news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengapa Intimidasi itu Berbahaya?

Gideon Budiyanto
Sarjana Teologia (S.Th.) di bidang pastoral/konseling. Profesi : Karyawan Swasta dan Penulis. Anggota Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Tangerang Selatan dan ISP NULIS
Konten dari Pengguna
22 Mei 2022 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gideon Budiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image from Pixabay
ADVERTISEMENT
Saat saya masih kecil dulu, setiap kali sekolah mengadakan test atau ulangan, ibu saya akan melakukan tanya jawab dengan menggunakan materi yang sudah saya pelajari.
ADVERTISEMENT
Beberapa materi terutama yang bersifat hafalan dapat saya jawab dengan mudah tapi kalau sudah masuk hitungan atau matematika, seringkali jawaban saya salah ketika ditanya.
Ibu saya sudah menyiapkan rotan untuk memukul apabila jawaban saya salah dan memang pukulan akan melayang meski tidak sampai fatal.
Orang tua masa dulu memang suka menggunakan rotan untuk memukul anak-anaknya apabila mereka berbuat salah atau tidak menuruti perkataan orang tua.
Saat itu terasa wajar, mengajar anak dengan cara memukul.
Biasanya anak-anak akan menangis apabila dipukul tapi tidak lama kemudian kejadian itu akan segera terlupakan.
Tapi ternyata dampak nya baru terasa setelah dewasa bagi sebagian orang, termasuk saya.
Pukulan dengan rotan digunakan sebagai cara mengintimidasi saya agar mendapat nilai bagus di sekolah, menuruti kehendak orang tua dan menjadi anak yang baik.
ADVERTISEMENT
Terkadang bahkan beberapa kali saya dipukul tanpa alasan yang jelas sehingga membuat saya bingung.
Akibatnya, saya tumbuh menjadi seorang anak yang penakut, tidak berani mengemukakan pendapat di muka umum, sering mencari jalan aman dan takut gagal sebelum mencoba.
Karena dalam alam bawah sadar saya sudah tergambar sebuah pola bahwa kalau saya gagal, pendapat saya tidak diterima karena kurang bagus, jalan yang saya ambil ternyata salah dan berakibat buruk maka saya akan mendapat hukuman atau konsekuensi dari tindakan saya itu.
Dan saya sudah lelah dengan segala pukulan yang pernah saya terima di masa kecil dulu sehingga saat dewasa sedapat mungkin saya hindari segala konsekuensi yang buruk.
Namun lama kelamaan, saya merasa bahwa pola pikir seperti itu ternyata salah.
ADVERTISEMENT
Saya merasa hidup saya itu dihabiskan hanya untuk menyenangkan orang lain.
Kalau orang lain senang itu berarti saya senang meski sebenarnya apa yang saya lakukan itu bukan apa yang saya kehendaki.
Perlahan saya mencoba mengubah pola pikir seperti itu.
Caranya dengan banyak membaca buku-buku mengenai konsep diri, bergaul dengan sebanyak mungkin orang agar pandangan saya mengenai kehidupan bisa berkembang dan membuka diri terhadap segala kesalahan yang saya buat.
Tidak mudah tapi perlahan pola pikir saya berubah.
Saat ini, saya mulai berani mengemukakan pendapat di muka umum, belajar dari setiap kesalahan yang saya buat, tidak gampang putus asa, mau mengambil resiko dan tidak gampang menyerah.
Saya merasa mental saya menjadi lebih sehat dan kuat serta memiliki daya juang yang cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Jadi, intimidasi dengan cara apapun adalah salah karena dampaknya bukan dirasakan saat itu juga tapi nanti di masa yang akan datang.
Jangan gunakan intimidasi sebagai alat untuk membuat orang menjadi melakukan apa yang kita inginkan.
Buatlah mereka mengerti dan memahami dengan penjelasan yang baik, fakta-fakta yang ada dan gaya bahasa yang mudah dimengerti.
Sehingga mereka akan menuruti kehendak kita dengan pemahaman yang benar serta kesadaran diri dan bukan karena terpaksa.
Bagi kita yang sudah terlanjur menjadi korban intimidasi dan dampaknya baru kita rasakan saat ini, jangan menyerah.
Sebagai manusia, kita bisa berubah dan tidak harus terus menerus merasa menjadi korban melainkan bisa menjadi seorang pemenang.
Asal ada niat dan tekad yang kuat niscaya kita akan menjadi manusia yang kuat dan unggul dalam setiap fase kehidupan kita.
ADVERTISEMENT