Menuju Tatanan Kehidupan Baru: Berdamai dengan Alam

Forman Sidjabat
Social and Environmental Epidemiologist. Kandidat Doktor Epidemiologi FKM Universitas Indonesia dan Pengajar di Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
Konten dari Pengguna
7 Juni 2020 19:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Forman Sidjabat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://stocksnap.io/
zoom-in-whitePerbesar
https://stocksnap.io/
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID19 memang diberitakan menyebabkan peningkatan kualitas udara dibeberapa negara namun hal ini tidak serta merta menyatakan COVID19 tidak meninggalkan pekerjaan rumah pada aspek lingkungan. Memasuki masa transisi menuju tatanan kehidupan baru di masa pandemi COVID-19 membuat masyarakat semakin waspada dalam giat pencegahan seperti menggunakan masker yang dapat digunakan berkali-kali maupun sekali pakai sebagai langkah proteksi ataupun pelindung diri seperti anjuran pemerintah.
ADVERTISEMENT
Limbah masker satu kali pakai merupakan limbah yang ditemukan dengan jumlah yang banyak dan dapat menjadi ancaman bagi lingkungan selain ancaman sebagai media transmiter COVID19. Limbah masker sekali pakai ini masih ditemui dalam kondisi utuh di tempat sampah maupun di sembarang tempat jika masyarakat kurang memiliki kesadaran membuang sampah pada tempatnya.
Akan sulit membedakan masker yang digunakan oleh orang dengan kondisi sehat ataupun orang dengan kondisi sakit jika dibuang dalam kondisi utuh. Limbah rumah tangga ini berasal dari kelompok masyarakat yang terindikasi sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam Pengawasan (ODP), serta Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
Maka masker sekali pakai pun dapat menjadi media transmisi penularan COVID 19 pada orang lain, seperti pada petugas kebersihan dan penanganan sampah. Untuk itu perlu adanya pemilahan limbah masker secara mandiri di rumah demi mencegah pencemaran lingkungan dan penularan virus COVID-19. Mengkategorikan masker sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) saat melakukan pemilahan dapat mengantisipasi risiko penyalahgunaan limbah masker.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan surat edaran soal pengelolaan limbah infeksius (B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan Virus Corona No SE.2/MENLHK/PSLBE/PLB.3/3/2020. Surat edaran ini menjadi pedoman bagi pemerintah pusat, daerah dan masyarakat dalam memilah sampah di kondisi pandemi sebagai bagian proses pengendalian, pencegahan serta pemutusan dan penularan serta mencegah terjadinya penumpukan limbah akibat COVID-19.
Untuk mengurangi limbah masker yang ada di masyarakat dan mencegahnya menjadi media penularan virus, masyarakat dapat mengumpulkan masker bekas pakai dan melakukan desinfeksi sebelum dibuang dengan merendam menggunakan larutan desinfektan/klorin/pemutih. Setelahnya tali dan bagian tengah masker digunting untuk merubah bentuk dan menghindari penggunaan berulang, kemudian dikumpulkan dan dibungkus dalam wadah/plastik yang aman. Dan setelah membuang ke tempat sampah, segera mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir.
ADVERTISEMENT
Selain permasalahan masker sekali pakai yang ada di lingkungan masyarakat, kondisi pandemi COVID-19 ini mengakibatkan sebagian masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah dan memenuhi kebutuhannya dengan melakukan pembelian online baik untuk kebutuhan pokok maupun kebutuhan pangan. Hal ini menyebabkan produksi sampah di rumah mengalami peningkatan. Jenis sampah yang mendominasi ialah sampah plastik sisa kemasan makanan dan pembungkus lainnya. Melakukan pemilahan sampah, pemakaian berulang kemasan pembungkus dan pengolahan menjadi barang kratif dapat menjadi solusi mengendalikan jumlah sampah plastik yang terbuang ke alam bebas.
Masa transisi memasuki tatanan kehidupan baru harusnya lebih dari sekadar protokol kesehatan 4 sehat 5 sempurna dengan membiasakan diri menggunakan masker, menjaga jarak baik physical dan social distancing, rajin mencuci tangan dengan sabun, berolahraga, tidur teratur dan tidak panik serta makan makanan bernutrisi di tengah pandemi. Hal mendasar lain adalah bagaimana kita mampu membangun kesadaran pemikiran baru untuk perubahan praktik kehidupan yang mampu berjalan beriringan dengan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Maka memaknai tatanan hidup baru tidak hanya pada aspek pencegahan penularan COVID19 dan pemulihan ekonomi saja. Tapi perlu dimaknai pula sebagai langkah untuk menyelenggarakan tatanan kehidupan baru yang berwawasan pembangunan lingkungan berkelanjutan.
