Hai, Becak!

finaisme
Wander Mother. @finaisme @totallyrendang
Konten dari Pengguna
24 Januari 2018 11:15 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari finaisme tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi becak. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi becak. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Becak adalah nostalgia. Sebagai anak yang dibesarkan di sebuah kompleks perumahan yang nyempil di riuhnya Jakarta, tahun 80-an pula, melihat becak (dan sejenisnya), seperti mengembalikan serunya masa kecil. Dulu tuh, habis ngikut ibu belanja ke pasar, turun dari mikrolet di depan kompleks, lalu lambai-lambai ke salah satu abang becak yang mangkal. Perjalanan 500 meter ke depan rumah menjadi gong penutup hari eksklusif bersama ibu.
ADVERTISEMENT
Jalanan kompleks saya enggak rata gitu. Jadi, seringkali saya merasa kasian dengan abang becak yang harus turun dari becaknya, agar bisa jalan sambil mendorong di tanjakan, atau menahan lajunya becak saat turunan. Beberapa abang becak terlihat senang kalau alamat yang dituju jauh, berarti besar ongkosnya. Tapi saat matahari terik, saya pun enggak tega mengganggu abang becak yang lagi istirahat di kursi penumpang dan menutup wajah dengan topinya. Atau saat hujan besar, si abang punya penutup dari plastik sebagai tambahan kanopi, tapi abang becaknya, kan kehujanan!
Saya termasuk yang senang saat becak hilang dari peredaran. Apalagi setelah nonton film Indonesia Sayekti dan Hanafi, di mana tokoh Hanafi adalah pengayuh becak yang karena pekerjaannya, mengidap TBC. Kata bapak saya saat itu, banyak becak yang dibuang di laut Ancol. Entah benar atau tidak. Tapi ketiadaan becak berhikmah baik, saya jadi terbiasa jalan kaki ke dalam kompleks. Makanya dulu kurus haha..
ADVERTISEMENT
Meskipun telah punah di Jakarta, lagu 'Hai Becak!' karya Ibu Sud yang legendaris itu, kok ya bisa muncul begitu saja saat saya melihat sejenis becak di depan mata. Beneran!
Kejadiannya pas saya ketemu becak lagi bertahun-tahun kemudian di Jogja di jalan Malioboro. Seru juga nostalgia naik becak, beli bakpia pathuk setelah main di Tamansari. Tapi yang paling seru adalah naik becak di London. Yes, London, baby! Dan ini terjadi 15 tahun setelah ketemu becak di Jogja hahaha.. (iya iya.. saya sudah uzur!).
Saya ketemu abang becak (or mister becak?) di pusat belanja kesohor London, Oxford Street. Karena hanya boleh 2 orang, saya relakan meninggalkan suami dengan 2 balita lain dan menikmati berbecak bersama si sulung. Padahal saya enggak bawa belanjaan apa pun. Tapi demi nostalgia becak! Mister becak juga membolehkan saya nyobain ngayuh becaknya. hahaha.. Cocok enggak?
Hai, Becak! (1)
zoom-in-whitePerbesar
Kalau di Jakarta becak adalah mode transportasi sehari-hari, di Jogja semi-turis, maka di London, becak adalah transportasi TURIS BANGET. Pertama, dia hanya ada di area tertentu, yang ditawarin yang mukanya turis (alhamdulillah, kali ini saya terlihat turis, bukan babysitter). Agendanya keliling landmark London, dan yang paling jelas HARGANYA keterlaluan haha. Tapi enggak apa-apa deh, euforia soalnya nemu becak jauh di Eropa.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, kami ketemu becak yang turis banget di Malaka, Malaysia. Becaknya dihias rameee.. makin rame makin laku sepertinya. Bang becak di sini enggak mau jarak jauh dan tarifnya juga sudah dipatok. A ke B sekian, ke C sekian, dst. Waktu itu ibu saya pengen banget nyobain sementara saya males banget, males liat muka yang ngayuh haha.. mungkin dia lelah, jadi jutek gitu.
Hai, Becak! (2)
zoom-in-whitePerbesar
Kalau selama ini kita ketemu becak versi dikayuh, beda halnya di negara yang disebut sebagai cikal bakal becak, Jepang. Sesuai namanya, Jinrikisha (yang kemudian jadi asal kata 'rickshaw' alias becak di bahasa Inggris), becak di sini masih menggunakan tenaga manusia. Jinrikisha kurang lebih berarti: kendaraan yang ditarik oleh tenaga manusia. Jadi, abang becaknya tidak di belakang mengayuh sepeda, tapi di depan, menarik batang penghubung ke kursi penumpang. Saya ketemu banyak banget abang jinrikisha di kawasan Asakusa, yang memang tempat wisata utama di Tokyo. Posisi mangkal mereka juga persis di seberang information center Asakusa/pintu keluar subway station Asakusa.
