Adakah Sisi Humanis dari Kapitalisme?

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
23 November 2020 13:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membaca buku. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membaca buku. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Sosiolog kenamaan Max Weber pernah bertanya di dalam bab pertama bukunya mengenai the Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism: kenapa masyarakat yang mendukung reformasi gereja (baca: kaum Protestan) pada saat yang sama daerahnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi?
ADVERTISEMENT
Mengapa daerah dengan mayoritas masyarakat penganut Katolik justru pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding Protestan? Ini bukanlah pertanyaan retoris belaka. Lebih penting lagi, pertanyaan Weber telah mengajarkan kita tentang bagaimana sosiologi seharusnya bekerja.
Max Weber tidak sedang melihat motivasi individu di balik sebuah tindakan, karena itu sudah menjadi tugasnya psikologi. Untuk itu Weber memperkenalkan istilah ‘tindakan sosial’: bahwa setiap orang bertindak sesuai pemaknaan subyektifnya terhadap lingkungan sosial di sekitar.
Weber menekankan bahwa tindakan yang didasarkan pemaknaan subyektif seseorang disebut ‘tindakan sosial’, apabila ia saling berelasi dengan individu lain atau arena sosial di mana mereka saling berinteraksi. Dalam konteks Etika Protestan, tindakan sosial kaum Protestan adalah pemaknaan subyektif terhadap nilai-nilai agama mereka sendiri. Artinya, mereka bertindak sesuai dengan arahan agama berdasarkan apa yang mereka maknai.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya mengenai etika Protestan, Weber melihat ada nilai-nilai yang melekat pada kaum Protestan di Jerman kala itu, dan sangat erat hubungannya dengan semangat kapitalisme. Semangat ini tidaklah berkonotasi negatif—seperti kritik kalangan Marxian—, melainkan prinsip-prinsip positif dari kapitalisme ternyata juga ada pada Protestan, terutama aliran Calvinis—dibawa oleh tokoh utamanya, John Calvin.
Nilai Protestanisme di satu sisi, menganggap bahwa bekerja keras dan mengejar duniawi adalah panggilan agama; sedangkan di sisi yang lain, nilai-nilai asketis agar manusia tetap berlaku hemat dan rendah hati juga tidak kalah pentingnya.
Weber tidak sedang mengatakan etika Protestan berpengaruh terhadap perkembangan kapitalisme. Weber hanya melihat bahwa ada hubungan antara etika Protestan dan kapitalisme itu sendiri. Bagi yang memahami asumsi dalam statistik, kita akan tahu bahwa ‘korelasi’ dan ‘kausalitas’ adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal ini, Weber sedang melakukan hal yang pertama.
ADVERTISEMENT
Ada perbedaan yang mencolok antara kaum Protestan dan Katolik di Jerman menurut amatan Weber terkait dengan posisi sosial mereka masing-masing. Bisnis-bisnis kapitalistik cenderung banyak diisi oleh kalangan Protestan dibanding Katolik. Sedangkan orang-orang Katolik cenderung mengambil pekerjaan technical yang tentu saja tidak lebih mendorong pertumbuhan dibanding jika membangun sebuah korporasi besar.
Orang-orang Protestan dengan kata lain, tampak berada dalam posisi sosial di atas lebih tinggi dibandingkan Katolik. Boleh setuju atau tidak, tapi itulah yang Weber amati di Jerman setidaknya di awal abad ke-20.
Analisis Max Weber mengenai nilai-nilai Protestan di Jerman membawa kita pada pandangan humanistik dari kapitalisme. Tentu Protestan hanya amatan empiris Weber yang jika kita kaitkan—katakanlah—dengan agama-agama lain di dunia, mungkin kita akan temukan persinggungan yang serupa.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai konfusian di Asia yang terkait dengan kerja keras mungkin bisa bersinggungan dengan kapitalisme. Di Islam, dengan sudut pandang tertentu, semangat kapitalisme juga dapat kita temukan. Dalam sejarah kenabian, para pengikut setia Nabi sebagian adalah pengusaha ulung. Utsman ibn Affan, misalnya, memiliki harta kekayaan yang tidak terkira, dan ia mendapatkannya melalui bisnis kapitalistik.
Tapi apakah sisi kapitalisme dari ajaran Islam menghilangkan nilai humanistik? Jelas jawabannya tidak. Mungkin seperti agama lain, Islam juga memerintahkan penganutnya untuk tetap rendah hati, tidak serakah, dan membayar zakat serta rajin bersedekah. Perintah untuk lebih banyak memberi kepada orang lain adalah sinyal agar seseorang mengumpulkan harta dunia. Sebab, sangat tidak mungkin orang dapat membayar zakat atau bersedekah jika tidak memiliki harta.
ADVERTISEMENT
***
Kapitalisme memang dikritik habis oleh Marx dan para pengikutnya. Namun dalam posisi ini, Weber sebetulnya tidak sedang mengkritik Marx. Weber menganggap ‘ajaran’ Marxian memiliki tipe idealnya sendiri tentang masyarakat, dan Weber berusaha mengungkap bagaimana kapitalisme itu muncul dan berkembang: sesuatu yang tidak dijelaskan Marx.
