Kenapa Hary Tanoe Sering Masuk 5 Besar Survei Capres - Cawapres 2019?

Konten dari Pengguna
30 Mei 2018 19:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gandhi Fahad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kenapa Hary Tanoe Sering Masuk 5 Besar Survei Capres - Cawapres 2019?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hasil survei yang dirilis lembaga survei Alvara Insititute beberapa waktu lalu, benar-benar mengejutkan blantika perpolitikan tanah air. Bagaimana tidak, survei tersebut menempatkan nama Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo di 5 besar Capres 2019.
ADVERTISEMENT
Andai nama Hary Tanoe masuk 5 besar hasil survei capres 2019 hanya satu kali, mungkin hal itu akan biasa-biasa saja. Akan tetapi Hary Tanoen sudah berkali-kali masuk survei dan selalu konsisiten berada di urutan 5 besar. Secara tidak langung berarti Hary Tanoe banyak disukai rakyat Indonesia.
Sebelumnya, survei yang dilakukan Indo Barometer bulan lalu, Hary Tanoe berhasil menduduki peringat ketiga. Di bawah Jokowi dan prabowo. Pun dengan survei Indonesia Strategic Institute (Instrat) nama Hary Tanoe juga berada di urutan ketiga.
Kenapa Hary Tanoe Sering Masuk 5 Besar Survei Capres - Cawapres 2019? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Mengapa rakyat butuh Hary Tanoe?
Ini penting sekali untuk dipertanyakan. Sebab, tidak mungkin nama Hary Tanoe ujug-ujug sering muncul dan menjadi 5 besar di berbagai survei jika dirinya tidak disukai rakyat. Yang pasti, ada problem yang dirasakan rakyat selama ini. Dan, kemungkinan besar mereka hanya percaya kepada sosok Hary Tanoe untuk menangani problem tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri. Sejak pemerintahan Jokowi, rakyat seringkali dibuat kecewa karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tak kunjung membaik.
Di tengah pertumbuhan ekonomi 2017 yang tidak mencapai target dan hanya mandeg di angka 5,07 persen, APBN justru malah semakin naik. Semakin besar APBN, rasio utang terhadap PDB tentu juga akan semakin meningkat. Padahal, tiap tahun APBN disusun dengan nilai fantastis, yakni Rp. 2.000 triliun lebih, bahkan terus meningkat.
Namun sayang, hal ini bukan ditopang oleh surplus penerimaan negara, melainkan ditopang oleh tambahan utang baru. Akibatnya, Dirjen pajak pun terseok-seok mengejar target pajak. Saking ngebetnya, usaha-usaha mikro seperti Warteg (warung makan Tegal) diuber-uber pajak usahanya.
Harus diakui, bahwa dalam tiga tahun lebih Presiden Jokowi berkuasa, rasio utang terhadap PDB terus meningkat. Meskipun pemerintah selalu mengelak bahwa rasio utang Indonesia masih jauh lebih baik dari negara emerging markets lainnya. Namun, anehnya, realisasi utang belum menggambarkan atau mengkompensasikan sesuatu yang konkret bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di balik pertumbuhan investasi dan bertambahnya rasio utang terhadap PDB, akhirnya menyisahkan anomali. Investasi semakin banyak, hutang semakin naik, tapi sayang beribu sayang kesejahteraan masyarakat semakin tak menentu.
Jadi, Inilah penyebab mengapa banyak masyarakat percaya kepada Hary Tanoe. Mereka yakin Hary Tanoe mampu mengatasi permasalan ekonomi yang semakin tak menentu ini. Namun, meski demikian, peluang Hary Tanoe menjadi Capres maupun Cawapres di Pilpres 2019 nanti, bahkan juga sering digadang-gadang akan dipasangkan dengan Jokowi, tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Hary Tanoe akan terbentur realitas politik yang akhir-akhir ini semakin memanas.
Tak bisa dipungkiri bahwa suhu politik saat ini sangat berbeda dengan ketika era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu. SBY bebas memilih pendamping yang berlatar belakang ekonomi seperti Boediono, sebab gejolak politik saat itu tidak begitu kencang seperti saat sekarang ini. Selain itu, raihan suara Demokrat di Pemilu 2009 melebihi ambang batas presiden 20%. Jadi wajar saja kalau SBY kala itu main asal tunjuk orang yang akan dijadikan wakilnya. Asal dia manut, setia, taat dan patuh terhadap perintah SBY.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan kondisi saat ini. Jokowi tidak bisa asal tunjuk. Meski ia butuh sosok pendamping yang memiliki latar belakang ekonomi, namun hal ini perlu persetujuan atau rekomendasi dari partai politik pengusung. Belum lagi jika partai pengusung juga merekomendasikan nama, ini akan menjadi ribet dan njlimet.
Namun, sulit bukan berarti tidak bisa. Presiden Jokowi harus memilih sosok yang tidak saja berlatar belakang ekonomi, namun juga politisi. Dengan begini, gejolak politik yang akan terjadi akan mudah dibendung dan diredam. Sosok seperti ini kira-kira mirip dengan Jusuf Kalla. Seorang politisi yang juga berlatar belakang ekonomi.
Satu-satunya politisi yang memiliki latar belakang ekonomi yang namanya saat ini sedang moncer hanyalah Hary Tanoesoedibjo. Seorang pengusaha sukses yang juga sukses mendirikan partai politik. Sangat mirip dengan sosok Jusuf Kalla.
ADVERTISEMENT
Hary Tanoe punya modal yang cukup untuk mendamping Jokowi. Ia handal dalam mengelola perekonomian negara, memiliki jaringan luas, media yang kuat, serta memiliki kekuatan massa yang cukup melimpah.
Pasangan Jokowi-HT sangat ideal. Saling melengkapi dan saling menutupi kekuarangan masing-masing. Jokowi tidak perlu khawatir lagi jika program pembangunannya belum tuntas selama 5 tahun. Ada Hary Tanoe yang akan melanjutkan di 5 tahun berikutnya. Layaknya Jusuf Kalla yang selama menjadi pendamping Jokowi gencar melakukan pembangunan, Hary Tanoe nantinya juga akan demikian.