Menyemai Asa Di Museum Geologi

Konten dari Pengguna
29 Januari 2018 18:53 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Sopian Sauri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mbah Didan memiliki “museum” kecil di rumahnya. Ruangan bekas gudang di pojok dekat perpustakaan keluarga, diubahnya menjadi museum sejak ia lulus kuliah, zaman pendudukan Jepang. Benda-benda koleksinya cukup beragam mulai dari buku tua, majalah, koran harian zaman pergerakan, perkakas petani, sampai boboko yang sudah bopeng bentuknya . Sebagian koleksi museumnya adalah warisan dari ayah Mbah Didan. Sisanya didapat dari penjual barang-barang lawas dari beberapa daerah, di Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang mendorong Mbah Didan sering mengunjungi museum-museum di Indonesia. Khususnya ke museum geologi begitu rutin, karena dekat dari rumahnya. Setiap berkunjung selalu bersama cucu-cucu kesayangan. Museum geologi, baginya tidak hanya tempat percontohan bagi museum pribadinya. Bukan pula tempat mengenal asal-usul, unsur-unsur kebumian, sejarah, dan kekayaan sumber daya alam Indonesia semata. Namun, dari museum itu kita dapat mempelajari pula tentang peristiwa bencana alam yang sudah dan akan terjadi, dengan penjelasan sains. Lalu berupaya mengurangi dampak bencana itu atau mitigasi bencana.
Dalam satu kesempatan, Mbah Didan bertemu kenalannya. Sebut saja Pak Ma’mur Kepala Departemen Pendidikan dan Informasi Museum Geologi. Ia memandu cucu-cucu Mbah Didan melihat benda-benda yang dipamerkan. Pak Ma’mur bilang, bahwa Indonesia itu sangat kaya sumber daya alamnya, kalau saja dikelola dengan sungguh-sungguh, akan menyejahterakan rakyat. Di sisi lain, bayang-bayang bencana alam seperti gempa tetap ada. Karena Indonesia terbentuk dari tiga lempengan, atau bagian kulit bumi yang terus bergerak. Makanya selalu ada gempa bumi. Nah, hal itu terjadi karena pergerakan lempengan di bawah laut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, berkunjung ke museum laksana berziarah ke peradaban masa lampau. Atau melihat kehidupan bumi dari sisi lain sekaligus mempelajari peristiwa alam. Untuk memaknai masa lampau, memahami masa kini, dan merumuskan masa depan. Kita boleh dan baik sekali mengajukan pertanyaan untuk mengusir dahaga rasa ingin tahu soal kebumian, misalnya, bagaimana kehidupan bumi zaman purba, apa beda dan persamaannya dengan zaman now? Bisa didapatkan jawabannya dengan bukti-bukti kongkrit kasat mata dari pelbagai museum, wabil-khusus di museum geologi. Bagitu juga, dapat dilihat serta dipelajari nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat tertentu sebelum terpengaruh tekhnologi atau pandangan dunia dari luar.
Sulit dibayangkan jika di sebuah negeri tak ada museum. Persis seperti akuarium tanpa ikan.
ADVERTISEMENT
Kesenangan Mbah Didan mengoleksi barang lawas tidak datang begitu saja. Juga kepeduliannya pada sejarah tidak muncul dalam ruang dan jiwa yang hampa. Ia mengenang ayahnya yang hidup di zaman penjajahan Belanda. Dipupukkannya kesadaran akan pentingnya sejarah dan museum. Ditekankan pula padanya, bahwa sejarah tidak semata proses rekontruksi masa lalu, lebih dari itu sejarah adalah wujud bangunan kesadaran.
Nilai-nilai dari sang ayah itu diwariskan pula oleh Mbah Didan pada generasi salanjutnya. Kini sang peneliti usianya sudah senja. Ya, kemilau lagit senja keemas-emasan yang hangat, semilir angin jelang mentari terbenam dibalik gunung yang mengelilingi kota Bandung, ia habiskan mengasuh cucu, menghibur diri, serta menyemai asa kepada kids zaman now, bahwa dari museum ke museum adalah cara bercermin melihat diri dan peradaban. Kemudian merumuskan apa, mengapa, dan bagaimana anak-anak zaman mengisi kemerdekaan ditengah kelimpahan informasi sekarang. Ada sebuah ungkapan yang menarik, kata orang di negara sekuler kitab sucinya adalah buku sejarah, nabinya adalah sejarawan, dan tempat ibadahnya adalah museum.
ADVERTISEMENT
Mbah Didan pamit pulang ke Pak Ma’mur. Tak lupa berterima kasih atas panduannya yang hangat dan menyenangkan cucu-cucunya yang masih remaja. Kabari saya kalau ada koleksi baru, kata Mbah Didan seraya menjabat tangan sang pemandu museum.