Merdeka dari Kemiskinan

Ferryal Abadi
Lecturer/Socioprenuer/Writer
Konten dari Pengguna
18 Agustus 2020 7:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferryal Abadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia dengan penuh semangat. Foto: Gratsias Adhi Hermawan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia dengan penuh semangat. Foto: Gratsias Adhi Hermawan
ADVERTISEMENT
Bukan karena rakyat Indonesia malas bekerja atau tidak mau berusaha. Tapi rakyat sudah bekerja maksimal hasilnya masih tetap sama. Orang miskin tetap miskin dan orang kaya bertambah kaya. Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur kemiskinan, menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Bank Dunia resmi mengelompokkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas dengan ( Gross National Income ) GNI per kapita antara US$ 4.046 hingga US$ 12.53 per tahun.
ADVERTISEMENT
Selama 75 tahun merdeka apakah rakyat Indonesia sudah merdeka dari kemiskinan? Penulis tidak akan menjawab dari variabel atau indikator ekonomi makro dan mikro yang seperti diajarkan oleh dosen-dosen di Fakultas Ekonomi. Penulis juga tidak akan menerangkan dengan angka-angka atau data-data statistik yang membuat pembaca menjadi pusing dan bingung. Tapi mari kita lihat indikator yang terlihat dari mata kepala kita sendiri.
Potret kemiskinan di Indonesia. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pertama, apakah kita masih sering melihat banyaknya tukang ojek pangkalan di suatu daerah. Jika daerah tersebut masih banyak ojek pangkalan berarti di sekitar daerah tersebut masih banyak kemiskinan. Mencari pekerjaan sangat sulit dan butuh pendidikan serta ketrampilan yang memadai. Sedangkan lapangan kerja sangat terbatas. Maka pekerjaan yang paling mudah adalah menjadi tukang ojek pangkalan. Dengan modal motor bekas yang tidak terlalu mahal bisa langsung bekerja. Tidak perlu bikin surat izin mengemudi (SIM) karena rute tidak keluar jalan besar atau punya smartphone seperti ojek online.
ADVERTISEMENT
Kedua, apakah kita masih sering melihat orang yang membantu kita untuk mengatur lalu lintas di setiap putaran atau yang lebih dikenal polisi cepek/pak ogah. Jika daerah tersebut masih ada atau banyak berarti daerah tersebut masih banyak kemiskinan. Hanya modal keberanian mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ketiga, apakah kita masih sering melihat pedagang asongan di setiap lampu merah di daerah kita. Jika masih ada berarti kemiskinan masih banyak di daerah tersebut. Memang bisa saja pedagang asongan tersebut berasal dari luar daerah. Untuk berdagang di tempat yang tetap mungkin mereka tidak punya biaya menyewa toko atau kios sehingga lebih baik berjualan keliling atau menjadi pedagang asongan.
Keempat, lihat di sekeliling rumah kita apakah masih banyak anak putus sekolah atau masih banyak anak jalanan. Selain itu apakah masih banyak rumah kumuh dan mendirikan rumah di tanah-tanah pemerintah. Jika di perkotaan banyak rumah kumuh maka di pedesaan masih banyak rumah tidak layak huni.
ADVERTISEMENT
Dari empat indikator tersebut rasanya kita belum merdeka dari kemiskinan di negeri ini masih banyak orang sulit mencari pekerjaan dan sulit untuk berkesempatan membuka usaha. Di negara maju pun pasti akan ada orang miskin atau kemiskinan karena kemiskinan tidak akan hilang dari muka bumi ini. Namun bukan berarti kita membiarkan terjadinya kemiskinan karena pasti akan terjadi. Di sinilah peran pemimpin atau pemerintah dalam mengurangi kemiskinan. Hampir semua negara di dunia berupaya untuk mengatasi kemiskinan.
Mengatasi kemiskinan bukan hal yang mudah namun bukan juga hal yang sulit. Buktinya banyak negara di dunia yang bisa mengatasi atau mengurangi kemiskinan. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam yang berlimpah seharusnya mampu mengurangi kemiskinan. Namun hingga 75 tahun kemerdekaan rasanya masih belum optimal dalam mengatasi kemiskinan. Dari satu Presiden ke Presiden lainnya masih belum membuahkan hasil dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Rakyat Indonesia masih banyak yang dalam kesulitan dalam meningkatkan perekonomian.
ADVERTISEMENT
Akses kemudahan pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan di antara banyak cara. Dengan pendidikan yang lebih baik diharapkan sumber daya manusia Indonesia lebih berkualitas. Anggaran pendidikan 20% masih belum memberikan akses pendidikan bagi rakyat Indonesia padahal negara-negara lain yang berhasil dan menjadi negara maju karena mampu meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik. Kita sudah mempunyai kartu Indonesia Pintar yang berhasil membantu banyak anak-anak Indonesia. Namun sebagian besar hanya hanya untuk sekolah negeri. Untuk sekolah negeri dan swasta ada dana BOS ( Bantuan Operasional Sekolah ) bagi semua sekolah. Lagi-lagi banyak kendala dan belum maksimal. Namun bantuan itu hanya sampai Sekolah Menengah Atas ( SMA ). Setelah terbantu sampai SMA, anak yang tidak mampu ekonominya langsung mencari kerja bukan kuliah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Perguruan Tinggi Negeri ( PTN ) hanya terbatas dan seleksinya lebih ketat selebihnya ke Perguruan Tinggi Swasta. Tidak semua PTS mempunyai kualitas dan infrastruktur yang bagus. Regulasi pendidikan yang selalu berubah membuat PTS harus cepat beradaptasi padahal kemampuan PTS terbatas. Itulah yang menyebabkan perguruan tinggi di Indonesia kalah bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan rumah pemerintah ke depan sangat berat. Bonus demografi akan menjadi beban yang berat jika pemerintah tidak memperbaiki dari sekarang. Jika anak Indonesia banyak yang putus sekolah tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi dan perguruan tinggi tidak mampu bersaing dengan kampus di luar negeri maka kualitas SDM kita akan rendah. Yang lulus sampai SMA hanya akan bekerja di sektor non formal atau pada tingkatan operator. Sedangkan yang lulusan perguruan tinggi tidak bisa mencapai level manajerial karena akan di isi oleh tenaga asing. Jika ini terjadi maka kemiskinan akan terus menerus dan kita tidak akan merdeka dari kemiskinan.
Ferryal Abadi, Dosen Magister Manajemen, Universitas Esa Unggul, Jakarta.