POLITIK UANG DAN STUNTING

Firman
Mahasiswa Pascasarjana UI dan Peneliti PUSAD UMSurabaya
Konten dari Pengguna
29 Agustus 2020 21:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pilkada di masa pandemic 9 Desember mendatang, memungkinkan terjadi beberapa kerawanan, baik rawan menimbulkan klaster baru pasien covid-19, bila tidak mentaati protocol kesehatan dengan baik. Kemudian kerawanan yang lain adalah potensi praktek politik uang, akibat krisis ekonomi yang sangat luas.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi demikian, tentu menjadikan peluang sangat besar dan terbuka lebar, untuk dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah dan partai politik, yang memiliki banyak uang untuk mendongkrak elektabilitas mereka. Sebab di tengah kondisi seperti ini, masyarakat memiliki kecenderungan untuk menjadi pemilih yang pragmatis.
Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul WP, mengatakan bahwa potensi praktek politik uang di masa pandemic menjadi sangat rawan, dimana perekonomian masyarakat sedang mengalami masa sulit, sehingga electoral akan lebih permisif terhadap politik uang.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh PUSAD pada bulan April 2020 yang lalu, dalam temuannya menyatakankan bahwa sebanyak 66,50% pemilih menyatakan akan menerima politik uang di 19 pimilihan kepala daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil survei Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), juga menyatakan bahwa 60% masyarakat di Jawa mau menerima uang dari pasangan calon kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Politik uang memang menjadi senjata paling ampuh, untuk menyasar masyarakat miskin ditengah kondisi sedang melarat, sehingga masyarakat cenderung lebih gampang menerima politik uang, sebagai imbalan untuk mendukung salah satu calon tertentu, dengan begitu praktek politik uang, akan semakin mendapat tempat dan menemukan sasarannya.
Tentu tidak semua masyarakt tahu, dampak yang akan ditanggung dari pemimpin yang dipilih dengan cara-cara kotor semacam itu, dimana satu diantaranya adalah akan memperpanjang angka kemiskinan, akibat perilaku koruptif, dengan begitu daya beli masyarakat miskin semakin menurun, sehingga tidak lagi, mampu memenuhi kebutuhan gizi untuk anak-anak mereka, dengan demikian angka stunting terus bertambah.
Politik Uang : Kesejahteraan Yang Tergadaikan
Narasi mensejahterakan rakyat, acap kali menjadi janji politik para calon saat kampanye, demikian juga kesehatan pun menjadi isu sentral, di tengah pandemic seperti sekarang, sebagaimana Menteri dalam Negeri Tito karnavian, pernah menyampaikan bahwa Pilkada di masa pandemic, adalah tantangan bagi para calon kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang dimaksud tentu menekankan pada aspek perbaikan layanan kesehatan dan perbaikan ekonomi, dua hal yang menjadi persoalan terbesar akibat pandemic covid-19. Menurut kepala ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah berada pada ambang resesi ekonomi.
Oleh karena itulah, praktek politik uang berpotensi marak terjadi pada Pilkada nanti, mengingat kondisi ekonomi masyarakat sedang memburuk, sehingga masyarakat juga menginginkan calon kepala daerah memberikan bantuan uang tunai maupun sembako, yang dianggap sebagai ongkos mereka datang ke TPS.
Dengan begitu, maka biaya politik menjadi semakin mahal, dan menuntut para calon memiliki modal besar, sehingga calon yang paling kuat adalah mereka yang punya banyak uang.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan calon akan mencari dukungan dari para pengusaha dan investor dengan janji memberi kemudahan proyek di daerahnya, selain itu berhutang juga menjadi pilihan yang sering dilakukan oleh para calon kepala daerah, untuk membiayai pencalonannya. Sehingga setelah terpilih, maka politik balas budi adalah konsekuensi yang tak bisa dielak.
Lalu bagaimana nasib rakyat, yang menerima janji-janji politik, sewaktu kampanye dulu? entahlah apa yang harus dikata, sebab kepala daerah hanya akan mendengar partai politik dan pengusaha yang mendukungnya, dan cenderung meminggirkan aspirasi masyarakat luas, dan pada saat yang sama akan melahirkan perilaku kepala daerah yang korup.
Anggaran (APBD), untuk program kesejahteraan rakyat, dipangkas habis dan dikorupsi, melalui arisan proyek bagi investor, partai politik yang ikut membiayai dan menyokongnya. Sehingga masalah kemiskinan dan kesehatan, seperti program penanganan stunting/ perbaikan gizi juga akan bernasib sama.