Tatanan kehidupan baru merupakan sebuah adaptasi dan tanggung jawab masyarakat untuk melakukan praktik pemulihan lingkungan melalui pemikiran minim sampah dengan melakukan pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga mulai dari meminimalkan sampah/limbah, melakukan pendaur ulangan (reuse, reduce, recycling). Bahkan jika dilakukan secara serius dan konsisten praktek pendaur ulangan sampah ini selain menyehatkan lingkungan juga dapat menjadi skema pertumbuhan ekonomi mikro dengan memasarkan produk inovasi hasil daur ulang sampah.
Pada akhirnya, tatanan kehidupan baru mendorong komitmen pemerintah untuk melakukan stimulus tidak hanya pada kesadaran perilaku pencegahan penularan COVID19 dan peningkatan perekonomian, namun lebih dari itu untuk meningkatkan kesadaran ramah lingkungan dan mendorong upaya giat perekonomian mikro.
ADVERTISEMENT
Hidup ramah lingkungan merupakan bentuk kesadaran memulihkan hubungan simbiosis mutualisme antara manusia dengan alam. Namun tidak saja dijadikan sebagai cara kita menghentikan pandemi COVID19 saja, tapi mencegah munculnya penyakit baru lainnya. WHO menunjukkan bahwa 70% penyakit menular endemik maupun pandemi disebabkan karena permasalahan lingkungan hidup.
Dr Campbell-Lendrum menyatakan bahwa perusakan alam dapat menyebabkan munculnya penyakit baru beberapa di antaranya bersumber dari binatang yang menular ke manusia seperti SARS, HIV, dan Covid-19. Sehingga praktik ramah lingkungan ini menjadi dasar pemikiran untuk mendapatkan hidup yang berkualitas yang ditunjukkan dengan status kesehatan fisik dan emosional manusia yang optimal dengan menjaga hubungan harmoni antara kehidupan dengan alam. Teori klasik H. L. Bloom menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu: 1) gaya hidup (life style); 2) lingkungan (fisik, sosial, ekonomi, politik, budaya); 3) pelayanan kesehatan; dan 4) faktor genetik (keturunan). Ironisnya, intensitas hubungan ini semakin terancam di tengah tren urbanisasi dan digitalisasi yang pesat. Pada beberapa kelompok masyarakat masa pandemi COVID19 menyebabkan berkurangnya frekuensi aktivitas fisik dan meningkatkan gaya hidup sedentari yang serba instan.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup sedentari masyarakat urban menjadi faktor yang sebenarnya dapat dikendalikan dengan biaya murah, seperti kurangnya aktivitas fisik, kurangnya aktivitas di lahan hijau terbuka, dan kurangnya terpapar sinar matahari, buruknya kualitas udara, dan meningkatnya waktu penggunaan alat elektronik. Faktor tersebut terbukti tidak hanya berdampak pada meningkatnya kasus penyakit tidak menular dan penurunan daya tahan tubuh, tetapi juga berdampak pada munculnya nature-deficit disorder yaitu perubahan perilaku akibat kurangnya aktivitas sehat diluar rumah dan berdampak pada kesehatan mental seperti perasaan kesepian, stress dan depresi.
Sebaliknya, sudah banyak penelitian yang membuktikan rutin berolahraga dan beraktivitas di alam bebas dapat meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan stress, munculnya penyakit dan kematian.
Pandemi Covid-19 telah menjadi warning global yang mengantarkan kita menuju tatanan kehidupan yang baru, memaksa untuk mengatur ulang dan menjalankan kehidupan yang lebih teratur. Salah satunya dengan lebih mendayagunakan diri untuk memperhatikan apa yang kita sentuh dan berinteraksi dengan tubuh kita secara langsung termasuk produk pangan dan alam. Hal in membawa kita menyadari perlunya kesatuan paham untuk merawat lingkungan.
ADVERTISEMENT
Ini membuktikan tatanan dari kehidupan baru tidak hanya sekadar perilaku menjaga diri sendiri tapi juga menjaga alam dari kerusakan yang lebih parah. Perilaku itu dapat ditampilkan dengan kegiatan ramah lingkungan seperti gemar bercocok tanam sekalipun pada lahan terbatas, melakukan pengurangan dan mengolah sampah plastik, bergaya hidup hemat dan minimalis, menghemat energi untuk memaksimalkan aktivitas fisik di alam yang sehat dengan menerapkan protokol kesehatan 4 sehat 5 sempurna mencegah COVID19.