Indahnya Perbedaan Berbalut Toleransi

Ginara Gemilentika
Seorang mahasiswa Jurnalistik Unpad tahun kedua yang masih belajar menulis.
Konten dari Pengguna
24 Mei 2021 10:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ginara Gemilentika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan budaya. Beragam suku, ras dan agama tinggal dengan rukun dalam satu kesatuan. Tanggal 13 Mei kemarin menjadi saksi bisu bahwa
Ilustrasi oleh Ginara Gemilentika
semarak toleransi masih berkilau terang di langit Nusantara. Bagaimana tidak, dua agama berbeda saling bersahut-sahutan mengirimkan kata-kata indah untuk merayakan hari istimewanya. Hari Idul Fitri bagi kaum muslim dan Kenaikan Isa Al-Masih untuk kaum Katolik dan Kristen Protestan.
ADVERTISEMENT
Meskipun berjalan masing-masing dan hanya sebatas memberikan ucapan selamat, kedua agama tersebut tetap melaksanakan ibadah di hari besarnya dengan hikmat. Namun, apa jadinya bila dalam satu keluarga, merayakan baik Idul Fitri maupun Kenaikan Isa Al-Masih? Keluarga Caecilia Maura, seorang mahasiswa Jurnalistik tingkat kedua mempunyai jawabannya.
Bertepatan pada hari yang sama bukan berarti terdapat perbedaan pada pelaksanaan perayaannya. Maura berkata bahwa tidak ada perayaan khusus pada peringatan hari Kenaikan Isa Al-Masih, dia dan keluarganya mengikuti Misa secara daring. Bedanya, setelah melakukan Misa, Maura berkumpul untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang merayakan lebaran.
Menurut kesaksian Maura, perbedaan yang paling terasa dari tanggal 13 kemarin adalah ramainya grup keluarga yang saling mengucapkan dua peringatan hari tersebut.
ADVERTISEMENT
“Biasanya ada yang ngucapin selamat lebaran duluan, ada yang Kenaikan Isa Al-Masih duluan, tapi memang kebanyakan selamat lebaran baru di bawahnya selamat Kenaikan Isa Al-Masih,” pungkas Maura.
Kebiasaan Toleransi yang Ditanamkan Sejak Dini
Lahir di keluarga yang memiliki beragam agama, toleransi merupakan sebuah sikap yang lumrah bagi Maura dan keluarga. Wujud toleransi yang paling keren menurutnya adalah setiap orang tahu bagaimana menempatkan dirinya saat sedang berkumpul bersama, tidak ada yang “garis keras”. Lalu bagaimana setiap keluarga mempelajari ajaran dari keluarga lainnya. Jadi setiap kali akan mengadakan suatu acara, sebutlah di hari Minggu, akan ada konfirmasi jam berapakah keluarga yang menjalankan ibadah di Hari Minggu selesai? Sehingga acara akan dimulai setelah semua siap. Seluruh anggota keluarga bersikap fleksibel.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, terkadang ada saja ujian untuk sebuah kerukunan. Tersebarnya pesan-pesan yang menggiring opini atau memojokkan suatu agama, misalnya. Namun kejadian tersebut tidak lantas menyebabkan perpecahan. Kesempatan ini justru dimanfaatkan oleh para om, tante, bude dan pakde untuk mengingatkan bahwa apapun agama, suku, dan rasnya, kita hidup berdampingan. Tidak ada yang harus dipaksakan karena segalanya berdasarkan kesadaran masing-masing. Tugas kita sebagai manusia hanya untuk mengingatkan, bukan saling menyuruh, apalagi menuntut.
Belajar Bertoleransi
Menanamkan sikap toleransi bukanlah perkara yang sulit. Maura berpesan bahwa langkah sederhana untuk dapat bertoleransi adalah jangan terpaku dengan primordialisme pribadi. Kita harus mempelajari atau cukup sebatas mengetahui apa yang dimiliki oleh suku/ras/agama lain. Misal, orang Katolik mengetahui bahwa orang Islam harus sholat sebanyak 5x dalam sehari. Dengan mengetahui lebih banyak tentang yang dimiliki oleh orang lain akan memperkuat sikap toleransi dalam diri. Toleransi inilah kemudian yang bisa dijadikan bekal untuk mengarungi lautan perbedaan kemanapun arah mata angin membawa diri kita karena sejatinya, perbedaan tak dapat dihindari. (gg)
ADVERTISEMENT