Akar Masalah Polusi Jakarta

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2019 9:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polusi Udara Jakarta. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Polusi Udara Jakarta. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Entah sengaja atau tidak, kita cukup sering membahas persoalan sosial-lingkungan di sekitar tanpa melihat konteks masa lalu yang membentuk keadaan itu sendiri. Ada semacam gejala "amnesia massal" seolah-olah kejadian tersebut terjadi secara tiba-tiba. Salah satunya terlihat dari isu polusi udara Jakarta yang belakangan ini sedang naik di pemberitaan publik. Berdasarkan indeks yang dikeluarkan AirVisual, udara Jakarta saat ini dikategorikan tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Narasi arus utama di berbagai media hanya berkelindan di seputar "buruknya kualitas udara" dan penyebab langsungnya seperti emisi dari kendaraan bermotor, pembangunan konstruksi, emisi dari industri yang tidak ramah lingkungan, emisi dari PLTU batu bara di dekat Jakarta, dan lain sebagainya. Namun, dari semua penyebab, tampaknya emisi kendaraan bermotor adalah tersangka utamanya.
Tidak ada yang salah dengan narasi tersebut. Pun, langkah Pemprov DKI Jakarta yang mengeluarkan Instruksi Gubernur no. 66 tahun 2019 tentang Pengendalian Udara adalah langkah taktis yang wajar saja. Tapi kita harus tahu bahwa persoalan ini, jika dilihat dalam kacamata historis dan politis, sesungguhnya tidak lepas dari problem ekonomi politik dalam pembangunan kota Jakarta setidaknya sejak akhir dekade pemerintahan Suharto. Bagaimana penjelasannya?
ADVERTISEMENT

Konteks Ekonomi Politik

Karena membahas konteks ekonomi politik, mau tidak mau, penjelasan harus dimulai dari rangkaian kebijakan pembangunan Indonesia sepanjang sejarah Orde Baru. Penjelasan ini sangat penting untuk mengetahui posisi kota Jakarta dalam pembangunan, yang berdampak susulan berupa tergadainya hak warga kota, termasuk hak atas udara bersih.
Masifikasi pembangunan mulai dilakukan sejak presiden Suharto berkuasa, terutama saat Indonesia mendapatkan "durian runtuh" dari kenaikan harga minyak dunia tahun 1971 akibat perang Arab-Israel. Naas, ketergantungan pada sumber ekstraktif kandas di awal 1980-an karena harga minyak dunia merosot drastis. Perlu diingat bahwa saat itu Indonesia masih menjadi anggota organisasi dunia pengekspor minyak bumi (OPEC)--berbeda dengan sekarang yang menjadi net importir.
Akibatnya, Indonesia harus mengandalkan sektor lain yang sifatnya non-ekstraktif. Menggiatkan industri manufaktur sebagai strategi alternatif untuk mengganti sektor minyak bumi yang sedang loyo tidak memberikan hasil yang memuaskan. Singkat cerita, pemerintah Orde Baru melirik sektor properti dan lahan pasca 1988, terutama di kawasan Jakarta dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dibentuk saat itu memberikan izin kepada pengembang swasta secara tidak terkontrol. Secara politis, situasi ini sangat menguntungkan spekulan lahan, yang banyak didominasi oleh para konglomerat yang mendapatkan keistimewaan dan kejayaan dari Suharto sejak era boom minyak. Sebut saja grup-grup konglomerat yang sangat mudah kita jumpai di ruang kota hari ini: Salim Group, Lippo, Sinar Mas, dan sebagainya. Para konglomerat tersebut menjadikan Suharto sebagai patron utamanya, yang nyatanya masih bertahan meski Suharto tidak lagi berkuasa dan reformasi sudah berjalan.
