Pernikahan Dini Membelenggu Kebebasan Perempuan

Gabriella Margareth
Mahasiswa Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
25 Mei 2023 16:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gabriella Margareth tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku pernikahan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku pernikahan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kutipan ini cocok menjadi pembuka topik mengenai pembahasan pernikahan dini. “Lelaki tidak tahu nilai perempuan, Firdaus. Perempuan itulah yang menentukan nilai dirinya,” merupakan sebuah kutipan dari sastra Arab Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi. Novel tersebut mengangkat isu feminisme, diskriminasi terhadap perempuan, dan pernikahan dini.
ADVERTISEMENT
Perempuan di Titik Nol merupakan sebuah novel dari kisah nyata yang menceritakan mengenai alur hidup Firdaus (protagonis). Sejak kecil Firdaus kerap hidup susah dan diperlakukan dengan tidak baik oleh keluarga serta teman-temannya. Pamannya melakukan perbuatan tidak senonoh kepada Firdaus saat ia masih kecil.
Saat orang tua Firdaus meninggal, ia dibawa oleh pamannya dan disekolahkan di Asrama Putri. Setelah ia menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama, Firdaus menempati rumah pamannya yang ternyata sudah berkeluarga. Istri sang paman khawatir akan kehadiran Firdaus di dalam rumahnya.
Maka dari itu istri paman Firdaus dengan tega menikahkan Firdaus dengan seorang pensiunan tua. Kehidupan Firdaus makin kacau setelah ia menikahi pensiunan tua itu. Ia diperlakukan secara disiksa oleh suaminya. Mungkin sampai situ saja yang dapat penulis sampaikan mengenai isi novel tersebut.
ADVERTISEMENT
Novel Perempuan di Titik Nol merupakan salah satu contoh dari Arab di awal abad ke-20. Namun, amat disayangkan bahwa situasi seperti itu kerap terjadi di Indonesia bahkan sampai detik ini. Sampai saat ini masyarakat Indonesia memiliki pandangan yang positif mengenai pernikahan dini dan memandang perempuan yang belum menikah sebagai aib.
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Eddie Cheever/Shutterstock
Sebagian besar masyarakat Indonesia melegalkan pernikahan dini untuk menghindari zina, permasalahan ekonomi, budaya, dan rendahnya tingkat pendidikan tanpa memikirkan dampak ke depannya. Sekarang ini, terdapat sekitar 1,2 juta kasus perkawinan anak yang terjadi.
Indonesia menempati posisi kedua di ASEAN dan posisi kedelapan di dunia untuk kasus perkawinan anak. Dari angka tersebut, sekitar 11,21 persen perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah sebelum usia 18 tahun. Dalam kata lain, terdapat 1 dari setiap 9 perempuan yang berusia 20-24 tahun menikah saat masih anak-anak.
ADVERTISEMENT
Selama tiga tahun terakhir sejak dimulainya pandemi Covid-19 pada tahun 2020 hingga 2022, terjadi penurunan kasus secara berturut-turut. Pada tahun 2020, terdapat 63.382 kasus, kemudian mengalami penurunan menjadi 61.459 kasus pada tahun 2021, dan secara drastis menurun menjadi 50.673 kasus pada tahun 2022.
Meskipun angka pernikahan dini menurun, namun Indonesia tetap memiliki angka pernikahan dini tertinggi yaitu, menempati urutan negara ke-8 di seluruh dunia dan negara ke-2 di Asia Tenggara, sebagaimana data ini dikutip dari UNICEF.
Daerah dengan tingkat pernikahan dini tertinggi di Indonesia adalah Kalimantan Selatan dengan angka 12,52 persen, lalu disusul oleh Jawa Barat di angka 11,48 persen, Jawa Timur di angka 10,85 persen, Sulawesi Barat di angka 10,05 persen, dan Kalimantan Tengah dengan angka 9,85 persen.
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock
Pernikahan dini tentunya memiliki dampak negatif terutama bagi perempuan yang kebanyakan menjadi korban dalam kasus ini. Salah satu dampak yang jelas adalah kekerasan dalam rumah tangga sebab mayoritas perempuan yang telah menikah tidak memiliki kebebasan untuk hidupnya, mereka dituntut untuk mematuhi suami.
ADVERTISEMENT
Kekerasan dalam rumah tangga kerap kali terjadi sebab adanya patriarki yang membuat laki-laki merasa lebih superior dan wajib mengambil peran pemimpin. Sifat tersebut terbentuk oleh lingkungan dan didukung oleh rendahnya pendidikan. Jika dilihat dari sisi kesehatan, Kehamilan pada usia yang masih muda memiliki risiko tinggi untuk mengalami berbagai masalah yang berpotensi membahayakan kesehatan ibu dan janin.
Aturan baru mengenai batas usia minimal untuk menikah telah ditingkatkan di tahun 2019 lalu. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, batas usia minimal bagi perempuan untuk menikah adalah 19 tahun, yang meningkat satu tahun dibandingkan dengan aturan sebelumnya (UU Nomor 1 Tahun 1974).
Pemerintah pun mendukung adanya larangan pernikahan dini melalui Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perkawinan Anak, yang menetapkan upaya-upaya pencegahan pernikahan anak dan perlindungan bagi anak-anak yang berisiko mengalami pernikahan dini.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 yang baru saja disahkan tahun kemarin, diberi sanksi kepada pelaku pemaksaan perkawinan yang termasuk pada perkawinan anak, dengan ancaman pidana paling lama selama sembilan (9) tahun dan atau denda paling banyak sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Kesetaraan Hak untuk Perempuan

Ilustrasi Penandatanganan Sertifikat Pernikahan. Foto: Shutter Stock
Pernikahan dini membatasi hak perempuan dalam segala aspek dan membentuk kotak yang memerangkap gadis-gadis belia untuk mematuhi suaminya, maka dari itu diperlukan hak kesetaraan gender. Perempuan sudah memperjuangkan hak kesetaraan gender sejak abad ke-4 SM, namun sampai saat ini di abad ke-21 masehi, kaum perempuan belum juga mendapatkan haknya.
Gender equality tidak berarti memiliki perlakuan yang sama kepada semua jenis kelamin dalam hal hak, tanggung jawab, dan kesempatan. Sedangkan, gender equity berbicara mengenai kesetaraan sebab kita perlu mengetahui bahwa perempuan dan laki-laki memang mempunyai perbedaan dan tidak dapat disamakan.
ADVERTISEMENT
Gender equity memfokuskan pada pemberian kesempatan yang sama dengan adanya pertimbangan hak istimewa, bias, dan parameter lain yang dapat membatasi akses orang terhadap kesempatan. Perempuan pantas untuk mendapatkan hak kebebasan untuk bersuara tanpa harus "disetir" oleh laki-laki.
Mereka juga pantas mendapat hak kebebasan bersuara tanpa perlu takut akan stereotip masyarakat terhadap perempuan yang mematahkan ekspektasi masyarakat terhadap perempuan. Sebab mayoritas pandangan masyarakat terutama laki-laki kepada perempuan masih terbilang konservatif.
Mengutip dari film berjudul Little Women, “Perempuan memiliki pikiran sebagaimana mereka memiliki hati. Serta mereka juga memiliki ambisi, bakat, dan juga kecantikan. Saya sangat muak dengan orang-orang yang mengatakan bahwa hanya cinta yang cocok untuk wanita. Saya sangat muak!”
ADVERTISEMENT
Perempuan juga memiliki impian yang sama dengan laki-laki dalam segala hal dari ambisi, gagasan, ideologi, kebebasan untuk beropini, dan kebebasan untuk menggapai impian mereka.