengguna
27 Juli 2023 22:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felia Primaresti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aldi Taher di pendaftaran bacaleg dari Partai Perindo, di Kantor KPU Jakarta Pusat, Jumat (15/4). Foto: Haya Syahira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aldi Taher di pendaftaran bacaleg dari Partai Perindo, di Kantor KPU Jakarta Pusat, Jumat (15/4). Foto: Haya Syahira/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aldi taher adalah satu soal yang layak mendapatkan perhatian dari kita sebagai masyarakat suatu negara. Bukan tanpa alasan, lantaran kemunculannya merupakan pintu masuk bagi kita untuk melihat sejauh mana sistem perpolitikan di Indonesia berjalan. Yang ternyata apabila didalami lebih jauh, fenomena Aldi Taher tak sesederhana artis nyeleneh yang tidak bisa kita harapkan sebagai kandidat calon legislatif untuk pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Sebagai konteks, ramai-ramai Aldi Taher bermula dari berita pencalonannya untuk pemilu 2024, yang ternyata dibawa oleh dua partai politik sekaligus, yaitu Partai Perindo (Partai Persatuan Indonesia) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Tak sampai di situ saja, dalam banyak wawancara, Aldi Taher dengan lantang selalu menyampaikan bahwa ia sendiri sebetulnya juga bingung dan tidak tahu mengapa dirinya maju dalam kontestasi politik 2024.
Hal ini misalnya ia sampaikan dalam wawancaranya bersama Tsamara Amany dalam kanal Youtube Komisidotco. Dalam sesi wawancara tersebut, Tsamara Amany menanyakan perihal rencana pencalonan Aldi Taher dalam kontestasi politik 2024, namun alih-alih menjawabnya dengan serius, Aldi justru malah bertanya balik kepada Tsamara “kamu mau atau enggak saya nyaleg? kalau kamu mau saya maju sekarang”.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan satu hal dari sekian banyak sikap Aldi Taher yang menunjukkan betapa dirinya belum siap menjadi wakil rakyat di parlemen. Mungkin saja tidak seserius itu, dengan sikapnya yang aneh, Aldi coba menyampaikan bentuk kritiknya terhadap lembaga legislatif yang memang dalam kehidupan nyata, kinerjanya dinilai tidak serius dan cenderung serampangan. Terlepas dari apa pun yang sebenarnya terjadi, uniknya fenomena kemunculan Aldi Taher ternyata direspons dengan penuh sukacita oleh masyarakat.
Kendati demikian, tulisan ini sedang tidak mencoba untuk menganalisis bagaimana perilaku Aldi Taher atau bagaimana respons masyarakat terhadapnya. Lebih dari itu, mencuatnya fenomena Aldi Taher setidaknya bisa kita amati dan komentari dari perspektif implementasi aturan di dalam internal partai politik dan perangkat pemilu yang menyertainya.
ADVERTISEMENT