Hingga menjelang krisis 1997/1998, bahkan sampai dengan era setelahnya, ruang strategis di kota Jakarta dan sekitarnya dikomersialisasi habis-habisan melalui tangan para pengusaha kaya dan konglomerat untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Berbagai macam shopping center, superblock, dan apartemen mewah, dibangun untuk memacu konsumsi masyarakat terutama guna membantu pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, swastanisasi kawasan industri yang tentu saja berbasiskan penggunaan lahan membuat kota Jakarta semakin sempit. Kita bisa lihat hari ini bagaimana industri-industri yang terutama berada di kawasan pinggiran Jakarta berjumlah sangat banyak.
Guna mendukung kota Jakarta yang semakin tumbuh, dibangunlah jalan tol untuk kemudahan mobilitas, dan berbagai infrastruktur pendukung sehingga aktivitas ekonomi di Jakarta semakin efisien. Intinya: semua dilakukan untuk mengundang investasi sehingga pertumbuhan Jakarta semakin pesat.
Hasrat pertumbuhan kota yang berorientasi pada investasi ini disebut sebagai kota dunia (world city): bahwa Jakarta harus bisa bersaing dengan kota-kota lain di dunia dalam merebut modal internasional (Friedmann, 1986). Ibarat perlombaan, Jakarta ‘dihias’ sedemikian rupa untuk mendapatkan hadiah utama sebagai pemenang. Perumpamaan ini menurut saya cukup tepat mengingat orientasi pertumbuhan kota seringkali diukur dari tampilan fisik (seperti gedung pencakar langit, perumahan mewah, dan sebagainya). Lebih-lebih, hal itu beriringan dengan provokasi bahwa apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan semua warga, seolah-olah pembangunan itu sendiri bersifat bebas nilai (value free).
ADVERTISEMENT
Padahal, kenyataannya justru pembangunan kota yang semata-mata ingin menarik perhatian dunia, terutama investasi, tidak lebih dari bentuk urbanisasi spekulatif (Goldman, 2015). Disebut demikian karena pembangunan kota begitu sarat spekulasi akan investasi. Kita harus ingat bahwa modal yang menjadi basis investasi sangat mudah berpindah lintas negara (capital mobility) dalam konteks pasar global.
Posisi Indonesia sebagai negara pinggiran tentu saja harus bersaing dengan negara-negara pinggiran lain untuk merebut arus modal. Ironisnya, tindakan ini didukung oleh lembaga internasional seperti Bank Dunia dan UNDP. Terutama oleh IMF, Indonesia seolah didikte untuk mengikuti berbagai kebijakan penyesuaian yang membuat Indonesia semakin bergantung pada ekonomi global.
Dampaknya, para birokrat dan perencana kota tergagap-gagap ketika tiba saatnya dalam menghadapi masalah jangka panjang yang bersifat kronis akibat pertumbuhan bisnis tak terkendali. Masalah tersebut sudah kita jumpai hari ini, antara lain pertumbuhan populasi Jakarta yang tidak terkontrol akibat kesenjangan desa-kota, disusul masalah lingkungan seperti sampah, termasuk yang sedang kita bahas sekarang: polusi udara.
ADVERTISEMENT

