Mengikuti Ritual 'Gre Mahe' Etnis Muhan di Ojan, NTT

Konten Media Partner
3 Desember 2019 10:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah batu terpilih diarak menuju ke lokasi Mahe saat ritual puncak Gre Mahe di Desa Ojan, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Foto: Mario WP Sina.
ADVERTISEMENT
MAUMERE - Seorang kawan mengabarkan via telepon bahwa di Desa Ojan, Kecamatan Talibura akan digelar ritual adat Gre Mahe oleh masyarakat adat etnis Muhan yang mendiami Desa Ojan.
ADVERTISEMENT
Dengan seorang rekan fotografer, Rio Fernandes, kami berdua pun berkendara menuju Desa Ojan. Perjalanan menuju timur Kota Maumere ini memakan waktu kurang lebih 2 jam lamanya dan melewati puluhan desa. Sesuai informasi yang kami terima dari kawan, jika telah tiba di depan Gereja Paroki Boganatar, kami tinggal berbelok keluar dari ruas jalan negara Maumere - Larantuka.
Tiba di depan Gereja Paroki Boganatar, kami pun bertanya kepada salah seorang warga. Ia pun menunjukkan belokan jalan persis di samping gereja yang merupakan jalan utama menuju ke Desa Ojan. Dari pertigaan Gereja Boganatar, kami melintasi jalan berbatu dengan banyak aspal terkelupas menuju Desa Ojan.
Ibu-ibu dan anak suku menari Tarian Togo menyemarakkan ritual Gre Mahe. Foto: Mario WP Sina.
Jalan menuju ke Desa Ojan yang melewati Desa Timutawa memang merupakan jalan berbatu-batu yang mengganggu "kenyamanan" pengendara. Kurang lebih 30 menit berjibaku dengan jalan berbatu, kami pun tiba di kampung Ojan, tempat dilangsungkannya upacara adat Gre Mahe.
ADVERTISEMENT
Terlihat puluhan kendaraan roda dua terparkir di badan jalan. Warga yang mengenakan pakaian adat berbondong-bondong menuju ke lokasi upacara yang dinamakan Herin Kotok. Sebuah kawasan hutan dengan pohon besar nan rimbun yang sedikit jauh dari pemukiman warga. Kurang lebih 600 meter dari pemukiman warga. Pada kawasan hutan ini, terdapat Mahe, tempat dilangsungkannya ritual adat.
Tetabuhan musik tradisional gong waning mengiring tarian dan ritual yang berlangsung. Foto: Mario WP Sina
Suasana kemeriahan dengan lantunan syair dalam bahasa daerah Muhan dan bebunyian musik dari alat musik tradisional gong waning nampak terdengar saat kami memasuki lokasi ritual utama Gre Mahe, Herin Kotok.
Kami pun bertemu Ketua panitia Gre Mahe, Stefanus Lulu. Ia menjelaskan, sebanyak tujuh suku yang mendiami wilayah Desa Ojan, menggelar ritual adat Gre Mahe, yang kembali dilaksanakan setelah terakhir kali digelar pada 2010 lalu. Artinya, pada tahun ke 9 barulah ritual adat Gre Mahe digelar kembali.
ADVERTISEMENT
Ketujuh suku tersebut, yakni Suku Mau, Suku Lewar, Suku Tapun, Suku Mage, Suku Soge, Suku Liwu, dan Suku Goban. Ketujuh suku ini tidak hanya warga Desa Ojan, tetapi juga warga suku yang datang dari Desa Lewomada, Desa Timutawa, Desa Hikong, dan Desa Nebe. Bahkan ada yang di luar kabupaten pun datang untuk mengikuti upacara akbar ini.
Ketua panitia, Gre Mahe, mengatakan upacara Gre Mahe digelar kurang lebih seminggu lamanya. Sejak Minggu, 24 November sampai Minggu, 30 November.
Para Maran (perwakilan suku) duduk bermusyawarah sebelum ritual puncak Gre Mahe. Foto: Mario WP Sina.
Menurut Stefanus Lulu, ritual adat Gre Mahe dilaksanakan untuk mensyukuri apa yang diperoleh. Ritual adat ini diharapkan anak suku senantiasa diberi kedamaian, sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, dikaruniai persaudaraan, dan jauh dari konflik.
ADVERTISEMENT
Lanjut Stefanus Lulu, ritual pertama yang digelar pada Senin, 25 November, yakni ritual Belo Kaju Tale atau membuat pondok dari ilalang dan bambu yang bahannya diambil dari sekitar lokasi Mahe.
Ritual berikutnya pada Selasa, 26 November adalah Tabak Waning, yakni membuat peralatan musik gendang (waning) yang diawali dengan ritual adat. Selanjutnya, Rabu, 27 November malam digelar Piong Kaju Tale atau semacam ritual pendinginan rumah atau lepo di sekitar Mahe berada.
Tiba di Mahe, batu yang diarak kemudian ditanam berjejer dengan Mahe yang sudah ada dahulu. Banyaknya Mahe menandakan jumlah upacara Gre Mahe sudah digelar. Foto: Mario WP Sina.
