Kita Butuh Banyak Insinyur dan Saintis

Ferizal Ramli
Ekspatriat-Konsultan Manajemen & IT domisili di Hamburg. Chairman IASI - Ikatan Ahli Sarjana Indonesia Jerman 2014-2016 #dariTepianLembahSungaiElbe
Konten dari Pengguna
11 November 2018 16:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferizal Ramli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penelitian (Foto: luvqs)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penelitian (Foto: luvqs)
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, ini bukan masalah Indonesia saja. Ini masalah umum di hampir semua negara, bahkan di negara-negara industri maju sekalipun lulusan sarjana sosial jauh lebih banyak ketimbang Insiynur dan Saintis.
ADVERTISEMENT
Negara yang berhasil menutup atau memperkecil "gap" atau celah antara lulusan sosial dengan insinyur dan saintis itu akan mudah melakukan inovasi-inovasi teknologi.
Khusus untuk Insinyur Indonesia, saat ini sesungguhnya "on track". Terutama dengan dikembangkannya politeknik dan sekolah vokasi ke level diploma 4 (sarjana terapan) membuat terbangunnya tradisi pendidikan Insinyur terapan. Ini membuat Indonesia memiliki source besar untuk menghasilkan para insinyur terapannya. Tinggal kualitas pendidikannya harus dijaga dan ditingkatkan.
Insinyur itu memang sulit jika semata-mata dihasilkan dari universitas. Dikarenakan, universitas itu sifatnya umum, membuka semua cabang ilmu, jadilah terkadang universitas agak "mengabaikan" untuk mendidik para insinyur, apalagi saintis.
Sejauh ini, solusi yang dicanangkan yakni dengan membangun institut teknologi atau universitas teknologi untuk memberikan kekhususan pada bidang sains dan teknologi. Ini juga solusi tepat, hanya jika dikombinasikan dengan politeknik atau sekolah vokasi akan lebih hebat lagi hasilnya.
ADVERTISEMENT
Sedikit refleksi ke Jerman: Ada sekitar 450-an perguruan tinggi (PT tidak buka level di bawah Sarjana). Paling hanya 120-an yang universitas, dan dari 120 itu, paling sekitar 20-an yang Technische Universität atau universitas teknik. Yang 100-an adalah universitas umum, meskipun mereka tetap membuka fakultas teknik atau sains, hanya umumnya mahasiswa kluster ilmu sosial.
Selain itu, ada sekitar 330 program vokasi yaitu Fachhochschule (University of Applied Science, 60% Praktek dan 40% Teori) serta Duales-Studium (University of Corporate Education, 80% Praktek dan 20% Teori). Fachhochschule dan Duales-Studium ini lembaga pendidikan paling produktif mencetak para insinyur. Di program ini, sebagian besar telah berhasil mencetak para insinyur.
Untuk Indonesia, kita juga "on track". Kita punya sarjana teknik terapan yang dididik oleh politeknik dan sekolah vokasi. Belum lagi universitas dan institut teknologi juga mencetak para insinyur.
Kita Butuh Banyak Insinyur dan Saintis  (1)
zoom-in-whitePerbesar
Jadi, di titik ini kita tidak akan kekurangan para insinyur. Tinggal kualitas pendidikan para insinyurnya yang harus semakin ditingkatkan. Jadilah, para insinyur kita akan jadi "Kapten-Kapten Industri" yang akan memimpin unit-unit tempurnya menghasilkan produk berkualitas.
ADVERTISEMENT
Yang agak kritis adalah pendididikan saintis kita. Lihatlah dalam gambar Mapping Scientific Excellent di dunia. Indonesia cuma berupa nokta kecil saja yang amat tidak signifikan perannnya.
Kita Butuh Banyak Insinyur dan Saintis  (2)
zoom-in-whitePerbesar
Hebatnya, untuk emerging country: Cina dan India yang masuk dalam katagori terbaik dalam hasilkan saintis. Di luar itu hanya negara maju yang hasilkan banyak saintis.
Kita Butuh Banyak Insinyur dan Saintis  (3)
zoom-in-whitePerbesar
Universitas di Indonesia sendiri tidak banyak cetak saintis, sementara politeknik dan sekolah vokasi tidak bisa didik saintis. Nah, kita secara kuantitas (jumlah) memang relatif panceklik saintis. Selain itu, pendidikan saintis punya tantangan tersendiri. Di negara-negara maju, pendidikan saintis itu tidak berhenti di level Bachelor atau S1.
Di negara maju, pendidikan saintis umumnya mereka bina sampai level S3 atau Doktoral. Dikarenakan seorang saintis yang umumnya "Pure Scientist" butuh dididik sampai jenjang pendidikan tertinggi untuk menguasai metodologi ilmu sebagai dasar riset mereka. Jadilah kelak mereka akan berperan sebagai "Kolonel-Kolonel Laboratorium Inovasi".
ADVERTISEMENT
Para Saintis ini memegang kunci penting inovasi sebuah bangsa. Jika para Insinyur adalah "Kapten-Kapten Industri", maka para Saintis yang Doktoral adalah "Kolonel-Kolonel Inovasi". Perguruan Tinggi di Indonesia harus memberikan perhatian lebih untuk ini.
Posisi saintis kita relatif kritis, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ada baiknya PTN di Indonesia membuat program seluruh Fakultas MIPA-nya dari lulus SMA, dididik langsung sampai minimal S2 melalui program terusan. Tentu ada gelar S1-nya BSc dan S2-nya Master, hanya programnya didesain terusan tanpa henti, misalkan 6 tahun. Kalau perlu disediakan beasiswa berlimpah untuk hal ini.
Ini akan menjadi stimulus untuk para lulusan SMA untuk jadi saintis, dan malah ingin lanjut sekolah hingga Doktor di bidang sains. Jadilah, Indonesia akan kaya dengan Para "Kolonel-kolonel Inovasi" masa depan.
ADVERTISEMENT
#dariTepianLembahSungaiElbe
Ferizal Ramli