Implementasi AD/ART dalam Partai Politik

Setiap partai politik yang terdaftar resmi dan diakui negara setidaknya selalu mencantumkan sebuah kewajiban di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) mereka untuk para anggota. Salah satu dari banyaknya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para anggota adalah keanggotaan yang bersifat tunggal. Artinya, setiap anggota partai politik tertentu tidak boleh rangkap menjadi anggota partai politik lain di waktu yang bersamaan.
Perindo dan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai partai politik yang namanya mencuat karena mencalonkan Aldi Taher, sebenarnya juga sudah melakukan mekanisme yang kurang lebih serupa. Dalam AD/ART Perindo misalnya, pasal 43 ayat (4) tentang kewajiban anggota disebutkan bahwa semua anggota Partai Perindo tidak boleh merangkap sebagai anggota partai politik lain. Sama halnya dengan Perindo, PBB dalam AD/ART nya juga menyampaikan hal tersebut tepatnya pada Bab I Pasal 1 tentang keanggotaan.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari hal tersebut, secara logika hukum, Aldi tidak bisa melakukan pencalonan legislatif dengan merangkap partai. Ini kemudian menjadi pertanyaan juga bagaimana bisa satu orang yang sama didaftarkan menjadi calon legislatif ke KPU oleh dua partai sekaligus. Padahal, mekanisme pendaftaran partai politik, khususnya dalam hal ini adalah Perindo dan PBB sudah tersistem secara online melalui web dan aplikasi.
Bahkan, mekanisme pendaftaran partai-partai ini sudah mewajibkan calon anggotanya untuk memasukkan NIK atau Nomor Induk Kependudukan. Seharusnya, ketika NIK seseorang sudah terdaftar dalam satu sistem partai politik tertentu, secara otomatis dia sudah tidak bisa didaftarkan dalam sistem partai politik yang lain.
Selain itu, AD/ART setiap partai politik juga mengatur terkait sanksi apa saja yang diberikan kepada anggotanya. Dalam hal ini, keanggotaan ganda dalam partai politik merupakan sebuah pelanggaran, namun hingga hari ini setidaknya belum ada berita yang merilis terkait pemberian sanksi kepada Aldi Taher, baik dari Perindo maupun PBB. Alih-alih memberikan sanksi, dikutip dari Detik.com (05/2023) Ketua DPW Perindo DKI Jakarta, Effendi Syahputra justru malah menyatakan dukungan sepenuhnya kepada Aldi Taher terkait pencalonannya lewat Perindo, walaupun sudah jelas diketahui bahwa KPU mengembalikan berkas Aldi karena adanya data ganda.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, mengutip juga dari Detik.com (05/2023) PBB melalui Sekretaris Jenderalnya, Afriansyah Noor menyampaikan kepada wartawan bahwa ia secara pribadi sudah memblokir akses komunikasi kepada Aldi Taher. Hal ini ia lakukan lantaran menurutnya Aldi tidak memiliki etika pencalonan. Ia juga menambahkan bahwa di awal Aldi memintanya untuk mengajari dirinya mengenai politik, tapi di tengah jalan Aldi justru malah berpaling ke partai lain.
Yang kemudian menjadi pertanyaan dari adanya dua sikap tersebut adalah, apa yang menjadi landasan hubungan suatu partai politik dengan anggotanya? Apabila jawabannya adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, hal ini lantas sudah tidak relevan lagi dengan adanya fenomena Aldi Taher, yang menurut peraturan seharusnya diberi sanksi. Namun, apabila ternyata landasan hubungan antara partai politik dan anggotanya berdasarkan sentimen pribadi, lalu apa gunanya AD/ART dan fungsi organisasi yang lain?
ADVERTISEMENT

Partai Politik yang Kandidat-Sentris dan Lemahnya Pendidikan Politik

Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa sebagian besar partai politik di Indonesia secara ideologis bermasalah. Artinya, mereka tidak berani menyatakan secara tegas di mana spektrum politik yang mereka miliki ini berada. Pilihannya hanya ada dua, kanan atau kiri. Namun alih-alih memilih satu dari dua di antaranya, kebanyakan di Indonesia secara seragam mengeklaim diri mereka sebagai nasionalis-pancasilais atau nasionalis-agamis.
Cara yang seperti ini kemudian berimbas pada kaburnya tujuan serta visi misi partai itu sendiri. Siapa yang mereka perjuangkan dan apa yang coba mereka tawarkan menjadi tidak jelas. Hal yang kemudian terjadi adalah, banyak partai yang menerapkan strategi yang sifatnya kandidat-sentris alih-alih menjual visi dan misi serta tujuan daripada partai itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kandidat-sentris di sini memiliki arti bahwa suatu Partai Politik selalu menyorot dan fokus pada sosok-sosok tertentu yang memiliki tingkat popularitas tinggi untuk mendongkrak elektabilitas mereka. Fenomena ini kemudian dengan jelas dapat kita lihat dari maraknya fenomena artis beramai-ramai masuk menjadi anggota parpol. Mulai dari Verrel Bramasta yang menjadi kader PAN (Partai Amanat Nasional), Ahmad Dhani dan anak-anaknya yang masuk Gerindra (Partai Gerakan Indonesia Raya), Tina Toon yang masuk PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Giring Nidji masuk PSI (Partai Solidaritas Indonesia) hingga Aldi Taher yang masuk ke Perindo (Partai Persatuan Indonesia) dan PBB (Partai Bulan Bintang).
Terlebih dalam konteks Aldi Taher, ia secara terang-terangan selalu menyampaikan dalam setiap wawancara bahwa dirinya juga bingung dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan dalam rangka merespons pencalonannya untuk pemilu 2024. Pernyataan Aldi tersebut kemudian juga diperparah dengan tanggapan Ketua DPW Partai Perindo DKI Jakarta, Effendi Syahputra yang menyebutkan bahwa ia akan terus memperjuangkan pencalonan Aldi Taher lewat Perindo. Hal ini ia lakukan lantaran menurutnya, Aldi merupakan sosok yang tulus mau melayani masyarakat.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, “tulus” merupakan konsep abstrak yang ukuran dan indikatornya tidak jelas. Sedangkan, calon wakil rakyat harus secara jelas dan detail menyampaikan tujuan serta visi misi pencalonannya, sehingga apa yang ia bawa nantinya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Ketidakmampuan kader partai dalam merancang visi misi ini kemudian juga menimbulkan satu pertanyaan baru berkaitan dengan bagaimana partai politik selama ini menjalankan pendidikan politiknya kepada para kader. Ini tentu sudah diatur secara legal formal dalam AD/ART setiap partai, namun lagi-lagi perlu dikaji lebih dalam terkait materi apa saja yang disampaikan selama masa kaderisasi, dan sejauh mana kaderisasi tersebut bisa berjalan secara efektif.
Untuk level kepengurusan pusat, pendidikan politik mungkin saja sudah diimplementasikan dengan baik melalui misalnya modul-modul keanggotaan yang PSI buat, atau Golkar Institute milik Partai Golkar. Kendati demikian, perlu adanya pendalaman terkait pendidikan politik utamanya dalam kepengurusan di tingkat Kabupaten/Kota. Kader juga perlu diajarkan bagaimana menjaring aspirasi dari bawah, bagaimana cara membuat visi misi, menyusun rencana kerja dan lain-lain.
ADVERTISEMENT

