Stigmatisasi Politik dan Masyarakat

Fiderman Gori
Penulis Merupakan Penggiat Literasi Sosial
Konten dari Pengguna
31 Mei 2022 16:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fiderman Gori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Paxels.com
zoom-in-whitePerbesar
Paxels.com
ADVERTISEMENT
Tampaknya kita sudah tidak asing dengan fenomena kontestasi dan kompetisi politik di negeri ini, sebab hal itu telah menjadi hidangan setiap lima tahun dalam ajang pergantian pemegang jabatan kepemimpinan di Republik ini. Realita politik cukup banyak memberikan kita penjelasan secara kontekstual dan kompleks, bahwa kontestasi politik mendominasi berbagai forum formal maupun informal sebagai tempat untuk mendapatkan simpatisan.
ADVERTISEMENT
Para aktor politik atau politisi, baik politisi lama maupun politisi baru mulai sibuk menciptakan siklus politik baru dengan tujuan untuk menakar, memetakan, dan mengkalkulasikan relasi politik di masyarakat lebih interaktif. Dari landscape demokrasi semuanya sah-sah saja, karena jika di kaji dari prespektif demokrasi merupakan determinasi kemajuan berpikir dalam memaknai demokrasi politik yang di idam-idamkan selama ini.
Pemilu 2024 sudah di depan mata pola dan strategi pemasaran di dalam politik sudah mulai di tampilkan di kacamata publik secara terbuka, meski idealnya masih pada taraf semi politik yang yang belum sempurna. Beranekaragam langkah di ambil untuk membangun inisiasi kolektif masyarakat, mulai dari melirik partai politik sampai dengan mengajak (persuasif) massa sebagai dukungan kompeten. Karena bagi petualangan politik, waktu adalah kesempatan dan peluang besar yang harus dimanfaatkan lebih optimal. Hal demikian di lakukan tidak lain untuk mengangkat popularitas dan elektabilitas dari para tokoh politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Aktivitas politik praktis jelang pemilu memang bukan rahasia umum lagi di tengah-tengah masyarakat. Perjalanan panjang dari masa ke masa dan dari waktu ke waktu tentang praktik politik pada dasarnya memiliki gaya dan model yang sama yakni, produk ide, gagasan atau visi misi sebagai bentuk akselerasi kedaulatan rakyat dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan yang berkeadilan. Hanya saja yang membedakannya menurut saya perangkat yang di gunakan saat ini untuk melakukan transaksi pesan politik jauh lebih mudah dan praktis (modern) dari beberapa tahun sebelumnya.
Nafas politik dengan berbagai macam aroma berhembus kencang dan padat di masyarakat secara masif. Dengan munculnya para figur politik baru menandakan ruang politik semakin ketat dan kuat untuk diperebutkan dengan konsensus agar mendapatkan suara tertinggi dari masyarakat yang notabene merupakan penentu kemenangan. Sehingga, demokrasi politik melalui pemilu menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam memilih pemimpinnya secara demokratis (azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil)
ADVERTISEMENT
Masyarakat adalah satu bidang yang tidak dapat terpisahkan dalam proses politik, sebab masyarakat dan politik memiliki peran dalam penguatan demokrasi yang akuntabel. Selain dari pada itu, hubungan politik dan masyarakat sangatlah erat, dikarenakan masyarakatlah yang membentuk sebuah sistem politik untuk suatu kendaraan menuju apa yang masyarakat butuhkan.
Stigma Politik
Politik adalah jembatan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah melalui sebuah sistem pemilu. Politik menjadi syarat mutlak sebagai bentuk afirmasi dari pada kedaulatan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial.
Perjalanan politik kita memang tidak bergerak linear dan baik-baik saja sesuai dengan esensi politik pada dasarnya yakni, perubahan dan kesejahteraan dan lain sebagainya. Jalan terjal demokrasi politik kita adalah suatu gambaran kongkrit kepada masyarakat, bahwa situasional dari pada politik yang tidak sehat mengundang tingkat kepercayaan masyarakat sebagai partisan politik menjadi minim. Dimana, politik yang seharusnya mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, namun konsep tersebut masih sulit untuk di temukan oleh masyarakat sebagai jawaban konstruktif dari politik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Stigmatisasi politik oleh masyarakat memang sulit untuk di bendung akibat pengaruh dari perilaku politik yang mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi (populisme). Dari stigmatisasi politik tersebut, membuat tingkat kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam politik sangat sedikit. Konsep demokrasi yang pro rakyat yakni, "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat", namun berbanding terbalik menjadi "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk pribadi". Sehingga, masyarakat mengkonotasikan politik hanya sebagai instrumen penipuan, kebohongan dan akal-akalan retorika belaka.
Berdasarkan data survei yang digelar pada pada 11-21 Februari 2022. Total responden survei dari tersebut berjumlah 1.200 orang dari seluruh provinsi di Indonesia secara proporsional. Lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis hasil survei soal tingkat kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi. Dalam hasil survei tersebut, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik sebesar 54,2 persen. Sementara DPR sebesar 61,2 persen dan DPD sebesar 64,7 persen. Survei itu menunjukkan institusi demokrasi yang paling krusial, seperti partai politik, DPR, DPD, dan MPR, justru mendapat kepercayaan publik relatif rendah dibanding institusi demokrasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Dari rangkain penjelasan tersebut di atas, juga tidak bisa di pungkiri jika faktor lain dari pada memburuknya stigma politik di sebabkan oleh masyarakat itu sendiri, karena ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran untuk mempelajari dan memahami tentang apa esensi politik itu sebenarnya. Sehingga, pandangan atas politik menjadi konflik kesalahpahaman yang tidak pernah selesai.
Oleh karena itu, masyarakat harus lebih up to date terhadap isu-isu sosial dan politik negeri ini, sebab masyarakat bagian terpenting dari tubuh politik yang akan menjadi mitra terikatnya.
Untuk menciptakan dinamika politik yang kondusif, tenteram dan damai, partai politik atau politisi tidak hanya fokus pada peningkatan elektabilitas partai atau figur partai politik. Akan tetapi jauh lebih afdol jika para politisi mencoba memperbaiki medan perpolitikan melalui pendidikan dan pemahaman politik yang sehat dan segar untuk membentuk kesadaran diri masyarakat akan pentingnya politik. Dengan demikian, stigmatisasi politik dari masyarakat dapat di minimalisasi dan berpengaruh pada peningkatan kualitas demokrasi politik kita menjadi lebih partisipatif pada Pemilu 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT