Politik Dinasti Menuju Indonesia Maju, Bisakah?

Firman
Akademisi dan Peneliti PUSAD UMSurabaya
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2020 15:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Politik Dinasti Menuju Indonesia Maju, Bisakah?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini suasana politik mulai terasa memanas, sebab pelaksanaan Pilkada 2020 semakin dekat. Isu dinasti politik pun mewarnai pesta demokrasi mendatang, dengan munculnya nama-nama bakal calon kepala daerah, yang berasal dari keluarga kelompok elit, para pejabat dan pemimpin di Negeri ini.
ADVERTISEMENT
Tepatnya satu hari mendatang seluruh rakyat Indonesia akan merayakan HUT RI ke-57, yang mengusung tema besar “Indonesia Maju”, tentu tema tersebut, bukan persoalan mudah, sebab saat ini Negara kita belum sepenuhnya berhasil mencapai apa yang menjadi tema HUT RI tahun sebelumnya yaitu “SDM Unggul, Indonesia Maju”
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Bappenas 2019, bahwa kualitas SDM Indonesia masih tertinggal jauh dari Negara tetangga seperti, Singapore, Malaysia, dan Vietnam, di mana SDM Indonesia berada di urutan ke 87 dari 157 Negara. Untuk itu menuju Indonesia maju, menjadi tantangan besar kita ke depan.
Lalu bagaimana dengan pemilihan kepala daerah pada bulan Desember mendatang, di mana praktik-praktik dinasti politik masih saja terjadi, memang cukup sulit untuk mengatakan bahwa calon A adalah dinasti politik, karena mereka pasti akan selalu mencari pembenaran, bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk mencalonkan diri yang dijamin oleh Undang-undang.
ADVERTISEMENT
Isu dinasti politik selalu menjadi topik pembicaraan banyak kalangan, termasuk akademisi, dan pengamat politik, hal ini karena praktik dinasti politik, cenderung menimbulkan berbagai persoalan seperti, korupsi, transparansi publik, kesejahteraan sosial, kemiskinan, pembangunan, dan bahkan dapat mengancam bekerlangsungan demokrasi ke depan.
Dinasti Politik: Pewarisan Kekuasaan Cara Baru
Hampir pasti semua orang, menginginkan kekuasaannya tetap langgeng, sehingga praktik mewariskan kekuasaan masih tetap terjadi, namun karena Negara ini menganut presidensial yang sangat demokratis, di mana pemindahan kekuasaan dilakukan memalui proses pemilihan, sehingga pewarisan kekuasaan itu dilakukan dengan cara-cara baru.
Bicara dinasti politik, rasanya kita akan langsung tertuju pada keluarga istana, di mana Gibran putra sulung dan Bobby menantu Presiden Jokowi, akan maju pada pilkada mendatang, yang keduanya sudah mendapatkan rekomendasi dari PDIP. Walaupun dulu Jokowi pernah bilang tidak akan melibatkan keluarganya di bidang politik, namun sepertinya walau terpaksa Jokowi harus menarik kembali ucapannya.
ADVERTISEMENT
Keputusan atas surat rekomendasi untuk Gibran dan Bobby, tentu tidak bisa dilepaskan dari peran Jokowi sebagai presiden. Walaupun demikian rekomendasi itu sebelum terbit, telah melewati proses cukup panjang dan alot, sebab tak sedikit dari kader PDIP sendiri, yang memiliki potensi untuk maju, namun kandas karena gagal mendapat tiket emas dari partainya.
Gibran dan Bobby merupakan pemain baru dalam dunia politik, yang keduannya sama-sama maju di daerah yang berbeda. Gibran di Solo sedangkan Bobby di Medan. Sepak terjang jokowi saya akui tentu luar biasa, di masa periode ke-2 ini, dia sedang mempersiapkan keluarganya untuk mengikuti jejak kekuasaannya.
Jokowi orang yang sangat cerdas, dia tahu bahwa kekuasaannya tidak lama akan berakhir setelah habis masa periode ke-2 nanti, maka momentum inilah sangat tepat, untuk mulai menata dan mengisi daerah-daerah tertentu, melalui pemilihan kepala daerah mendatang, dan selagi Jokowi masih berkuasa tentu pengaruhnya terhadap partai politik juga sangat besar.
