Menghidupkan Kembali Chairil Anwar (1)

Gigih Imanadi Darma
Nostradamus. Homo ludens.
Konten dari Pengguna
28 Juli 2022 18:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lukisan Chairil Anwar. Foto Irwan Jamal/Pinterst
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Chairil Anwar. Foto Irwan Jamal/Pinterst
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Satu abad genap usia Chairil Anwar (26 Juli 1922- 28 April 1949). Hanya saja ia tak sempat hidup lama. Jasadnya terbaring di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Lantas mengapa penyair yang oleh HB Jassin diproklamirkan sebagai pelopor angkatan 45, yang mati dalam usia 27 tahun itu dikenang dan malah terus-menerus dirayakan sedemikian rupa?
Suatu kali saya mengunggah foto Chairil Anwar di status WhatsApp, seorang kawan melempar pertanyaan dengan bunyi di atas, saya yakin pertanyaan itu diketiknya dengan kesadaran penuh dan bukan sambil terpejam mata, ngorok, apalagi mengigau.
Kawan saya itu terheran-heran dengan bermacam ragam cara orang-orang merayakan dan menghidupkan kembali Chairil Anwar. Di berbagai kota dan institusi penyelenggara. Baik yang serius atau semampunya.
Seolah-olah dalam waktu belakangan ini, Indonesia sedang mengeja Chairil Anwar tanpa putus. C-H-A-I-R-I-L A-N-W-A-R.
Sebutlah antara lain, parade pembacaan puisi. Sayembara kritik sastra. Konser puisi. Lomba baca dan cipta puisi. Maraton diskusi. Dan seterusnya. Semua itu diikat oleh satu tema untuk memperingati: 100 tahun Chairi Anwar.
ADVERTISEMENT
Mengapa bisa? Tak perlu bersusah-susah melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaannya itu. Jawaban atas pertanyaan kawan saya itu ringkas saja; Chairil Anwar adalah hulu dari kesusastraan Indonesia.
Sastra membuat hidup lebih mengalir. Dan Chairil Anwar adalah mata air yang tak pernah kering. Anti kemarau.
Pujian semacam itu gampang diucapkan, sebab membahas orang mati tidak lebih sukar daripada membicarakan yang hidup. Sebab ia final. Telah selesai. Lebih-lebih sosok Chairil Anwar.
Yang tak kunjung ditiup peluitnya alias tak akan selesai adalah interpretasi pada persona dan karya-karya Chairil Anwar.
Bagaimana Seharusnya Menghidupkan Kembali Chairil Anwar?
Kita tak mau bukan, memperingati 100 tahun Chairil Anwar dengan sedu sedan? Kita tak menghendaki, terlalu banyak perayaan tetapi sedikit refleksi yang tertampung dan tidak meninggalkan jejak.
ADVERTISEMENT
Saya agak cemas kalau-kalau Chairil Anwar bangkit dari kubur dan mengetuk tempurung kepala kita, sambil berkata "Hoopla".
Agar Chairil Anwar hidup seribu tahun lagi dan tidak pergi untuk selama-lamanya, harus ada yang dirumuskan. Barangkali aturan. Semacam undang-undang. Kurikulum pendidikan yang lebih rinci tentang pembelajaran sastra dari tingkat pendidikan paling dasar.
Tapi tunggu dulu. Bukan apa-apa, yang betul saja, apa sanggup dan mau anggota Legislatif --- atau siapa sajalah yang lebih tepat mengurusi itu --- kita bersungut-sungut menghabiskan waktu membuat payung yang menjamin Chairil Anwar akan diteduhi, dalam artian untuk dibahas berlama-lama dan secara serius namun tidak mengurangi keasyikan di ruang pendidikan.
Tapi tunggu dulu lagi. Darimana pula datangnya ide konyol yang tidak berguna dan menunjukkan ketidaktahuan mendalam tentang tata kelola pendidikan dan kerja-kerja institusinya? Bukankah itu hal bodoh?
ADVERTISEMENT
Pikiran ngelantur tak ubahnya bunyi kaleng rombeng, yang lahir dari orang yang gemar berkhayal dan berprasangka buruk pada pemerintahan yang sah. Dan konon pemerintah adalah pelayan masyarakat. Tapi, bagaimana pula aturan tentang sastra diterapkan pada bangsa yang kurang membaca sastra?
Belum ada jawaban yang jelas dan memuaskan tentang bagaimana seharusnya menghidupkan kembali Chairil Anwar, apalagi ini zaman di mana sastra dipersempit dan berada dalam kepungan potongan puisi-puisi yang dicatut semau-maunya oleh siapapun di sosial media.
Menghidupkan Chairil barangkali adalah tentang kesadaran dan itu mesti kita temukan sendiri. Dengan apa? Cukuplah dengan parade perayaan beragam aktivitas sudah-sudah, seperti yang saya tulis di awal-awal tulisan ini.
Tak usahlah terlalu berharap pemangku negara ini memperkenalkan Chairi Anwar, memperkenalkan sastra pada rakyatnya. Alangkah banyaknya pekerjaan mereka yang belum benar dan beres, mengurusi sastra toh tidak bisa balik modal.
ADVERTISEMENT
Tabik!