Antara Sunat Perempuan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Grace Inka Putri
Saya merupakan seorang mahasiswa aktif jurusan hubungan internasional dari Universitas Lampung. Saya memiliki ketertarikan akan isu internasional seperti HAM, kesetaraan gender, dan perdamaian.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2022 21:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grace Inka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sunat perempuan. Foto: Bagus Permadi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sunat perempuan. Foto: Bagus Permadi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sanak sekalian, sebelum memulai pembahasan ada baiknya kita awali topik dengan pendahuluan. Mungkin sebagian besar dari kita masih asing dengan istilah sunat perempuan atau yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Female Genital Mutilation (FGM). Namun dalam pembahasan kali ini akan kita dalami dan dikaitkan dengan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Sunat perempuan merupakan suatu praktik tradisi yang banyak dilakukan di berbagai negara di dunia dengan memotong sebagian atau seluruh bagian klitoris. Salah satu negara yang dikenal dengan kasus sunat perempuan tinggi yaitu Sierra Leone yang melakukan praktik sunat perempuan sebagai upacara ritual kedewasaan.
Sumber : Unsplash
Praktik sunat perempuan sangat dipengaruhi oleh sosok ibu yang memiliki andil besar dalam terjadinya praktik sunat sebagai pengambil keputusan. Anak tidak memiliki kebebasan untuk menentukan hak kontrol akan tubuhnya sendiri dan harus patuh pada keputusan keluarga. Banyak anak perempuan yang melakukan praktik sunat memutuskan untuk putus sekolah karena menganggap bahwa dirinya telah mendapat status istimewa pasca sunat.
Kemudian apa perbedaan antara sunat perempuan dan laki-laki? Sunat laki-laki dilakukan dengan menghilangkan sebagian kulit penis tanpa merusak fungsi seksual, sebaliknya sunat perempuan dilakukan dengan merusak fungsi seksual yaitu dengan memotong sebagian atau seluruh bagian klitoris dengan tujuan menghilangkan hasrat seksual perempuan muda serta menjaga kesetiaan dalam pernikahan di masa depan. Dengan demikian, rasanya sangat tidak adil jika menyamakan sunat perempuan dan laki-laki karena akibat yang ditimbulkan tidak setara dengan tujuan yang berbeda. Kesetiaan perempuan tidak bisa diukur dari praktik sunat perempuan.
ADVERTISEMENT
Sunat perempuan mengakibatkan dampak negatif yang sangat besar, baik secara fisik maupun psikologis. Dampak fisik termasuk pendarahan yang berlebihan, pembengkakan jaringan genital, demam, infeksi masalah kencing, peningkatan risiko komplikasi persalinan, dan masalah seksual. Begitu juga dengan dampak psikologis yang memengaruhi mental seperti depresi, gangguan kecemasan, stres, dan lainnya.
Menanggapi isu tersebut, World Health Organization (WHO) sebagai organisasi internasional yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan menyatakan pandangannya terhadap isu sunat perempuan yang memiliki dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis, yaitu melalui pernyataannya bahwa sunat perempuan merupakan bentuk pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak perempuan tanpa keuntungan secara medis.
Senada dengan suara WHO, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW) menolak bentuk praktik sunat perempuan yang diperinci dalam pasal 5A yang menyatakan bahwa setiap negara harus membuat regulasi untuk mengubah pola pikir atau kebiasaan masyarakat yang menunjukkan superioritas salah satu jenis kelamin. Dalam upaya penanganan isu sunat perempuan, hukum dan politik merupakan dua unsur yang menjadi dasar dukungan dalam pembuatan kebijakan pelarangan praktik tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemaparan di atas, maka jelas bahwa praktik sunat perempuan merupakan pelanggaran HAM terhadap perempuan di mana mereka tidak memiliki hak kontrol atas tubuhnya sendiri dan harus menanggung akibat dari sesuatu yang tidak mereka inginkan. WHO dengan lantang menjelaskan bahwa praktik sunat perempuan tidak memiliki keuntungan secara medis. Maka untuk mengupayakan perempuan yang lebih sehat, perubahan hukum untuk melarang praktik sunat perempuan sangat diperlukan dan mengupayakan perubahan pola pikir dalam masyarakat.
Tanggal 6 Februari diperingati sebagai hari tidak ada toleransi bagi mutilasi alat kelamin perempuan internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mari kita dukung gerakan tersebut agar perempuan di dunia semakin sehat.