ADVERTISEMENT
Dinasti Politik Berujung Nestapa
Keterkaitan antara dinasti politik dengan korupsi misalnya, dapat kita lihat dari beberapa fakta, sebagaimana pernah ditulis oleh kawan saya Arifin, dalam sebuah artikel popularnya, dia menjelaskan ketersinggungan itu dapat dilihat dari beberapa kasus, seperti Ratu Atut Chosiyah di Banten, atau Fuad Amin di Bangkalan.
Sederet kasus penangkapan kepala daerah tersebut, terjadi karena tersandung kasus korupsi, siapa yang tidak kenal dengan Ratu Atut yang menjabat sebagai Gubernur Banten sejak tahun 2007 hingga dinonaktifkan di tahun 2014. Ratu Atut yang sudah lama berkuasa dan sekaligus berhasil menempatkan keluarganya, mengisi jabatan penting di daerahnya.
Sulit kita tidak menyebut jika Ratu Atut tidak melakukan praktek dinasti, dimana kekuasaannya disebut Golden Circle, tercatat ada 4 daerah dari 8 kota dan kabupaten di provinsi Banten, yang dikuasai oleh keluarga dan kerabatnya. Di antaranya, Tb Khaerul Zaman (adik Atut), sebagai Wali Kota Serang, Ratu Tatu Chasanah (adik Atut) menjadi wakil bupati kabupaten Serang, Heryani (Ibu tiri Atut) sebagai wakil bupati Pandegelang, dan Airin Rachmi Diany (adik ipar Atut) yang juga sebagai wali kota Tangerang Selatan.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa nama di atas, masih banyak kerabat lainnya yang menempati jabatan legeslatif, dan jabatan pemerintahan lainnya. Ratu atut harus berujung pahit dan merasakan nestapa di dalam penjara, akibat kasus suap sengketa Pilkada Lebak, Banten, dan kasus korupsi alkes yang dilakoninya selama berkuasa.
Saya mengutip dari buku Dahnil Anzar yang berjudul “Dinasti Rente”, tercatat selama Atut berkuasa, dimana tingkat kemiskinan Provinsi Banten meningkat misalnya dari tahun 2012, berada diangka 652.766, kemudian di tahun 2013 menjadi 656.243. Selain itu angka pengangguran juga berada di puncak paling atas dibanding provinsi lainnya.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banten menempati posisi terendah dibandingkan Provinsi lain di Jawa. Kemudian kasus stunting/gizi buruk juga menempati posisi paling banyak di jawa. Dan masih banyak lagi indikator lainnya, yang menggambarkan betapa buruknya output pembangunan di Provinsi Banten, yang pemimpinnya lahir dari proses dinasti.
ADVERTISEMENT
Begitu juga di Bangkalan, pola kekuasaan yang dilakukan oleh mantan Bupati Fuad Amin, hampir sama persis dengan apa yang terjadi di Provinsi banten. Sepertinya bukan lagi rahasia umum, ketika Fuad Amin menjadi Bupati, anggota keluarganya menempati jabatan penting di kabupaten yang terletak di pulau Madura tersebut.
Beberapa kawan menuturkan bahwa jika ingin menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), maka harus sowan terlebih dahulu kepada Fuad Amin, dengan membawa uang sekian juta rupiah, untuk diberikan kepadanya, sebab jika tidak melakukan hal serupa, jangan pernah berharap untuk bisa menjadi PNS di daerah kekuasaannya.
Fuad Amin yang menjabat sebagai Bupati bangkalan sejak tahun 2003 – 2013, yang kemudian pada periode berikutnya dilanjutkan oleh Putranya Yaitu Makmun Ibnu Fuad yang sebelumnya menjabat sebagai ketua DPRD Bangkalan, kemudian Fuad juga menggantikan posisi putranya sebagai ketua DPRD, seperti bertukar posisi jabatan, tentu sangat lucu bukan.
ADVERTISEMENT
Dinasti Rente Fuad Amin harus berakhir duka, sejak dia terjerat kasus korupsi suap dalam jual beli gas alam dan pencucian uang. Kemudian di akhir tahun 2019 kemarin, Fuad Amin tutup usia 71 tahun di RS Soetomo Surabaya karena serangan jantung.