PSBB, Resesi, dan Depresi

Ferryal Abadi
Lecturer/Socioprenuer/Writer
Konten dari Pengguna
12 September 2020 10:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferryal Abadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi resesi ekonomi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi resesi ekonomi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB ) secara ketat bukan PSBB transisi akan kembali diberlakukan hari Senin 14 September 2020 di DKI Jakarta. Dengan tingkat kenaikan jumlah orang yang positif terkena virus COVID-19 dan jumlah orang yang meninggal meningkat maka Pemerintah Daerah DKI Jakarta memutuskan untuk menerapkan PSBB ketat. Ada banyak kota di dunia yang berhasil menekan penyebaran COVID-19 namun ada juga kota lainnya yang belum berhasil termasuk DKI Jakarta. Pengumuman Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang sangat mengejutkan tapi demi keselamatan dan kesehatan bersama tentu ini memang harus dilakukan. Satu korban meninggal tentu merupakan tanggung jawab seorang pemimpin.
ADVERTISEMENT
PSBB akan mempunyai dampak yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Khususnya ekonomi. Berkaca pada PSBB awal diterapkan perekonomian menjadi lumpuh total. Pusat-pusat ekonomi ditutup sehingga dari usaha kecil hingga usaha besar mengalami kerugian. Mungkin hanya pedagang masker, pedagang herbal, dan obat-obatan yang mengalami keuntungan. Namun di luar itu keadaannya semakin sulit. Ribuan usaha tutup dan diikuti oleh pemecatan hubungan kerja (PHK) karyawan. Pertumbuhan ekonomi yang negatif dan daya beli yang rendah. Para pengamat ekonomi mengatakan bahwa Indonesia sudah masuk ke dalam resesi ekonomi.
Setelah PSBB di awal COVID-19 berhasil menekan laju COVID-19 maka masuk ke dalam PSBB transisi yang kemudian banyak orang menyebutkan “new normal” atau sebuah tatanan baru dalam melakukan aktivitas. Pusat-pusat ekonomi seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan sudah bisa buka kembali walau ada pembatasan jumlah pengunjung. Penggunaan masker, jaga jarak, dan sering mencuci tangan wajib dijalankan. Keadaan ini hanya sesaat dan masyarakat sepertinya sudah mulai lupa atau terbiasa hidup bersama virus COVID-19. Disiplin menggunakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan mulai tidak dilaksanakan. Jika tidak ada yang mengingatkan maka masyarakat melakukan aktivitas seperti biasa saja. Di awal PSBB masyarakat sibuk mencari masker dan membeli masker walau masker mahal. Tetapi ketika masker kembali murah justru masyarakat malas membeli dan tidak menggunakannya.
ADVERTISEMENT
PSBB dan resesi akan menyebabkan depresi. Depresi adalah suatu kondisi medis berupa perasaan sedih yang berdampak negatif terhadap pikiran, tindakan, perasaan, dan kesehatan mental seseorang (wikipedia). Sewaktu PSBB pertama kali dilaksanakan banyak orang stres dan depresi khususnya ibu-ibu/istri. Bagi istri yang bekerja di kantor harus melakukan pekerjaan yang multifungsi di rumah. Melakukan pekerjaan untuk kantor, mendampingi anak yang sekolah dan pekerjaan rumah lainnya yang biasanya tidak dilakukan. Bagi ibu-ibu/istri yang tidak bekerja harus mendampingi anaknya sekolah online padahal biasanya setelah anak-anak berangkat sekolah bisa melakukan aktivitas lainnya. Seorang suami pun demikian ketika bekerja di rumah akan menjadi stres dan depresi karena banyak gangguan dari berbagai hal khususnya jika mempunyai anak balita. Rumah pekerja di Indonesia rata-rata kecil sehingga tidak ada ruangan untuk bekerja khusus dan akhirnya bekerja di kamar tidur, ruang tamu atau di ruang makan.
ADVERTISEMENT
Depresi apalagi yang tidak bekerja terkena PHK atau usahanya tidak bisa beroperasi karena penerapan PSBB. Tidak digaji tidak bisa membayar cicilan, membayar anak sekolah, dan keperluan hidup lainnya. Depresi karena hidup semakin berat dengan beban ekonomi yang berat. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah belum tentu diterima atau kalaupun diterima belum mencukupi. Mau usaha atau berdagang susah akibat daya beli turun. Mau menggunakan digital tidak punya uang buat beli kuota atau tidak tahu cara menggunakannya.
Depresi karena COVID-19 mulai mewabah di daerah tempat tinggal kita. Korban semakin lama semakin banyak bahkan kapasitas rumah sakit dan pemakaman sudah hampir tidak bisa menampung korban yang banyak. Bahkan ada suatu daerah yang hampir tiap hari memasang bendera kuning karena warganya meninggal karena COVID-19.
ADVERTISEMENT
Ketika Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan pengumuman soal PSBB diperketat kembali masyarakat menyambutnya dengan pro dan kontra. Bahkan ada penjabat yang menyalahkan IHSG anjlok karena pengumuman PSBB diperketat. Dengan pengumuman tersebut seharusnya kita semua sadar bahwa apa yang telah kita lakukan selama ini yaitu saat PSBB transisi tidak menjalankan SOP kesehatan secara disiplin. Kita seperti bergembira dan melupakan COVID-19 padahal setiap hari dan setiap detik korban berjatuhan. Undangan makan-makan, kumpul-kumpul, dan resepsi acara pernikahan sudah mulai marak. Di setiap weekend jalan menuju puncak macet. Walau menerapkan SOP COVID-19 kita tidak pernah tahu kalau di salah satu tamu kita adalah orang tanpa gejala (OTG). Dan juga banyak yang menerapkan SOP COVID-19 ala kadarnya dan seadanya. Kendaraan umum di Jakarta seperti Bis Transjakarta dan Komuter Line pada jam-jam tertentu berdesak-desakan dipenuhi oleh penumpang.
ADVERTISEMENT
PSBB yang diperketat dijadikan momentum untuk kita menjadi lebih disiplin menjaga kesehatan. Kesehatan ekonomi, kesehatan jasmani dan kesehatan rohani sama pentingnya. Namun saat pandemi ini kesehatan yang lebih diutamakan karena jika kita sakit maka kita tidak bisa bekerja mencari nafkah dan bisa menularkan kepada orang lain. Jika kita semua disiplin pasti PSBB diperketat akan berlaku sesaat. Resesi yang ada di depan kita akan lebih baik kita hadapi jika kondisi kita semua sehat secara jasmani dan rohani. Akan lebih berbahaya jika kita masuk dalam resesi tapi kondisi kita dalam keadaan depresi.
Ferryal Abadi, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Esa Unggul, Jakarta.