Bersiaplah Menyambut 'Taman di Seberang Ingatan' di Borobudur

Generasi Milenial
Generasi Milenial
Konten dari Pengguna
12 Januari 2021 10:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Generasi Milenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover buku antologi puisi Taman di Seberang Ingatan. Foto: dok. Edhie Prayitno Ige
zoom-in-whitePerbesar
Cover buku antologi puisi Taman di Seberang Ingatan. Foto: dok. Edhie Prayitno Ige
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masa pandemi barangkali adalah pupuk organik bagi kehidupan bersastra di Magelang, termasuk di sekitaran Borobudur. Mengapa? Justru di masa pendemi COVID-19 ini, para penulis dan sastrawan di Magelang dan sekitarnya mencapai produktivitas yang mencengangkan.
ADVERTISEMENT
Dibanding masa normal, nyaris buku-buku sastra terbitan penulis Magelang yang terbit hanya berisi karya tunggal. Itupun tak banyak.
Dalam kondisi seperti itu, ada 38 penulis yang tiba-tiba menyatukan karya dan membukukan karya mereka. Taman di Seberang Ingatan adalah sebuah antologi puisi yang dihasilkan para penulis Magelang.
Andreas Darmanto, biasa disapa Damtoz menyebut bahwa sebenarnya di Magelang dan sekitarnya bertebaran penulis-penulis kaliber nasional hingga dunia. Itu pula salah satu faktor yang menyebabkan sastrawan Ajip Rosidi pindah ke Magelang, bahkan menghabiskan sisa usianya di surga kebudayaan ini.
“Rencananya buku TdSI akan diluncurkan pada tanggal 13 Januari 2021. Kami mengambil tempat di Pendopo TIC (Tourism Information Center), Jl. Balaputeradewa no 1. Borobudur,” kata Damtoz, salah satu tokoh sastra sekaligus pelukis Magelang.
ADVERTISEMENT
Nindito Nugroho dari Mendut Institute menyebut acara peluncuran buku ini dibayangi kegamangan. Tentu masa pandemi dan pemberlakuan PSBB Jawa-Bali yang menjadi penyebab. Hanya saja, Nindito menyebut bahwa launching akan dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan ekstraketat.
“Bukan hanya jumlah peserta yang dibatasi, bukan hanya jarak yang diatur dan harus bermasker. Lebih dari itu, kami juga akan menyeleksi siapapun yang berminat hadir. Apapun itu, launching ini kan hanya seremonial saja, memanfaatkan teknologi IT toh bisa juga dinikmati siapapun dari rumah,” kata Nindito.
Nindito sebagai ketua panitia menyebutkan bahwa yang lebih utama dari launching itu adalah menjaga denyut nadi sastra Magelang dan sekitarnya. Acara tak hanya diikuti para penyairnya saja, namun juga melibatkan beberapa pejabat dari Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan Kebudayaan, dan juga budayawan-budayawan senior.
ADVERTISEMENT
Buku TdSI diterbitkan salah satunya untuk disebabkan tingginya frekuensi dan produktivitas penulis saat pandemi. Otomatis butuh pendokumentasian karya dari para penyair itu. Apalagi sekarang tiap detik dan menit lahir puisi-puisi baru dengan berbagai macam genre. Mulai genre puisi wuote, puisi jurnalistik, hingga puisi bergaya klasik.
“Kalau mau jujur, buku ini kan semacam gerakan sensus penyair dan penulis Magelang dan sekitarnya. Tentu diharapkan akan bisa secara rutin,” kata Agus Manaji, panitia lainnya.
Sesungguhnya TdSI merupakan kelanjutan gerakan sebelumnya yang sukses menelurkan buku Nol Kilometer (2012) dan Cermin Waktu (2019).
“Pertanyaan berikutnya, siapakah penyair Magelang? Apakah penting kepenyairan dikaitkan dengan label Magelang, kata yang lebih dekat dengan makna geografis dan administratif?” demikian catatan pengantar yang ditulis Edhie Prayitno Ige.
ADVERTISEMENT
Antologi puisi ini lahir setelah ada lacak jejak penyair melalui jaringan pertemanan penyair/sastrawan. Hanya butuh waktu kurang dari satu bulan, akhirnya ditemukan 46 penyair/sastrawan. Beberapa nama lama dalam jagad kepenyairan Magelang, Daladi Ahmad, Dedet Setiadi, atau Damtoz Andreas.
Mereka kemudian menjadi motivator anak-anak muda seperti Furi Aulia, yang lahir tahun 2004 dan masih siswi SMA. Ia menjadi penyair termuda dalam buku antologi ini. Hal ini tentu menjadi harapan akan keberlangsungan perpuisian di Magelang.
Yang juga menarik untuk disampaikan adalah bahwa latar belakang keseharian para penyair yang beragam seperti ibu rumah tangga, guru/dosen, pedagang, jurnalis, actor, seniman, hingga pelajar. Hal ini membantah apa yang pernah diserukan oleh Chairil Anwar bahwa yang bukan penyair tidak ambil bagian.
ADVERTISEMENT
Baik Nindito, Agus Manaji maupun Andreas Damtoz berharap Magelang akan melahirkan nama-nama yang mendunia seperti zaman penyair Dorothea Rosa Herliany yang kiprahnya bukan saja sebatas nasional, tetapi sudah internasional.