Quo Vadis Putusan Pengadilan TUN?

Girli Ron Mahayunan
Asisten Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM
Konten dari Pengguna
12 Juni 2020 5:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Girli Ron Mahayunan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto pengadilan (qimono/pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto pengadilan (qimono/pixabay)
ADVERTISEMENT
Pada 3 Juni 2020 yang lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta melalui putusan nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, membacakan vonis atas gugatan yang dilayangkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) kepada Presiden dan Menkominfo sebagai para tergugat.
ADVERTISEMENT
Adapun objek gugatan yang diajukan yaitu oleh para penggugat yaitu, Pertama, throttling atau pelambatan akses/bandwidth di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua; Kedua, pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet secara menyeluruh di Provinsi Papua (29 Kota/Kabupaten) dan Provinsi Papua Barat (13 Kota/Kabupaten); dan Ketiga, Tindakan Pemerintahan yang memperpanjang pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet secara di 4 Kota/Kabupaten di Provinsi Papua.
Majelis hakim menyatakan bahwa tindakan para tergugat atas ketiga tindakan tersebut di atas adalah perbuatan melanggar hukum oleh Badan dam/atau pejabat Pemerintahan. Vonis terebut absah, berdasar pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, yang secara expressive verbis memperluas kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, salah satunya yaitu mencakup kewenangan mengadili perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah, yaitu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan pemerintahan (Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan) yang biasa disebut dengan onrechtmatige overheidsdaad (OOD).
ADVERTISEMENT
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, tak hanya sekali ini gugatan atas tindakan pemerintah dilayangkan oleh kelompok masyarakat. Terhitung, telah tiga kali kelompok masyarakat melayangkan gugatan kepada pemerintahan Jokowi dan berakhir kemenangan bagi kelompok masyarakat. Ketiganya adalah gugatan citizen law suit atas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan Tengah, Uji Materi Perpres 75/2019 tentang BPJS Kesehatan, dan Pemutusan jaringan internet di Provinsi Papua dan Papua pada 2019.
Peristiwa di atas merupakan hal yang wajar dalam konteks negara hukum (reschstaat), di mana masyarakat dapat menggugat keputusan suatu otoritas yang dianggap melanggar hak-hak warga negara. F.J Stahl dalam karyannya philosophie des rechts menyebutkan 4 unsur-unsur negara hukum. Selain adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia dan pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmaag besttiur), adalah adanya peradilan administrasi untuk menyelesaikan perselisihan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu bidang peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sekaligus memiliki peran dalam menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negara dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat. Sayangnya, kekuatan pelaksanaan putusan PTUN justru masih lemah.
Penulis menemukan beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, di antaranya, Pertama, tidak adanya lembaga eksekutorial khusus yang berfungsi menegakkan pelaksanaan putusan pengadilan TUN; Kedua, rendahnya kesadaran pejabat TUN dalam menaati putusan pengadilan TUN; dan Ketiga, tidak ada ketentuan tegas mengenai pelaksanaan putusan pengadilan TUN.
Dalam konteks hukum positif, ketentuan mengenai PTUN diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Salah satu substansi yang diatur dalam perubahan UU a quo yaitu terkait dengan sistem pelaksanaan putusan PTUN yang dianut. UU No. 5 Tahun 1986 menganut sistem self respect/self obedience yaitu dilaksanakannya putusan PTUN bergantung pada budaya hukum atau kesukarelaan Pejabat PTUN, artinya tidak dapat dilakukan upaya paksa terhadap Pejabat TUN yang tidak mengindahkan putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Hal ini tercermin dalam pasal 116 yang menyebutkan apabila tergugat tidak menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan putusan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan yang bersangkutan dalam 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dan Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat (tergugat) tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Dalam hal instansi atasan tersebut tidak mengindahkan ketentuan tersebut di atas, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan itu.
Berbeda halnya dengan sistem pelaksanaan putusan PTUN yang dianut dalam UU No. 51 Tahun 2009. UU a quo menganut sistem fixed execution, di mana pelaksanaan putusan dapat dipaksakan oleh pengadilan. Pasal 116 ayat (4) UU a quo mengatur bahwa apabila putusan tetap tidak dilaksanakan, terhadap pejabat TUN yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Pada ayat selanjutnya, bilamana putusan tetap tidak dilaksanakan, maka diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera.
ADVERTISEMENT
Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (6).
Pentingnya Lembaga Eksekutorial
Ketentuan mengenai eksekusi putusan yang menyebutkan bahwa pengadilan dapat meminta atasan Pejabat TUN atau bahkan presiden untuk mengintervensi tergugat melaksanakan putusan pengadilan TUN, tentu tidak boleh sering-sering terjadi. Mengingat sering ikut campurnya presiden dalam upaya pelaksanaan putusan, akan berdampak pada hilangnya kewibaan presiden sebagai seorang kepala pemerintahan.
UU PTUN telah memberikan keabsahan untuk melakukan upaya paksa berupa sanksi administratif dan uang paksa (dwangsom), namun keberhasilan pelaksanaan putusan di lingkungan peradilan TUN masih relatif rendah.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, pengenaan sanksi administratif dan uang paksa seolah bukan merupakan senjata yang ampuh untuk mengatasi pejabat TUN yang tak patuh. Di samping ketidakpatuhan Pejabat TUN dalam melaksanakan putusan, juga diperkuat dengan tidak adanya lembaga eksekutorial yang berwenang melakukan upaya paksa. Jika merujuk pada UU No. 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara, sejatinya telah dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap perilaku ASN.
Akan tetapi, KASN tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi putusan Pengadilan TUN. Adanya peran lembaga eksekutorial diharapkan dapat memberikan efektifitas pelaksanaan putusan pengadilan TUN secara paksa oleh alat kelengkapan negara, khususnya dalam sengketa TUN di bidang kepegawaian terkait rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
Kriminalisasi Contempt of Court
Di samping adanya lembaga eksekutorial yang melakukan upaya paksa, kepatuhan tergugat dalam melaksanakan putusan dapat didorong melalui kriminalisasi perbuatan yang merendahkan martabat pengadilan (contempt of court). Kriminalisasi diartikan sebagai sebuah proses penentuan perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan pidana, menjadi perbuatan pidana.
Dalam konteks PTUN, contempt of court dapat diartikan sebagai tindakan yang tidak menghormati putusan pengadilan TUN yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Salah satu dampak dari ketidakpatuhan atas putusan pengadilan TUN adalah menurunnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah dan lembaga peradilan pada khususnya, serta aparatur negara pada umumnya. Maka untuk menghindari hal itu, sudah semestinya terdapat mekanisme yang tegas, salah satunya yaitu dengan mengkriminalisasi contempt of court terhadap pejabat TUN.
ADVERTISEMENT
Di samping pengenaan sanksi administratif dan uang paksa yang pelaksanaannya kurang efektif, upaya kriminalisasi contempt of court diperlukan sebagai upaya paksa dari hukum pidana sebagaimana asas ultimum remidium atau hukum pidana sebagai jalan terakhir.
Upaya kriminalisasi contempt of court dalam pranata hukum Indonesia dapat dilakukan melalui tiga mekanisme, yaitu dengan menambahkan pasal ancaman pidana terhadap pejabat TUN yang tidak menjalankan putusan pengadilan TUN sebagaimana mestinya; merumuskan contempt of court dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagaimana telah dilakukan pula oleh pemerintah dalam RUU Hukum Pidana yang tengah di bahas; dan melalui pembentukan UU Contempt of Court secara terpisah.