Hai, Becak! (3)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi buat saya yang ogah bayar naik becak Tokyo, hal menarik dari becak ditarik ini, justru abang-abang penariknya. Habees.. mereka semua pake hotpants hitam yang super ketat! hahaha.. Selain itu mereka kayak pakai seragam, dari ujung kepala sampe alas kaki. Dan tentu saja becak ini juga versi turis, dengan karakteristik khas: ada di kawasan wisata, jarak tempuh pendek, tarif standar (nggak bisa sesukanya pasang tarif gitu), dan diatur oleh dinas terkait dengan ketat, pokoknya semua serba ketat hahaha.. Untuk bagian terakhir, saya dapatkan informasinya dari teman Jepang yang ngakak ngeliat saya bela-belain foto bareng bang becak Tokyo yang ketat.. eh.. khas. LoL.
Hai, Becak! (4)
zoom-in-whitePerbesar
Nostalgia berbecak saya berakhir tahun lalu, masih bukan di tanah air, tetapi di tanah ginseng, Korea. Belum lama ini ada sekelompok anak muda Seoul yang membuat inovasi baru untuk meramaikan wisata kota mereka. Di bawah bendera 'Artee', mereka menawarkan wisata Seoul yang lain dari biasanya, yaitu tur blusukan dengan tour guide lokal berbahasa asing fasih, sambil mbonceng becak! Untuk menggunakan jasa mereka, saya harus booking sehari sebelumnya (minimal, karena jumlah guide dan sarananya masih terbatas di awal 2017) dan rela membayar 45ribu won (sekitar 500ribu perak) untuk tur terpendek yang mereka punya. Berhubung saya merasa sudah cukup 'khatam' dengan spot wisata yang mereka tawarkan setelah berulang kali bawa tamu (tsaah.. sombong ih fina!), well.. oke.. lebih tepatnya duit segitu bisa untuk jajan makanan kaki lima korea 5 - 10 porsi! ahahaha..
ADVERTISEMENT
Anyway, maka saya izin foto di atas becaknya aja yang mangkal di depan hotel saya. Biar ada kenangan. Buat yang pengen tau, ini di Hotel Lotte L7 Myeongdong, start point Artee di awal kehadirannya sebelum makin beken dan booming hari ini. Becak di Seoul ini juga dikenal sebagai Pedicab dan hanya merambah kawasan Jongno-gu, khususnya Bukchon village dan 3 istana utama. Belum ada di suburb lain, apalagi kota lain.
Hai, Becak! (5)
zoom-in-whitePerbesar
Bernostalgia naik kendaraan ala becak dan sejenisnya selalu menyenangkan. Seorang teman yang tahu kesukaan saya berbecak, memberi kabar kalau siapa tahu pas mudik nanti saya bisa puas naik becak. Sebab Pak Gubernur DKI mengeluarkan wacana menghidupkan kembali transportasi becak, berlandaskan semangat beliau yang konon berpihak pada rakyat kecil. Tapi apakah itu bijaksana? Saya belum tahu formulasi beliau menerapkan becak sebagai sarana transportasi sehari-hari saat konsep ojek online sudah menjamur.
ADVERTISEMENT
Namun, di semua pengalaman saya 10 tahun terakhir ini bertegur sapa dengan becak, semua becak ini ada kota besar utama dan hanya di kawasan wisata. Saya berasumsi, selain masalah ketertiban, kemanusiaan, dan keamanan berkendara yang harus diperhatikan dengan ketat, mereka juga menjadikan turis sebagai pasar utama karena turis biasanya berkenan membayar lebih untuk apapun atas nama pengalaman dan pemandangan (instagramable anyone?). Dengan jumlah terbatas, aturan bisa dimonitor dengan baik menghindari kekacauan. Biaya tinggi juga akhirnya diamini untuk mengkompensasi tenaga manusia yang digunakan.
Saya berharap banyak, Pak Gubernur sudah mengkaji matang-matang rencana menghadirkan kembali becak di ibukota. Saya lebih rela jauh-jauh ke kawasan wisata untuk menyapa 'hai, becak!', daripada melihat deretan becak mangkal di depan kompleks lagi, seperti 30 tahun lalu. Rasanya itu bukan nostalgia, tapi sudah bukan zamannya.
ADVERTISEMENT