Perbincangan Weber tentang kapitalisme tidak berhenti pada etika Protestan. Weber bahkan menarik pertanyaan pada konteks yang lebih luas lagi: bagaimana kapitalisme dapat tumbuh pesat di peradaban Barat, namun perdaban lain menunjukkan arah perkembangan yang berbeda? Weber mencoba menjawabnya dalam rangkaian esai yang kemudian terbit pada karyanya yang lain: Economy and Society.
Memang benar bahwa Weber menganggap kapitalisme memiliki ‘nilainya’ sendiri sebagaimana ia jelaskan mengenai etika Protestan. Namun ketika Weber berbicara tentang kapitalisme modern di alam Barat, tampaknya ia memiliki kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Analisis sosiologinya masih tetap dimulai dari ‘tindakan sosial’, dan ini dijelaskan pada bagian pertama Economy and Society dengan judul ‘konsep-konsep dasar sosiologi’. Jika menggunakan jalan pikiran Weber, kapitalisme yang tumbuh di dunia modern Barat berasal dari proses rasionalisasi yang sangat instrumental. Dalam teorinya tentang tindakan sosial, Weber menempatkan tipe rasional-instrumental sebagai tindakan aktor berdasarkan kalkukasi dan perhitungan efisiensi guna mencapai tujuannya. Bagi Weber, “tindakan ekonomi rasional” mensyaratkan adanya rasionalitas instrumental sebagai orientasinya
Weber berpendapat bahwa tumbuh pesatnya kapitalisme di peradaban Barat adalah sebagai akibat dari proses rasionalisasi di dalam masyarakat yang didasarkan pada tindakan-tindakan rasional-instrumental. Di dalam kapitalisme, dibutuhkan berbagai instrumen yang beroperasi secara rasional: adanya pergerakan bebas dari tenaga kerja, lahan, dan barang. Instrumen itu juga harus didukung dengan institusi sosial yang berjalan secara rasional. Untuk itulah dibutuhkan negara sebagai ‘pemegang monopoli kekerasan’ dan birokrasi modern.
ADVERTISEMENT
Weber tampak mengamati daerah kelahirannya: Prussia. Bagi Weber, Prussia adalah contoh beroperasinya birokrasi sipil dan militer yang kuat. Birokrasi sipil di Prussia tampak berjalan efisien, profesional, dan memiliki tujuan yang dapat dikalkulasi. Sedangkan birokrasi militer di Prussia dianggap Weber juga sangat rasional, sehingga berhasil menyatukan kembali Jerman setelah terpisah menjadi timur dan barat. Kapitalisme modern pada akhirnya disokong oleh negara yang kuat, peradilan yang profesional, dan birokrasi yang rasional-modern.
Perkembangan dunia modern dalam arti kapitalisme menurut Weber sejatinya memiliki arah yang berbeda di antara masyarakat-masyarakat yang ia amati. Weber dalam konteks ini menjelaskan bagaimana pra-kondisi dari kapitalisme yang rasional, di mana terdapat pergerakan bebas dari tenaga kerja, lahan, dan barang, serta adanya sistem kepemilikan, hukum, dan keuangan. Pra-kondisi tersebut tampak terjadi yang membuat kapitalisme dapat tumbuh di peradaban Barat. Namun, Weber membandingkan dengan apa yang terjadi di India dan Cina. Weber melihat bahwa rasionalisasi di kedua masyarakat tersebut terhambat akibat nilai-nilai tradisional yang inheren di dalam keduanya. Di Cina, rasionalisasi terhambat oleh ikatan kesukuan, sistem feodal, dan patriarkis; sedangkan di India, hambatan itu menurut Weber datang dari sistem kasta.
ADVERTISEMENT
***
Mungkin banyak yang menganggap bahwa Weber adalah peletak dasar dari model birokrasi modern. Padahal, ungkapan itu berpotensi keliru dan mendiskreditkan peran Weber sebagai sosiolog. Penjelasannya tentang kapitalisme modern yang didalamnya terdapat berbagai instrumen rasional -- termasuk birokrasi -- adalah jawaban atas pertanyaan sosiologisnya tentang arah perubahan sosial bagi peradaban Barat. Weber hanya berusaha menjelaskan asal-usul kapitalisme terutama di Eropa, dan ia berusaha mencari tahu bagaimana metode sosiologisnya dapat memberikan jawaban.
Weber sendiri bahkan menganggap bahwa kapitalisme yang berakar pada rasional-instrumental telah menghilangkan sisi-sisi humanisnya. Kapitalisme akan menjadi humanis ketika tindakan sosial berdasarkan pada rasional-nilai, sebagaimana yang dilakukan kaum Calvinis untuk mengejar duniawi namun tetap berhemat dan rendah hati. Dorongan nilai-lah yang membuat kapitalisme sebagai output dari tindakan, memiliki nilainya sendiri. Namun dalam kapitalisme modern yang diamati Weber, manusia tampak semakin tidak diposisikan sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Proses untuk terus mengakumulasi keuntungan di dalam kapitalisme modern seringkali menabrak banyak aspek-aspek manusiawi: merusak lingkungan, upah rendah, hingga memposisikan manusia layaknya komoditas. Kekhawatiran Weber memang terbukti. Tapi bagi Weber, itulah ‘hukuman’ bagi masyarakat rasional di dunia modern.
Jadi apakah kapitalisme memiliki sisi humanisnya? Jawabannya ada. Tapi manusia sendirilah yang justru menghilangkan sisi kemanusiaannya sendiri.
Grady Nagara. Peneliti Next Policy. Mahasiswa magister sosiologi Universitas Indonesia.