Masalah Polusi Udara

Sangat sulit untuk menyebut bahwa upaya dalam menumbuhkan kota Jakarta adalah untuk kebaikan warganya sendiri. Buruknya kualitas udara Jakarta adalah contoh bagaimana rezim pertumbuhan yang merupakan koalisi birokrat dan kelompok bisnis telah mengabaikannya sejak lama. Dengan kata lain, polusi udara adalah salah satu dampak endemik dari hubungan bisnis dan politik yang sudah sejak lama saling mengambil keuntungan satu sama lain.
Pihak birokrat menginginkan agar peran kelompok bisnis dapat memacu pertumbuhan kota, sedangkan kelompok bisnis tentu saja mengambil kesempatan ini untuk mengakumulasi modal dan mempertahankan kekayaan.
Untuk melihat keterpautannya, sebagai contoh, mari kita lihat dari tersangka utama dalam kasus polusi udara: emisi kendaraan bermotor. Berdasarkan catatan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek tahun 2016, jumlah kendaraan bermotor didominasi oleh kepemilikian pribadi. Sepeda motor berjumlah 18,4 juta unit, mobil berjumlah 5,9 juta unit, dan angkutan umum 512 ribu unit. Dari total perjalanan dan persentase penggunaan kendaraan bermotor, sepeda motor paling mendominasi yaitu 74 persen, kemudian mobil 24 persen, sedangkan angkutan umum hanya 2 persen.
ADVERTISEMENT
Ada dua kemungkinan yang dapat ditelisik dari data di atas. Pertama, perilaku masyarakat kota yang lebih memilih kendaraan pribadi. Biasanya ini didorong oleh mudahnya skema kredit kendaraan dan nilai pajak yang dianggap terlalu kecil. Kedua, kegagalan pemerintah dalam menyediakan transportasi publik yang memadai.
Bagi yang melihatnya secara ahistoris, barangkali pilihan akan tertuju pada kemungkinan pertama, yang ujung-ujungnya warga sendiri yang disalahkan. Sebaliknya, dengan melihat konteks historis dan politis, pilihan akan lebih tertuju pada kemungkinan kedua. Meski saya tidak menafikan ada faktor perilaku, namun keadaan ini dibentuk secara struktural akibat orientasi pertumbuhan kota yang tidak mementingkan kepentingan seluruh warga, disusul dengan kegagalan dalam menyediakan transportasi publik.
Silakan cek, apakah ada kebijakan ambisius bersifat jangka panjang yang mengorientasikan pembangunan kota untuk mengakomodasi kebutuhan semua warganya sejak Orde Baru? Saya yakin (hampir) tidak ada. Soal pembenahan transportasi, itu pun baru dicanangkan lewat Perpres Rencana Induk Transportasi Jabodetabek yang baru disahkan tahun lalu. Tentu butuh waktu sangat lama untuk menunggu langkah pembenahan total.
ADVERTISEMENT
Infrastruktur transportasi sejak dulu justru dibangun untuk melayani kepentingan bisnis. Dengan dalih efisiensi, aktivitas bisnis bisa lebih bergairah, maka investasi akan mengalir deras. Pemerintah lalu dapat menggenjot pertumbuhan lebih besar. Semua bermuara dari ambisi untuk menjadikan Jakarta sebagai world city. Sebaliknya bagi warga kota, terutama kelas menengah ke bawah sama sekali tidak diuntungkan dari pembangunan itu.
Sulitnya akses transportasi, membuat tidak ada pilihan bagi warga untuk memenuhi kebutuhan mobilitasnya selain menggunakan kendaraan pribadi. Negara telah membiarkan warga kota semakin bergantung pada kendaraan pribadi. Implikasinya, pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkontrol akan menyumbang polusi yang membuat udara di Jakarta semakin buruk. Jadi sebetulnya, perilaku ketergantungan itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi politik.
ADVERTISEMENT
Itu baru dari satu penyebab saja, bagaimana dengan tersangka lain semisal aktivitas industri yang tidak ramah lingkungan? Tentu pembacaan historis dan politis sebagaimana konteks ekonomi politik di atas sangat relevan.
Karena kepentingan untuk merangsang investasi, negara melakukan swastanisasi tak terkendali untuk membuka banyak kawasan industri di sekitar Jakarta. Sebetulnya swastanisasi ini dilakukan mengingat APBN pemerintah saat itu tidak memadai, padahal pembukaan kawasan sangat penting untuk mengundang investasi. Kalau kita mengeluh industri-industri tersebut telah membuat polusi semakin parah, jawabannya tentu karena sejak dulu memang sudah dibuat demikian.
Oleh sebab itu, kita dapat melihat ada keterpautan yang sangat erat antara pilihan kebijakan di masa lalu, terhadap masalah polusi udara Jakarta yang hari ini sedang kita kutuk habis-habisan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak bermaksud menyebarkan pesimisme. Tapi kita harus tahu bahwa tata ruang kota Jakarta telah mengalami pelapukan secara fundamental sehingga abai terhadap hak-hak warga kota. Keinginan untuk menjadi world city justru mengorbankan hak warganya untuk merasakan lingkungan yang sehat dan udara yang bersih.
Apa yang harus dilakukan pemerintah saat ini? Tentu mengambil langkah taktis perlu dilakukan untuk mengurangi dampak polusi semakin buruk. Sedangkan yang lebih penting lagi bagi rezim ini, baik di tingkat nasional maupun kota, adalah mengubah orientasinya dari hanya semata-mata menjadikan Jakarta sebagai world city, menjadi kota yang ramah terhadap seluruh warganya.
Tapi kelihatannya tidak demikian. Karena nyatanya pemerintah terlihat ‘menyerah’ atas kondisi Jakarta yang semakin buruk, dengan memindahkan ibu kota ke pulau Kalimantan. Alih-alih pemerataan pembangunan, saya khawatir justru ibu kota baru akan disiapkan untuk menjadi world city dan pusat investasi yang baru. Jika iya, siap-siap warga di sana menghirup udara kotor sebagaimana yang dirasakan warga Jakarta dalam beberapa dekade ke depan.
ADVERTISEMENT
*Grady Nagara
Manajer Program NEXT Policy