Stigma Pekerjaan Kotor

Konten dari Pengguna
25 Agustus 2018 13:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Geraldine Fakhmi Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stigma Pekerjaan Kotor
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tiga minggu sudah saya beraktifitas kembali di kota Bandung sepulang dari negeri perantauan, Belanda. Hampir dua tahun saya hidup di sana dan banyak mengalami fase pembelajaran yang sangat berharga dan tidak ternilai. Meski hanya berprofesi sebagai tenaga lepas loper koran, yang notabene di Indonesia menjadi pekerjaan yang tidak menjajikan. Malahan profesi itulah yang membuka pandangan saya mengenai esensi ‘menafkahi keluarga’.
ADVERTISEMENT
Lama tak jumpa dengan kawan di Bandung, agenda sehari-hari saat ini pun banyak diisi dengan ajang silaturahmi dan bertukar cerita satu sama lain. Dimana standar topik pembicaraan antar kawan pria umuran saya tak jauh dari pencapaian karir dan berkeluarga. Topik pernikahan masih hangat di kalangan generasi saya, wacana yang mana biasa terjadi dalam fase quarter life crisis. Beberapa kawan telah menikah disaat saya berada di Belanda, namun ada yang masih melajang karena belum menemukan pasangan yang cocok, dan ada pula yang memang belum merasa membutuhkannya.
Berkeluarga, memang bukan hanya terkait sepasang suami istri saja. Ada mertua, ipar, sepupu, dan silsilah keluarga lainnya yang mana pasti berandil banyak terkait harmonisasi pasangan suami istri. Positifnya ada keluarga lain diluar suami istri tersebut adalah saat si pasangan sedang membutuhkan bantuan, maka keluarga lain itu yang menjadi andalan utama untuk dimintai pertolongan. Tetapi ada juga sisi buruknya, kadangkala di ranah privasi suami istri, si elemen keluarga lainnya ini seringkali terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga si pasangan.
ADVERTISEMENT
Beruntungnya saya dan istri, memiliki orang tua dan ipar yang menurut kami tak pernah terlalu memusingkan urusan rumah tangga kami. Sehingga kami pun menjalankan proses berkeluarga dengan leluasa tanpa intervensi dan tekanan. Tetapi cerita beberapa kawan saya ini berbeda, dan mungkin banyak juga di luar sana yang mengalami hal serupa. Salah satu kasusnya adalah si keluarga (di luar si pasangan) seringkali memusingkan profesi yang dipilih anak atau (calon) menantunya.
Di beberapa kalangan keluarga, standar kemapanan seseorang itu kadang aneh. Salah satunya perihal profesi. Kriteria profesi mapan yang seringkali didengar saya antara lain harus menjadi pegawai BUMN, pegawai negeri sipil, atau pegawai perusahaan multinasional. Keterlaluannya lagi bahkan si keluarga harus mengetahui nominal penghasilan yang didapat. Jika kita berprofesi sebagai petani, pedagang pasar, atau tukang konveksi, maka stigma yang muncul adalah kita merupakan orang yang tidak mapan.
ADVERTISEMENT
Sangat wajar jika si keluarga khawatir anak/saudara-nya (akan) dinafkahi oleh (calon) menantu/ipar yang penghasilannya tidak mencukupi. Tetapi generalisasi kemapanan berdasarkan profesi itu saya pikir cacat logika yang kronis. Menjadi pegawai perusahaan multinasional tambang batu bara saat 2010-an merupakan pekerjaan yang sangat bergengsi dan menjanjikan, tapi toh 2013 harga batu bara terjun bebas dan banyak site yang tutup, akhirnya banyak juga karyawan yang terkena PHK. Pegawai negeri sipil pun tak selamanya mulus, banyak juga yang berkeluh kesah kalau karirnya mengalami stagnansi. Apakah kedua pekerjaan tersebut menjamin kemapanan bagi keluarga?
Di sisi lain menjadi tukang daging di pasar tradisional seringkali dianggap sebagai pekerjaan kotor dan rendahan, yang mencirikan ketidakmapanan sebuah profesi. Memang bedanya signifikan, tukang daging ini identik dengan bekerja di tempat becek dan kotor. Tidak menggunakan kemeja rapi atau jas. Saat ini cenderung profesi ini berinteraksi dengan orang-orang berpendidikan maksimal SD. Tapi toh pekerjaan berdagang itu halal, jika dihitung secara penghasilan pun mungkin bisa lebih besar dari pekerja kantoran yang dianggap ‘mapan’ tersebut.