Komisi Pemilihan Umum dan Ketidakjelasan Sistem

Terlepas dari implementasi AD/ART parpol dan juga lemahnya pendidikan politik yang selama ini ada. Komisi Pemilihan Umum sebagai perangkat penyelenggaraan pemilu juga turut andil dalam kacaunya sistem dan ruang politik di Indonesia. SIPOL (Sistem Informasi Partai Politik) dan SILON (Sistem Informasi Pencalonan) merupakan dua sistem KPU berbasis online yang digunakan untuk menyediakan informasi terkait partai politik dan pencalonan kandidat legislatif.
Secara lebih spesifik, SIPOL adalah sistem berbasis web yang digunakan untuk menginput informasi seputar profil dan keanggotaan parpol dari level pusat sampai dengan kabupaten/kota. Sedangkan Sistem Informasi Pencalonan adalah sistem yang dibuat KPU dalam rangka pendataan calon legislatif.
Lagi-lagi, dengan pendataan yang semuanya tersistematisasi dengan jelas melalui web idealnya hal tersebut justru memudahkan KPU dalam melacak kandidat calon legislatif yang memiliki keanggotaan ganda di dua parpol. Anehnya, sistem-sistem tersebut justru seakan malah tidak membantu KPU sama sekali. Dengan bantuan sistem, adanya keanggotaan ganda seharusnya bisa dideteksi lebih dini ketika anggota parpol atau kandidat calon legislatif memasukkan data mereka ke dalam sistem KPU.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, seharusnya calon kandidat legislatif yang memiliki keanggotaan ganda seharusnya tidak lolos ke tahap verifikasi berkas, karena sedari awal tidak memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam PKPU bahwasannya persyaratan administratif bakal calon adalah menjadi anggota dari satu partai politik.

Saran dan Rekomendasi

Berangkat dari fenomena di atas, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki ruang politik di Indonesia. Pertama, partai politik harus secara konsisten dan tegas dalam mengimplementasikan AD/ART yang mereka setujui sendiri. Hal ini berkaitan dengan bagaimana partai memiliki komitmen yang tegas dan konsisten dengan apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama dalam organisasi.
Kedua, fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan kaderisasi. Pendidikan politik jangan hanya dimaknai secara normatif dengan memberikan pengetahuan terkait kewarganegaraan. Lebih dari itu, pendidikan politik juga harus bisa menyasar cara-cara menjaring aspirasi masyarakat, membuat visi dan misi serta hal-hal lain berkaitan dengan isu-isu sosial kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, KPU sebagai perangkat penyelenggara pemilu juga harus memperbaiki sistem pendataan partai politik, anggota partai politik dan juga kandidat calon legislatifnya. Dengan demikian, harapannya kejadian pendaftaran kandidat calon legislatif dengan partai ganda seperti yang dilakukan Aldi Taher tidak akan terjadi lagi.