ADVERTISEMENT
Stunting, Politik Uang Dan Sosial Budaya Masyarakat
Bicara stunting, WHO telah mendefinisikan stunting sebagai masalah kurang gizi kronis, akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak. Seorang anak dianggap mengalami stunting jika tinggi badan mereka lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya (WHO-MGRS, 2019).
Berdasarkan hasil Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2018, kementerian kesehatan RI mengatakan bahwa, angka stunting di Indonesia mencapai 30,8 %. Artinya sekitar 1 dari 3 anak balita mengalami masalah stunting atau kegagalan pertumubuhan, akibat kurang gizi.
Penyebab masalah stunting diantaranya, kondisi perekonomian keluarga, kemudian tingkat pendidikan dan pengetahuan, pola asuh, budaya dan politik. Di beberapa daerah terluar dan tertinggal, sering kita temukan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang relative rendah, dan pola asuh pada anak kurang tepat.
ADVERTISEMENT
Selain itu sosialisasi yang dilakukan pemerintah juga kurang masif, terkait program dan bantuan untuk perbaikan gizi pada ibu hamil dan balita, lebih-lebih pada masyarakat desa, dengan segala keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan, harusnya keberadaan puskesmas di setiap kecamatan, menjadi ujung tombak paling efektif, untuk mencapai keberhasilan.
Dan kasus yang sering kita temukan bahwa, hampir mayoritas masyarakat desa menganggap bahwa kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, anggapan serupa akan sering kita temukan pada masyarakat desa, yang sampai saat ini, belum ada perubahan yang signifikan kearah pola asuh yang lebih baik.
Padahal, genetika merupakan faktor pengaruhnya paling kecil, bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah bilamana masyarakat juga sadar akan permasalahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara politik uang juga kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa, praktek politik uang menjadi sesuatu yang wajar, baik dalam bentuk bagi-bagi sembako, uang tunai, dan program bantuan social atau bila menggunakan bahasa yang lebih elegan yaitu, shodaqoh politik, pembangunan sekolah dan renovasi tempat-tempat ibadah.
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat, terkait dampak negative akibat menerima praktek politik uang semakin menyuburkan politik uang di negeri ini. Oleh sebab itu maka vote buying harus dianggap sebagai praktek kejahatan dalam politik, yang harus menjadi musuh bersama.
Stunting Menjadi Penentu Indonesia Kedepan
1000 hari pertama kehidupan disebut sebagai golden age atau periode emas bagi balita, yang dihitung sejak dalam kandungan, dimulai dari sebagai embrio, janin, kemudian bayi dan sampai anak berusia 2 tahun, adalah masa pertumbuhan yang sangat menentukan.
ADVERTISEMENT
Masalah stunting di Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia, terbukti dari data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian Kesehatan di tahun 2019 sebelum pandemic mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta balita di Indonesia. Angka tersebut mencapai sekitar 27,7 persen, jauh dari nilai standard WHO yang seharusnya dibawah 20 persen.
Untuk mengatasi masalah ini pemerintah telah memperluas percepatan penanganan stunting ke 260 kabupaten/kota di tahun 2020 dari yang sebelumnya 160 kabupaten/kota pada tahun 2019, dengan alokasi anggaran untuk penanganan Kesehatan tahun 2020 juga dinaikkan sebesar Rp 132,2 Triliun, dari alokasi anggaran tahun 2019 yang hanya Rp 123,1 Triliun.
Disamping itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013, tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi masyarakat Indonesia. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), juga bertujuan sebagai upaya promotif-preventif dalam rangka menangani berbagai masalah kesehatan khususnya stunting.
ADVERTISEMENT
Sebab stunting bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil) saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang tentu sangat mempengaruhi kemampuan anak dan berdampak pada prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas mereka. Sehingga Negeri ini dapat mengalami (zero generation) kekosongan pemimpin di masa yang akan datang.
Mari kita tengok kualitas SDM kita, menurut Bappenas tahun 2019, bahwa indeks kualitas SDM Indonesia berada pada urutan ke 87 dari 157 Negara. Artinya bahwa Indonesia tertinggal jauh dari Negara tetangga seperti, Singapore, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Maka satu-satunya cara untuk bangkit mengatasi persoalan ini, menurut Menteri Kemenko PMK, Muhadjir Effendy adalah dengan segera menakhiri masalah stunting di negeri ini.
Untuk itu praktek politik uang, pada pilkada mendatang harus kita kahiri, semua pihak harus merasa bertanggung jawab, agar masyarakt tidak lagi dibohongi dengan bentuk vote buying, yang justru akan membuat masyarakat tidak sejahtera.
ADVERTISEMENT