Hampir Meregang Nyawa di Pendakian Pertama

Fikri Nur Fauzi
Mahasiswa Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
14 Juli 2021 20:44 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Nur Fauzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi golden sunrise di puncak 1. (Foto: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi golden sunrise di puncak 1. (Foto: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Tanah berpasir bercampur kerikil seolah menjadi teman sekaligus musuhku, cucuran keringat di dahi menjadi obat rasa hausku, kerikil yang terselip di jemari kaki terasa menusuk disetiap langkahku. Ahh sial, aku kehilangan kendali, terperosok jatuh di turunan pasir yang terjal….”
ADVERTISEMENT
Berawal pada awal bulan Juli 2018, temanku yang bernama wahyu mengajakku untuk ikut di pendakiannya di salah satu gunung di Garut, Jawa Barat yaitu Gunung Guntur. Dengan minimnya pengalaman mendaki yang aku punya, menjadi cobaan sekaligus tantangan bagiku jika menyetujui ajakannya.
Awalnya aku ragu setelah membaca artikel terkait gunung tersebut yang terkenal dengan julukan “Semeru Mini” karena memiliki karakter trek berpasir dan kerikil layaknya Gunung Semeru, aku pun semakin matang untuk menolak tawaran pendakian kali ini. Karena dirasa cukup berbahaya bagi pendaki yang notabene nya belum mempunyai pengalaman mendaki gunung.
Setelah ia memastikan jika gunung itu mampu kulalui, akup un merasa lebih berani untuk menalukkan puncak gunung tersebut. Setelah diberi izin orang tua untuk mendaki, aku pun segera menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan dan logistik yang akan dibawa untuk keberangkatan nanti malam. Ditemani 7 orang lainnya, memulai perjalanan di tengah malam dengan kapasitas muatan mobil yang cukup penuh, dan tak terasa sesampainya di basecamp pendakian gunung Guntur via Citiis menjelang waktu subuh.
ADVERTISEMENT
Meluruskan tubuh yang sempat tidak bergerak di dalam mobil adalah hal yang pertama aku lakukan sesampai di basecamp, menikmati nasi goreng Bu Tati yang teramat manis dan ditemani segelas teh hangat sebagai pondasi perut sebelum mendaki. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, langkah kecil dengan sepatu running yang diprediksi akan jebol sepulang mendaki membuatku pasrah.
Kebugaran fisik adalah hal utama yang dibutuhkan pendaki, dengan ajakan yang mendadak, aku pun berangkat dengan fisik yang ala kadarnya. Baru setengah jam berjalan wajah ku tampak pucat pasi, diikuti gejala mual di perut. Setelah fisik kembali pulih, perjalanan dilanjutkan menuju pos 3 pamulangan yang memakan waktu tempuh sekitar 4 jam dalam tempo perjalanan yang santai.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui pos 1 dan pos 2, akhirnya tiba di pos 3 yang menjadi pos terakhir untuk mendirikan tenda dan beristirahat untuk summit attack. Udara dingin dan sautan seseorang yang membangunkan tidurku pertanda untuk melakukan summit, segera bergegas menyiapkan peralatan yang dibutuhkan dan yang paling utama adalah senter. Melakukan summit malam hari mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Ditambah trek berpasir yang membuat penglihatan sedikit terganggu dengan debu yang beterbangan. Langkah kaki dan jarak pandang di depan yang lebih aku utamakan, rasa letih bercampur was-was sudah menjadi penghilang rasa hausku. Berjalan 5 langkah dan akan turun di langkah ke-2 menjadi tantangan tersendiri, teriakan “AWAS BATU” dari atas yang membuat ku semakin menjaga jarak pandang ku di depan, karena kata-kata itu akan ada batu yang meluncur bebas ke arah bawah dengan diameter bervariasi.
ADVERTISEMENT
Perjuangan itu aku rasakan kurang lebih selama 3 jam untuk sampai Puncak 1 (Puncak Guntur). Terasa terbayar kontan rasa letih itu dengan indahnya panorama matahari terbit dengan latar kota Garut, Gunung Cikuray, dan Gunung Papandayan. Kawah besar yang mengeluarkan uap panas bekas letusan gunung waktu dulu, pertanda jika Gunung Guntur masih aktif dan menjadi spot istimewa di Puncak 1.
