Hati-hati Dwifungsi TNI

Feri Amsari
Anak kampung. Peminat studi hukum tata negara, konstitusi, perbandingan hukum, dan hukum pidana.
Konten dari Pengguna
11 Maret 2019 10:20 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Feri Amsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berencana menempatkan beberapa perwira menengah dan tinggi militer pada “kursi khusus” dalam pemerintahan sipil. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, yang mengusulkan rencana itu. Menurutnya, figur prajurit dianggap tepat atau lebih profesional mengisi kursi tertentu dalam jabatan sipil.
ADVERTISEMENT
Sikap Luhut itu mengingatkan publik tentang peran dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang dilaksanakan Orde Baru. Pilihan yang bertentangan dengan gagasan reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membatasi peran militer pada jabatan sipil dan politik.
Semangat reformasi itu ditulis pada Pasal 30 Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa TNI hanya bertugas untuk mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Ketentuan itu jelas menentukan bahwa nomenklatur tugas konstitusionalitas TNI adalah alat pertahanan negara, bukan petugas administrasi negara.
Meski begitu, makna pertahanan dalam praktiknya semakin diperluas. TNI dalam menjalankan tugas pertahanan negara tidak sekadar menjadi angkatan perang an sich menghadapi musuh negara lain. Anggota TNI aktif juga diperbolehkan mempertahankan negara yang menghadapi musibah kemanusiaan dengan menjadi pejabat pada badan pencarian dan pertolongan (search and rescue).
ADVERTISEMENT
Penafsiran yang sama juga diperbolehkan bagi anggota TNI aktif dalam menghadapi serangan narkotika terhadap “keamanan negara” dengan menjadi pejabat Badan Narkotika Nasional. Tafsir itu masih sangat rasional.
Lebih jauh, perluasan makna tugas anggota TNI aktif diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ketentuan itu membatasi jabatan sipil yang dapat diduduki anggota TNI aktif, yaitu hanya pada kantor koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung. Berdasarkan UU yang sama, selain jabatan yang disebutkan di atas, anggota TNI hanya dapat menjabat setelah pensiun atau mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
Sehingga berdasarkan UUD 1945 dan UU TNI, penempatan TNI aktif pada jabatan sipil merupakan pelanggaran konstitusi serius. Setiap pelanggaran konstitusi dapat berdampak pada pemberhentian (remove from the office) melalui forum pemakzulan (impeachment) bagi presiden dan/atau wakil presiden.
Polisi Militer TNI. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Penyebab Dwifungsi
Peran ganda militer pada negara-negara berkembang dan otoriter memang dipertanyakan. Namun, apa yang menyebabkan militer merasa perlu “ikut campur” pada kedaulatan sipil tersebut?
Setidaknya terdapat dua alasan utama yang menyebabkan seorang prajurit “tergoda” jabatan publik. Pertama, tingkat kesejahteraan prajurit yang rendah sehingga jabatan sipil terasa menggiurkan. Bahkan pada entitas bisnis pemerintah dan swasta tertentu selalu terdapat figur prajurit atau mantan prajurit. Bukti bahwa ketidaksejahteraan prajurit terjadi sampai pensiun. Rendahnya tingkat kesejahteraan itu yang menggoda prajurit mencemplungkan diri memperebutkan jabatan sipil dan politik.
ADVERTISEMENT
Banyak pilihan untuk mengatasi godaan milter itu. Salah satunya tentu saja dengan meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan layak tapi bersyarat. Persayaratannya sederhana, yaitu sama sekali tidak diperkenankan menduduki jabatan sipil atau politik kecuali pensiun.
Lalu pertanyaan besarnya, kenapa politisi tidak berkenan membuat UU TNI yang dapat menjamin kesejahteraan prajurit? Apakah karena prajurit TNI yang tidak sejahtera dapat dipergunakan untuk kepentingan politik?
Kedua, godaan berkuasa merupakan penyakit global militer. Godaan yang sama terjadi pada banyak negara, terutama di Asia dan Afrika. Bahkan pada negara seperti Vietnam, Thailand, Zimbabwe, Burkina Faso, Kongo, Ghana, dan Uganda, kudeta yang melibatkan militer terjadi berkali-kali. Akibatnya, stabilitas bernegara menjadi kondisi yang tidak pernah terjadi.
Itu sebabnya dwifungsi atau penugasan perwira aktif atau apapun namanya, dapat berpotensi menjadi penyimpangan peran utama militer sebagai alat pertahanan negara. Pilihan pemerintah melibatkan militer dalam jabatan sipil telah mengubah definisi demokrasi menjadi “dari militer, oleh militer, untuk pemerintahan militer.” Pada titik itu, negara demokrasi telah beralih menjadi negara militeristik.
ADVERTISEMENT
Langkah Jokowi
Jokowi dan Sultan Bolkiah kunjungi Mabes TNI. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Untuk menjaga agar militer tidak tergoda jabatan sipil dan politik, presiden dapat menempuh upaya pembaharuan kesejahteraan militer. Misalnya, gagasan bahwa gaji pimpinan militer tertinggi tidak boleh lebih dari 10 kali lipat gaji prajurit terendah. Dengan begitu, peningkatan kesejahteraan para jendral secara otomatis akan berdampak pula pada prajurit terendah. Atau, Jokowi dapat menjalankan konsep gaji minimum prajurit yang empat kali besaran gaji pegawai administrasi sipil.
Mungkinkah Jokowi “berani” mewujudkan profesionalitas TNI dengan menjauhkannya dari kekuasaan sipil dan politik di tengah gempuran kelompok ultra kanan pada pemerintahan? Bagi Jokowi yang merupakan pemimpin negara dari golongan sipil, tentu ini menjadi simalakama.
Jika peran sipil TNI ditolak maka kelompok ultra kanan sangat mudah menyerang Jokowi. Jika TNI diberi ruang, maka ancaman kudeta terus menghantui. Tapi Jokowi harus sadar bahwa coup d’etat jauh lebih menakutkan dan mudah dilakukan militer. Berhati-hatilah, Tuan Presiden!
ADVERTISEMENT