Ancaman RUU Cipta Kerja terhadap Agenda Pemberantasan Korupsi

Girli Ron Mahayunan
Asisten Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM
Konten dari Pengguna
29 Juni 2020 22:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Girli Ron Mahayunan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aktivis buruh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan aksi damai di depan kantor DPRD D.I Yogyakarta, Yogyakarta, Rabu, 12 Februari 2020. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
RUU Cipta Kerja atau lazim disebut dengan Omnibus Law, nampaknya tak pernah surut diterpa isu penolakan oleh banyak kalangan masyarakat. Pasalnya, disamping rumusan ketentuan yang dianggap tidak berpihak pada kesejahteraan kelas pekerja/buruh dan aspek keberlanjutan lingkungan hidup, dalam RUU Cipta Kerja terdapat pula perubahan-perubahan yang potensi mereduksi agenda pemberantasan korupsi. Upaya pereduksian terhadap agenda pemberantasan korupsi ditandai dengan dihapusnya beberapa pasal mengatur ancaman pidana terhadap pelaku korupsi, penerapan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang tidak jelas, serta dihapusnya konsep strict liability dalam UU Sektoral. Kompleksnya permasalahan RUU a quo, mengamini akronim "RUU Cilaka" yang sempat disematkan pada RUU Cipta Kerja bahwa RUU a quo benar-benar dapat memberikan "cilaka" pada berbagai sektor, termasuk agenda pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Hapusnya Sanksi Pidana Bagi Pemberi Izin Tambang
Pasal 165 Perubahan Undang-Undang Minerba yang mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan pejabat dalam mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK. Berdasarkan ketentuan tersebut, pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya dalam mengeluarkan izin pertambangan dapat dijatuhi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah.
Dihapusnya Pasal 165, jika diinterpretasikan secara a contrario, maka pejabat yang berwenang mengeluarkan izin dapat leluasa dan hilang kontrol karena tidak disertai dengan sanksi pidana apabila tindakan yang bersangkutan merintangi undang-undang dan kewenangannya. Disisi lain, dihapusnya ketententuan tersebut juga dapat menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di sektor perizinan, mengingat sektor perizinan merupakan sektor yang cukup rentan terjadinya praktik tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tidak Jelas dan Tidak Konsisten
Tak hanya itu, ancaman terhadap agenda pemberantasan korupsi dalam RUU Cipta Kerja juga diperlihatkan dengan adanya beberapa ketentuan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di undang-undang sektoral yang tidak jelas dan tidak konsisten. Beberapa perubahan ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa untuk dijatuhi sanksi pidana terhadap korporasi, maka korporasi terlebih dahulu dijatuhkan sanksi denda administratif. Ketentuan yang demikian tentu merupakan suatu keniscayaan bahwa terdapat pereduksian pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RUU Cipta Kerja. Pasalnya, dalam undang-undang sektoral sebelum diadakan perubahan, sanksi pidana terhadap korporasi secara expressive verbis dapat dijatuhkan tanpa terlebih dahulu dijatuhkan sanksi denda administratif.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 78 UU PPLH yang tidak mengalami perubahan dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 78 UU PPLH menentukan bahwa penjatuhan sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana, sehingga seharusnya tidak ada kewajiban untuk menjatuhkan sanksi administratif sebelum dipertanggungjawabkan secara pidana. Kondisi semacam ini menggambarkan adanya kemunduran terhadap agenda pemberantasan korupsi, karena secara konseptual jenis sanksi pidana yang terdapat dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi hanyalah sanksi pidana denda dan pidana penjara, bukan denda administrasi.
ADVERTISEMENT
Hapusnya Konsep Strict Liability dalam RUU Cipta Kerja
Konsep pertanggungjawaban mutlak atau strict liabity dalam Pasal 88 UU PPLH juga tak luput dari upaya pereduksian pertanggungjawaban pidana korporasi oleh pembentuk undang-undang. Strict liability adalah sistem pertanggungjawaban pidana secara seketika dan langsung dengan kata lain pertanggungjawaban secara mutlak yang tindakannya tidak didasarkan pada unsur kesalahan. Artinya, tanggung jawab mutlak dibebankan pada pihak perseorangan atau korporasi atas dampak kerusakan lingkungan yang berada dalam wilayah yang bersangkutan.
Sebelum diadakan perubahan, konsep strict liability dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 88 UU PPLH yang berbunyi,
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
ADVERTISEMENT
Ketentuan ini kemudian dirubah dengan menghilangkan unsur “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sehingga berbunyi,
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, unsur “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” merupakan unsur yang cukup efektif untuk menjerat korporasi yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Hilangnya unsur tersebut memunculkan beberapa konsekuensi diantaranya, pertama memungkinkan korporasi akan lepas dari tanggung jawabnya untuk memulihkan dampak lingkungan yang terjadi dan kedua, apabila unsur kesalahan tidak dapat dibuktikan, maka timbul pertanyaan siapa yang akan bertanggungjawab atas pemulihan hal tersebut dan mengembalikan kerugian yang ada.
ADVERTISEMENT