ADVERTISEMENT
Profesi apapun memang memiliki risiko, namun tak seharusnya standar kemapanan seseorang ditentukan dari jenis pekerjaan yang dia pilih. Selama itu tidak haram, korupsi, mencuri, dan dengan cara yang bathil. Profesi apapun itu akan menjadi baik dan berkah bagi keluarga yang dinafkahinya.
***
Saat di Belanda kendaraan saya dipenuhi dengan koran untuk dikirimkan kepada pelanggan, namun sepulang dari sana, tumpangan kendaraan saya berubah isi menjadi bahan pangan untuk diolah di bagian gizi rumah sakit daerah. Sama-sama bekerja menjadi kurir.
Setiap hari ke pasar tradisional menjadi sarapan saya. Bertemu pedagang menjadi interaksi saya di pagi hari. Selama beberapa waktu belakangan ini, memang menjadi lamunan sekaligus terkaan saya bahwa penghasilan pedagang daging yang tiap hari saya beli itu dipastikan lebih besar dari penghasilan saya di buruh pabrik pada tahun 2014 silam. Tak pernah menghitung uang mereka langsung sih, tetapi jika menerka putaran uang di laci lusuhnya mereka itu, bisa jadi pendapatannya mereka mencapai puluhan juta rupiah perhari. (((perhari))).
ADVERTISEMENT
Budi Septiana, 23 tahun anak dari pedagang daging langganan saya di Pasar Soreang. Berstatus mahasiswa di jurusan Teknik Elektro salah satu kampus di Bandung. Orang tuanya memiliki kios disana sekitar 10 tahun yang lalu. Sebagai anak pertama, dia pun rajin membantu pekerjaan orang tuanya sebelum berangkat ke kampus. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, dia bercerita akan maju sidang skripsi dalam waktu dekat. Jika dihitung secara usia, jenjang kuliahnya tidak mengalami keterlambatan. Sebagai mantan mahasiswa, saya menaruh hormat tinggi karena managerial waktu dia itu hebat dalam beraktifitas. Membantu orang tua dibarengi dengan menyelesaikan studi tepat pada waktunya.
Di luar sana mungkin banyak Budi-Budi lainnya, baik dari anak petani, nelayan, atau pedagang sembako. Walau kelak Budi akan melanjutkan usaha orang tuanya menjadi pedagang daging atau berprofesi sesuai jurusan kuliahnya menjadi pegawai PLN. Hak penuh dia untuk menentukan masa depannya. Tetapi pilihan profesi yang dia pilih tak semestinya dikarenakan ada justifikasi orang lain bahwa pekerjaan tukang daging lebih rendah dari pekerjaan menjadi pegawai PLN.
ADVERTISEMENT
Andai, seorang seperti Budi ini kelak meneruskan jejak usaha orang tuanya, lalu dia berencana mempersunting kekasihnya. Beruntung jika calon mertua dan iparnya ini tak repot menentukan standar kemapanan profesi yang akan Budi kerjakan, tapi jika tidak, segala kemungkinan akan terjadi. Hubungannya mungkin akan kandas atau Budi akan beralih profesi sesuai cita-cita orang lain demi keberlangsungan cintanya. Familiar gak sih kalian dengan kasus seperti ini? Aku sih, yes.
Efek stigma masyarakat seperti ini, menurut pemikiran cetek saya, mungkin akan berdampak besar pada jenis pekerjaan dominan yang ada di masyarakat. Orang berlomba-lomba menjadi kelompok pekerja yang dianggap mapan oleh orang lain. Sawah-sawah dipedesaan akan dijual, usaha mikro pasar tradisional akan berubah menjadi swalayan, dan semua lini bisnis dikuasai pemodal besar yang mana pegawainya ini orang-orang yang berkompetisi tadi.
ADVERTISEMENT
Sebagai mantan loper koran, tak pernah saya merasa terkucilkan oleh siapapun atas profesi yang saya pilih. Pandangan keluarga dan kawan pun sama, tak pernah ada sinisme yang saya rasakan atas profesi tersebut. Beruntung mungkin saya berada di lingkungan orang-orang woles yang berpadangan terbuka, bahwa rezeki itu sama saja asal caranya tak merugikan orang lain. Atau saya sendiri mungkin tak acuh jika ada orang lain yang membicarakan negatif profesi tersebut, istri dan keluarga saya pun tak pernah protes mengenai nafkah dari pekerjaan tersebut.
Salam,
Geraldine Fakhmi Akbar