news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengakali Perpisahan

Fajar A Nawawi
korban vonvon dan bungkus chitato
Konten dari Pengguna
5 Mei 2017 21:53 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar A Nawawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengakali Perpisahan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Manusia, terutama lelaki, adalah makhluk yang paling aneh. Ketika jatuh cinta, misalnya, mereka berharap perasaannya diterima. Penolakan adalah suatu hal yang sangat menyakitkan, tanpa mereka sadari penerimaan tanpa dicintai adalah lebih buruk dari penolakan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seperti biasa pada hari itu tak ada yang istimewa, hanya secuil kesegaran bekerja di luar kantor (walaupun pada akhirnya tetap harus kembali ke kantor). Waktu menunjukkan pukul 8 malam dan aku harus pulang cepat. Loh, pulang malam termasuk pulang cepat? Bukan, ini bukan tentang perlawanan terhadap slavery is not okay, hanya konsekuensi datang siang dan konsekuensi kebencianku terhadap kemacetan ibukota yang brengsek.
Perjalanan rutin ini pun dimulai dari kawasan jati murni, jati padang. Jalanan membosankan. Saat itu aku hanya bisa berteriak menyanyikan lagu Keith Ape cs - It G Ma di atas motor mioku sepanjang jalan tanpa peduli dilihat pengguna jalan lain. Menepi sejenak di kedai kopi ternama di kawasan kemang yang namanya sungguh anomali dari kedai kopi kebanyakan. Malam itu aku hanya ingin bertemu seorang yang sudah tidak asing bagiku yang mana sebut saja namanya Mbak Ruroh. Perkiraanku ia baru berusia 23-24 tahun, cukup menarik bagiku dari banyaknya barista yang pernah kutemui. Saat itu ia terlihat melayani seorang ekspatriat dan kamu tahu bahasa Inggrisnya sangat fasih lengkap dengan aksennya. Mulai saat itu aku sering mampir ke sana, hanya untuk mendengarnya menerima pesanan para bule. Saking seringnya, aku sampai tahu jadwal shift dirinya. Namun kami tak pernah saling berbagi cerita, hanya saling sapa.
ADVERTISEMENT
Siapa bisa berlaku tenang ketika hidupmu dipenuhi gengsi, "Apa jadinya seorang sarjana teknik perguruan tinggi papan atas di negeri ini berhubungan dengan lulusan blablabla blablabla?". Tapi Mbak Ruroh ini berbeda, apakah ia cantik secantik Gal Gadot si Yahudi? Kuakui dia cukup manis (kecuali ketika makeup-nya luntur, biasa saja). Dia pandai berbahasa inggris, itu saja, receh memang. Lebih pandai dariku tentu saja. Selalu terekam dalam bayanganku suatu saat dirinya akan membetulkan semua grammar pada lirik-lirik lagu rap yang kutulis setiap kali terjaga pukul 3 pagi. Sesederhana itu, selain dia juga seringkali menulis di facebook notes. Aku tertarik dengan beberapa pemikirannya tentang feminisme. Hal tersebut pula yang menyadarkanku karena seringkali aku menemui sarjana/master satu almamater yang katanya terbaik bangsa tetapi pemikirannya tidak lebih baik dari gedebog pisang.
ADVERTISEMENT
Begitulah yang kulakukan setiap hari, datang ke kafe tersebut, diam, lalu pulang.
Tadi malam aku membuat keputusan yang cukup penting, ingin menemuinya untuk yang terakhir kalinya. Bukan, aku bukannya ingin mengakhiri hidup dengan cara meminum baygon elektrik, hanya ingin memutus kontak dengannya setelah pertemuan itu. Aku hanya tidak ingin berada di jalan yang salah. Lagipula, aku yakin suatu saat Tuhan akan mempertemukan kembali kami berdua, sementara tidak baginya, dia tidak yakin siapa yang sedang mengharapkannya. Semua akan melebur dengan waktu. Namun Tuhan Maha Baik, seorang barista bertampang Chicco Jericho gagal ekspor memberitahuku bahwa Mbak Ruroh sudah tidak bekerja lagi disana mulai hari itu. Ya memang sudah jalannya, pikirku saat itu. Aku hanya memesan segelas kopi Mandheling lalu pulang dengan menyanyikan lagu Tepung Beras Rose Brand sepanjang jalan.
ADVERTISEMENT
Pagi ini terasa berbeda, aku datang lebih pagi dari biasanya. Lalu sambil melahap lontong dan mendoan, seorang redaktur di tempat kerjaku menepuk pundakku lantas mengajakku untuk meeting dan meminta masukkan dariku. Langkahku bergerak cepat menuju ruang meeting. Aku baru sadar doaku terkabul ketika diperkenalkan dengan Mbak Ruroh, ya hari ini hari pertamanya bekerja di kantorku.
Aku pun senang. Serasa mimpi, padahal bukan. Lantas aku teringat, hari ini hari terakhirku bekerja di tempat ini. Besok pagi aku harus sudah berada di negara kafir, mengungsi. Sudah tiada tempat bagiku yang berwajah tentara penjajah di Kesultanan Jakarta yang baru diresmikan ini. Ya aku memang muslim, tapi untuk apa? Kondisinya saat ini masing-masing kelompok sedang bertumpah darah hanya untuk menentukan siapa dan dari kelompok mana yang pantas menjadi sultan.
ADVERTISEMENT