Melihat Ritual Belakun Jelang Prosesi San Juan Larantuka

Konten Media Partner
24 Juni 2021 12:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu proses ritual adat 'belakun'. Foto : Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu proses ritual adat 'belakun'. Foto : Istimewa
ADVERTISEMENT
LARANTUKA- Kabupaten Flores Timur bukan saja memiliki ritual keagamaan unik Semana Santa jelang paskah, tetapi juga prosesi menjelang perayaan pesta pelindung Paroki San Juan, yang biasa digelar setiap tanggal 24 Juni.
ADVERTISEMENT
Sebanyak tujuh lingkungan (nagi/kampung) yang berada di paroki San Juan menggelar ritual keagamaan itu. Diantaranya, lingkungan Kampung Tengah, Gege, Lebao, Riang Nyiur, Tabali, Kota Rowido dan Kota Sau.
Ketua lingkungan Kapela Santu Antonius Dari Padua, Kelurahan Kota Sau, Adrianus Bajuga Haliwala menuturkan sehari menjelang hari ulang tahun Santo Yohanes Pembaptis sebagai pelindung paroki San Juan, umat katolik di wilayah itu menggelar ritual sakral yang biasa disebut "belakun".
Proses ritual adat 'belakun'. Foto : Istimewa
Ritual "belakun" merupakan suatu tradisi yang diwariskan leluhur sebagai bentuk kepala (gereja) yang disebut sebagai rumah besar atau rumah doa sekaligus rumah adat meminta sedikit rejeki berupa hasil panen atau uang dari warga yang mendiami Kota Sau.
Sebelum ritual "belatun" digelar, umat setempat menggelar ibadah rohani di kapela Santo Antonius Dari Padua yang letaknya persis di tengah-tengah perkampungan warga Kota Sau.
ADVERTISEMENT
Usai ibadah rohani, tua-tua adat menggelar ritual adat. Tua adat itu lalu memberi tugas kepada seorang pria sebagai satu-satunya keturunan yang berwewenang mengeluarkan bendera belakun, atau biasa disebut bendera perang.
"Seremonialnya seperti kita mau turun perang. Tapi bukan perang dengan musuh, tetapi kapela atau leluhur mau ambil bagiannya berupa hasil bumi ke warga yang menghuni tanah Kota Sau sebagai haknya. Semua pria diberi minum tuak atau arak, sirih pinang, rokok tembakau asli dan halia. Di sini, semuanya menyatu. Antara adat dan gereja bersatu dalam ritual ini," tuturnya kepada wartawan, Rabu 23 Juni 2021.
Setelah bendera perang diserahkan ke seorang pemuda yang dianggap sebagai panglima perang, gerombolan pemuda dan tua-tua adat itu beriringan menuju lokasi pemali (batu larangan/batu sakral), yang tak jauh dari kapela. Di batu pemali ini, tua-tua adat membakar lilin serta menggelar ritual adat.
ADVERTISEMENT
Setelah ritual adat di batu pemali, pria sebagai panglima, mengangkat bendera ke atas lalu meneriakan kata-kata semangat sebagai tanda siap turun ke laga perang.
Gerombolan pemuda dan tua-tua adat ini lalu berjalan menuju ke rumah atau kebun warga sambil diiringi bunyi-bunyian genderang. Mereka lalu mengambil sebagian hasil bumi di kebun atau halaman rumah milik warga setempat.
"Karena musim covid, tahun ini ritual belakun kita rubah agar tidak mengundang kerumunan. Caranya, semua pengurus Kelompok Basis Gerejawi (KBG), menuju ke rumah-rumah warga untuk mengambil hasil bumi. Ada juga yang kasih uang. Semuanya itu diserahkan ke kapela," ungkapnya.
Sekitar pukul 18.00 WITA, gerombolan pemuda dan tua-tua adat itu kembali ke kapela membawa semua hasil yang sudah dikumpulkan dari warga. Hasil itu lalu diolah untuk dimakan bersama menjelang puncak prosesi besoknya.
ADVERTISEMENT
"Maknanya sebagai perang leluhur dan kapela. Mereka (leluhur/kapela), sehari dalam setahun turun mengambil bagian mereka yang selama ini dikecapi dari hasil tanah ini," jelasnya.
"Hasil bumi berupa ubi, pisang, jagung milik warga dalam setahun, dipersembahkan untuk kapela dan leluhur. Kita makan bersama menjaga kapela. Karena jaman sekarang sudah berubah, jadi paling banyak orang memberi berupa uang," sambungnya.
"Orang-orang disini sudah tau tradisi ini, sehingga saat ritual ini digelar dan hasil buminya diambil, orang biarkan saja, karena ini adat kami. Tanah ini sudah beri kita hasil dan menghidupkan kita maka dalam waktu tertentu, kita kasih ke Tuhan dan leluhur sebagai haknya. Itu sakral," tambahnya.
Keesokan paginya, umat katolik dari Kota Sau menuju gereja San Juan. Di sana, mereka membangun armida dan melakukan ritual "Tika Turo" atau pemasangan tiang-tiang kayu sebagai tempat pemasangan lilin sepanjang lokasi prosesi.
ADVERTISEMENT
"Makanan dan uang yang diambil dari warga itu digunakan untuk kebutuhan armida dan pemasangan lilin. Kalau ada sisa uangnya, akan dikembalikan ke kapela/gereja sebagai persembahan," katanya.
Usai pembangunan armida dan pemasangan lilin (Tika Turo), pada sore harinya, umat katolik di wilayah itu menggelar upacara misa di gereja San Juan yang dilanjutkan dengan prosesi dengan mengusung patung San Juan.
Prosesi ini akan dimulai dari gereja San Juan lalu singgah di kapela Kampung Tengah-Gege-Lebao-Riang Nyiur-Tabali- Kota Rowido-Kota Sau dan berakhir kembali lagi ke gereja San Juan.