Diskriminasi dan Stereotip Terhadap Sekelompok Punk dalam Film Bomb City

Ata Fudholi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan
Konten dari Pengguna
31 Desember 2020 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ata Fudholi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
                                                  Sumber: Google (Imdb.com)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Google (Imdb.com)
ADVERTISEMENT
Bagaimanakah rasanya hidup menjadi manusia tapi tak pernah merasa dinilai pantas menjadi manusia? Sebab identitas pantas untuk menjadi manusia itu tidak pernah diberikan oleh manusia lain? Apalagi yang terlahir sebagai rakyat kelas bawah yang tak pernah diterima di manapun keberadaan nya. Kiranya, itulah yang dirasakan oleh para sekelompok anak punk dalam sebuah cerita di film yang berjudul Bomb City.
ADVERTISEMENT
Film Bomb City dirilis pada tanggal 31 Maret tahun 2018. Film ini berdurasi sembilan puluh sembilan menit. Menariknya, film yang bergenre Crime - Drama ini adalah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata. Film yang disutradarai oleh Jameson Brooks ini berkisah tentang perlakuan ketidakadilan, stereotip, dan penuh dengan diskriminasi yang berakhir dengan terbunuhnya Brian Deneke, salah satu anggota suatu kelompok punk di Texas, Amerika.
Ketidakadilan ini bermula suatu ketika Cody Cate – nama dalam film, aslinya bernama Dustin Camp - salah satu aktor yang berperan sebagai anak muda kelas menengah, seorang anggota kelompok futbol bernama “The Preps”, dan sekaligus musuh dari anak punk, yang dinyatakan tak bersalah atas pembunuhan Brian Deneke.
ADVERTISEMENT
Di dalam film, awal mula perseteruan antar dua kelompok ini, Punk dengan The Preps, diawali dengan saling ejek dan tidak menghormati satu sama lain. Kemudian perseteruan memanas hingga melibatkan kontak fisik dan tragedi kematian Brian Deneke menjadi puncak nya.
Pada suatu malam di Western Plaza Center, salah satu tempat nongkrong terkenal di Texas, para anggota The Preps sedang berkumpul. Sebelumnya, mereka telah berhasil menghancurkan jendela basecamp tempat para anak punk berkumpul. Disaat kejadian itu terjadi, hanya ada Jhon King, salah satu anak punk, yang sedang berada di basecamp. Para teman- teman punk lainya sedang berada di luar. Tidak terima akan perbuatan yang dilakukan para anak The Preps, King memberanikan diri untuk melawan dan mendatangi sendiri para sekelompok The Preps yang sedang berkumpul. Untuk membalas dendam.
ADVERTISEMENT
Dan hasilnya, King dikeroyok habis-habisan oleh para anak-anak The Preps, bahkan mobil yang dikendarai oleh King juga ditabrak dan hancur seketika. Dengan kondisi babak belur dan kepala penuh darah, King kembali ke basecamp dengan berjalan kaki. Sesampainya di basecamp, terlihat bahwa para teman-teman punk dari King (termasuk Brian) sudah kembali tiba di basecamp. Melihat King yang babak belur seperti itu, Brian menanyakan kepada King apa yang telah terjadi padanya.
Setelah melewati adu mulut yang cukup rumit; Brian, King, dan seluruh anggota punk yang lain sepakat untuk membalas dendam dan akan membuat “pernyataan” kepada para sekelompok The Preps. Dan kemudian, berangkatlah mereka menuju Western Plaza Center.
Perkelahian telah terjadi, kalah jumlah sangat terlihat. Dan ditengah-tengah perkelahian itu, muncullah seorang Cody Cate. Ia berada di dalam mobil Caddilac ayahnya bersama dua teman nya. Melihat perkelahian itu, Cody Cate, dengan kesadaran penuh telah sengaja menabrak dan melindas Brian Deneke hingga meninggal. Miris sekali, namun memang kejadian seperti itulah yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya meninggal, Brian Deneke pun juga masih dihabisi di persidangan. Brian Deneke masih disalahkan atas gaya hidup nya serta pakaian nya. Seolah-seolah Brian Deneke serta teman-teman punk nya pantas untuk mati karena terlihat berbeda. Dan lagi-lagi stereotipe negatif seakan-akan tak bisa lepas dari Brian Deneke.
Jika berbicara tentang gaya hidup seorang punk, sebagaimana yang dikemukakan oleh Widya G. dalam buku yang berjudul PUNK: Ideologi Yang Disalahpahami (2017), Punk adalah perilaku yang lahir dari sifat melawan, tidak puas hati, marah, dan benci pada sesuatu yang tidak pada tempatnya (sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan agama) terutama terhadap tindakan yang menindas. Sederhananya, punk menyampaikan kritikan. Mereka hidup bebas dan tetap bertanggung jawab pada setiap pemikiran dan tindakannya.
ADVERTISEMENT
Rambut mohawk, sepatu boots, celana jins ketat, dan jaket penuh patch emblem dan bordir adalah ciri khas yang tak bisa lepas dari anak punk. Menurut Muhammad Fakhran al Ramadhan dalam jurnal berjudul “Punk Not Dead”: Kajian Bentukan Budaya Punk Di Indonesia yang dimuat dalam Jurnal Makna No. 1 Vol. 1 tahun 2016 menyebutkan bahwa punk mengkonstruksi fesyen baru yang merepresentasikan perlawanan terhadap kelas (menengah) atas. Seperti menggunakan atribut-atribut yang bertentangan dengan atribut-atribut kelas atas.
Seperti contohnya; penggunaan sepatu boots merepresentasikan kelas bawah dan kaum pekerja. Penggunaan celana jins ketat dan robek sebagai bentuk pemberontakan terhadap gaya glamour kaum borjuis. Serta potongan rambut spike dan mohawk yang meniru gaya rambut suku Indian Kuno mohican sebagai representasi perlawanan terhadap kekuasaan dominan. Masing-masing sikap dalam berpakaian ini dimaknai oleh anak punk sebagai bahasa perlawanan mereka untuk melawan para kelas atas.
ADVERTISEMENT
Selain diskriminasi dan stereotip terhadap gaya hidup serta pakaian yang ditujukan untuk seorang Brian Deneke, dalam film Bomb City juga menunjukan bahwa perbedaan antar kelas itu memang nyata. Kekuatan kelas atas, Cody Cate, sangat sulit untuk dilawan. Film Bomb City merupakan salah satu contoh nyata sekaligus gambaran utuh, dimana otoritas lebih bisa dikendalikan oleh kelompok kelas atas, dan menganggap bahwa kelas bawah, tidak pantas untuk punya kendali hukum dalam berkehidupan.
Bagi saya, film Bomb City adalah tontonan yang sangat menarik serta wajib untuk kita tonton. Bomb City mengajarkan kita untuk jangan menilai orang dari penampilan saja dan juga mengajarkan kita untuk mari saling menghormati sesama umat manusia dan tidak saling membeda-bedakan.
ADVERTISEMENT
Ata Fudholi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.