Penut: Kuburan yang Kosong (Part 6)

Generasi Milenial
Generasi Milenial
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2022 15:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Generasi Milenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cerita horor Penut bagian Kuburan yang Kosong. Foto: sananthropis/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Cerita horor Penut bagian Kuburan yang Kosong. Foto: sananthropis/Pixabay
ADVERTISEMENT
Semua orang di kuburan panik. Aku tidak bisa melihat Bapak atau Paman Kadrun di mana pun. Beberapa orang masih berdiri di dekat kuburan untuk memastikan apakah mayat keponakanku masih di sana. Beberapa lainnya berlari keluar kuburan untuk mengabarkan yang lain.
ADVERTISEMENT
Aku sendiri berdiri di atas tikar sambil memperhatikan keadaan sekitar kuburan. Daun pohon pisang berayun-ayun terkena angin. Kegelapan yang pekat tampak di langit. Kuburan-kuburan lain hening.
Kemudian aku mendengar suara Bapak dari kejauhan. Dia menyuruh mencari jejak penut sebelum benar-benar menghilang. Aku membayangkan makhluk hitam bersuara seperti suami Kak Siseh menggendong mayat bayi, yang begitu kecil dan rapuh. Tiba-tiba saja aku merasa mual. Perutku bergolak.
Seorang tetanggaku berlari ke arahku dan menyuruhku menjaga kuburan karena mereka akan memburu penut. Aku tidak menjawab sebab perutku begitu mual, rasa jijik dan takut memenuhi rongga-rongga tubuhku.
Tanpa menunggu jawabanku, dia dan semua orang lainnya berlari pergi dari kuburan. Beberapa rumah kembali menghidupkan lampunya dan para lelaki dewasa keluar rumah sambil memperbaiki sarung sedangkan perempuan dewasa berdiri di pekarangan dengan wajah cemas.
ADVERTISEMENT
Butuh beberapa lama bagiku untuk berjalan ke bibir kuburan, ke tempat yang harusnya menjadi tempat peristirahatan terakhir keponakanku. Di bibir kuburan, aku melihat kegelapan. Tidak ada kafan atau apa pun. Bahkan, kayu-kayu yang digunakan untuk menutup mayat berserakan di luar.
“Hilang! Hilang anakku!” Itu suara Kak Siseh. Dia berlari ke arah kuburan sambil menangis menjerit.
Suaranya kembali membuatku mual. Dari dulu, kami tidak terlalu dekat karena jarak umur kami cukup jauh. Sekarang, ketika aku melihatnya bersimpuh di pinggir kuburan dengan tangisan kencang—membuatku ingat bahwa kami berdua bersaudara.
Ibu dan Nenek datang menyusul. Mereka tidak menangis, tidak juga menjerit. Yang mereka lakukan hanyalah menenangkan Kak Siseh. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan di keadaan seperti itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, aku ingat makam kecil di dekat rumah Nyai Sudi, tempat penut menggangguku dengan suara suami Kak Siseh. Entah kenapa, aku merasa harus pergi ke sana.
Aku pun pamit pada Ibu dan Nenek dengan mengatakan akan pergi menyusul Bapak. Ibu dan Nenek mengangguk dengan cepat seolah tidak pedulu aku mau pergi ke mana. Aku segera berjalan keluar kuburan. Perlahan, tangisan Kak Siseh memudar.
Orang-orang yang tinggal di dekat kuburan menyuruhku agar jangan pergi jauh-jauh, bisa saja penut itu menculikku. Aku tidak menanggapi, tidak juga mendengarkan. Kakiku melangkah mantap menuju makam kecil itu.
Di perjalanan, aku melihat sawah-sawah yang gelap, padi yang berayun-ayun serta tiadanya bulan atau bintang di langit. Malam ini, rasanya desaku tidak terlihat seperti biasanya. Seolah, aku berada di dunia lain, di kehidupan lain. (day)
ADVERTISEMENT