Sembari menikmati pemandangan sabana yang terbentang luas di Puncak 1, tak jauh di penglihatan terpampang puncak lagi yang diselimuti rerumputan. Tergugah hati ini untuk menaikinya yang dirasa belum cukup puas menikmati panorama alam dari Puncak 1. Dengan napas yang terengah-engah dan langkah kaki yang mulai melambat tiba lah juga di Puncak 2 (Puncak Kabuyutan). Puncak 2 hanya terlihat beberapa kawah kecil untuk menghangatkan tubuh dan monumen tugu GPS dari ahli vulkanologi yang menjadi spot favorit para pendaki.
ADVERTISEMENT
Tak cukup waktu lama untuk memulihkan stamina, waktunya turun untuk bergegas pulang. Pandangan mata tertuju ke bawah saat turun gunung memang membuat mental pendaki teruji. Kontur tanah lembab di Puncak 2 membuat permukaan menjadi licin terlebih lagi tidak ada acuan batu untuk berpegangan. Kulakukan dengan sangat hati-hati, tergelincir pun tak terelakkan bagiku untuk seorang pemula. Aku tak bisa mengontrol kecepatan langkahku yang semakin membawa tubuh ku menukik ke bawah, alhasil aku mempunyai inisiatif untuk menjatuhkan diri ke tanah.
“Aman gak?” saut wahyu, sambil melihatku berjalan terengah-engah.
Aku mencoba menenangkan diri sambil bercerita tentang kejadian jatuh yang membuat sandal gunung yang kupakai putus dibagian belakang.
“Nih, nanti pas turun pake tumit trus badan lebih condong kebelakang biar gak nyusrug kaya tadi.” kata wahyu
ADVERTISEMENT
“Tapi lu jagain gua ya di depan kalo ada apa-apa” sambil aku mengencangkan sandal gunung yang putus dengan tali.
Perjalanan turun dari puncak 1 ke tempat camp dimulai, tinggal aku dan wahyu dari rombongan yang masih berada di atas. Dengan tingkat kemiringan pada 45 derajat dan benar-benar mata hanya tertuju ke bawah untuk pertama kalinya membuat ku merasa gugup. Kerikil yang sering kali terselip masuk ke alas sandal terasa seperti menusuk di langkahku. Disisi lain wahyu yang memakai sepatu sampai menutupi mata kaki memang tidak merasakan penderitaan ini.
Debu yang beterbangan, terik matahari yang menghujam kulit, kaki terasa ditusuk, membuat konsentrasi memudar seketika.
“Way...., tolongin gua…..” aku yang berteriak saat tubuhku menukik ke arah depan.
ADVERTISEMENT
Terlihat wahyu yang menengok kebelakang, mempersiapkan kuda-kuda untuk siap membanting tubuh ku ke bawah. Benar saja, bantingan yang ia pelajari selama menjadi guru silat benar diterapkan kepada ku. Terbanting ke arah bawah sekitar 5 meter, bongkahan batu yang menjadi penyelamatku untuk segera menggapai agar tidak terperosok lebih jauh. Nyawaku benar-benar terselamatkan untuk yang kedua kalinya. Mengosongkan pikiran dan fokus di setiap langkah yang membawaku selamat setelah terjatuh. Bulatnya tekad untuk selamat sampai bawah membuat rasa sakit di kaki semakin tertutupi.
Sesampai di pos 3 langsung membersihkan diri di salah satu mata air terdekat dan dilanjutkan packing barang. Perjalanan turun dari pos 3 sampai basecamp Citiis sepertinya akan terasa mudah dilewati karena sudah merasakan kejadian yang berat. Perjalanan turun menikmati vegetasi pepohonan yang asri membuat perjalanan turun tak terasa sudah sampai di basecamp dengan tenang walaupun saat di pos 2 aku sedikit salah jalur, dan ada orang baik yang menegurku untuk tidak melewati jalur tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam pendakian ini memang banyak kejadian yang didapati hikmah dan pelajarannya. Terlepas dari itu semua, memang niat untuk mendaki gunung ini untuk menambah pengalaman. Benar saja, banyak sekali pengalaman baik dan buruk yang aku rasakan untuk bekal dalam perjalanan selanjutnya.
(Fikri Nur Fauzi, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)