Pada Kamis 28 November adalah acara inti atau ritual Gren Mahe. Pada upacara puncak ini, semua hewan akan disembelih di pinggir Mahe oleh setiap perwakilan dari 7 suku yang ada. Saat di Mahe, para kepala suku dan Marang melantunkan doa, mensyukuri dan meminta kepada Ina Nian Tana, Allah pencipta langit dan bumi.
ADVERTISEMENT
"Makna dari upacara ini adalah pertama sekali kita membuat syukuran atas segala pemberian baik dari Tuhan Yang Maha Kuasa, leluhur, Lewo tanah. Pada saat syukuran juga kita punya permohonan lagi. Kita memohon untuk kesehatan dan karya kerja kita ke depan. Agar bekerja mendapatkan hasil," ungkap Stefanus Lulu.
Waktu menunjukkan pukul 12.15 WITA, terlihat ratusan warga suku sudah mulai memenuhi Mahe--pusat digelarnya ritual adat. Pada pintu masuk Herin Kotok, sudah diletakkan sebuah batu berbentuk pipih persegi panjang yang akan diarak menuju ke lokasi Mahe.
Batu yang telah ditentukan itu, kemudian diarak oleh seorang Maran (perwakilan suku) yang diikuti oleh puluhan warga suku. Perarakan ini diiringi dengan syair-syair dan tarian Togo yang meriah dengan tetabuhan musik gong waning.
ADVERTISEMENT
Salah seorang tokoh muda Desa Ojan, Stanislaus A. Lewar, menuturkan jumlah batu pada Mahe berdasarkan berapa kali telah dilaksanakan Gre Mahe. Jadi, setiap kali dilakukan Gre Mahe akan ditanam satu batu (Mahe) sebagai bukti bahwa telah dilakukan upacara adat.
Para tetua adat berkumpul dan berdiskusi di samping Mahe. Foto: Mario WP Sina.
Lanjutnya, setelah tiba di depan Mahe, batu yang dibawa oleh Moan Maran akan ditanam berjejeran dengan batu Mahe yang sudah ada. Kemudian, para tetua adat dari setiap suku pun menari mengelilingi batu Mahe dengan melantunkan syair-syair. Kurang lebih sejam lamanya menari, satu per satu hewan pun disembelih sebagai hewan kurban kepada leluhur.
Bagi saya, sebagai tamu yang hadir mengikuti ritual adat, momen pemotongan hewan kurban berupa kambing dan babi adalah suasana yang paling menegangkan. Saat itu, seorang anak suku yang telah dipercayakan akan memotong satu ekor hewan kurban dengan sekali tebasan parang.
ADVERTISEMENT
Warga suku yang berdiri mengelilingi, akan menyambut dengan sorak-sorakan meriah jika hewan telah ditebas. Darahnya kemudian diambil untuk diusap-usap pada batu Mahe yang ada.
Selanjutnya, daging hewan kurban itu dibagi kepada setiap perwakilan suku untuk dimasak di dalam bambu (lomang) dengan cara dibakar. Daging yang telah masak kemudian akan dibagikan secara merata oleh tetua adat kepada setiap anak suku yang ada untuk dibawa pulang dan dimakan bersama di setiap tenda rumah suku.
Menurut Stefanusus, saat pemotongan hewan kurban, seorang Maran juga akan meramal masa depan kehidupan suku melalui urat hati hewan kurban yang disembelih tersebut. Jika urat hati yang diramal seorang Maran bagus, maka warga akan bersorak gembira. Sebab, menandakan ke depan hasil pekerjaan dan hasil panen akan bagus.
Hewan kurban yang akan disembelih pada ritual puncak Gre Mahe. Foto: Mario WP Sina.
Ditambahkan Stanislaus, belum bisa memastikan kapan ritual Gren Mahe akan kembali dilaksanakan, bisa 5, 7, atau 9 tahun. Ritual ini digelar bergantung pada persiapan lewo (kampung). Sebab, ritual membutuhkan biaya besar dan menghabiskan waktu seminggu lamanya sehingga membutuhkan perencanaan yang matang.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, adanya ritual ini, anak cucu dari suku-suku di Desa Ojan bisa belajar adat kebudayaan yang ada, sehingga dapat mewariskan ritual yang penting ini dalam kehidupan ke depan.
Hewan kurban yang dibakar di lomang, dibagi ke setiap suku untuk dimakan bersama di rumah-rumah suku yang telah ditentukan. Foto: Mario WP Sina.
Salah seorang tokoh masyarakat Tanah Ai, Rafael Raga, yang hadir mengikuti ritual Gre Mahe, mengatakan dirinya mengapresiasi warga etnis Muhan yang dapat melaksanakan ritual Gre Mahe setelah 9 tahun lamanya belum terlaksana.
"Upacara Gre Mahe ini mesti dijaga dan dilestarikan. Saya berharap ini menjadi agenda rutin di desa dan di masyarakat adat ini. Mesti disiapkan secara matang dengan menggambarkan tahapan-tahapannya karena merupakan pembelajaran sekaligus promosi bagi wisatawan yang hadir," tutur Rafael. (Mario WP Sina).