Ambyar Penanganan Corona

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
11 September 2020 12:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Instagram @jokowi
zoom-in-whitePerbesar
Instagram @jokowi
ADVERTISEMENT
Membaca laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang situasi COVID-19 di Indonesia per 9 September lalu sangat menyesakkan dada: paling tidak 183 tenaga kesehatan meninggal akibat virus corona sejak pandemi ini dimulai. Angka itu adalah akumulasi kematian untuk 104 dokter, 70 perawat, dan 9 dokter gigi. Kematian tenaga kesehatan adalah kabar buruk bagi Indonesia yang memiliki rasio tenaga kesehatan sangat rendah. Per 1.000 penduduk, rasio dokter di Indonesia hanyalah 0,4, paling rendah kedua di Asia Tenggara setelah negara Kamboja.
ADVERTISEMENT
WHO pun menyoroti klaster penularan virus di pabrik dan perkantoran yang tampak meningkat pesat di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Provinsi lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga dilaporkan terjadi hal yang serupa. Efek ini muncul akibat dimulainya aktivitas pekerja pasca-diterapkannya adaptasi kebiasaan baru oleh pemerintah. Hal ini memberikan kesan kuat bahwa banyak perusahaan yang abai terhadap kondisi kesehatan pekerjanya.
Di sisi yang lain, melihat data amatan (surveillance) kasus terkonfirmasi COVID-19 saja sudah cukup membuktikan bahwa situasi kita justru semakin mengkhawatirkan. Tren kasus terkonfirmasi menunjukkan peningkatan yang semakin tidak terkendali, di mana angkanya melampaui 3.000 kasus baru per harinya. Sebanyak 59,3 persen kasus terkonfirmasi berasal dari tiga provinsi di pulau Jawa; yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. DKI Jakarta terlihat seperti episentrum COVID-19 yang tidak terkendali.
ADVERTISEMENT
Kasus terkonfirmasi yang dilaporkan setiap hari sejatinya hanyalah puncak gunung es. Kita sedang berhadapan dengan problem pelik ambyarnya penanganan Corona di Indonesia. Satu hal yang sangat penting namun hilang dari upaya penanganan adalah tingkat tes PCR sebagai salah satu kunci untuk mendeteksi penyebaran COVID-19.
Per 9 September lalu, jumlah kasus suspek yang dilaporkan adalah sebesar 92.330. Sedangkan jumlah testing bagi kasus suspek tersebut pada hari yang sama hanya 15.335, atau sekitar 17 persen dari total kasus suspek yang dilaporkan. Ini menunjukkan gap yang sangat besar, bahwa masih banyak kasus suspek yang belum dites, padahal mereka adalah prioritas penanganan.
Hal penting lainnya yang menjadi sorotan adalah rendahnya kapasitas testing untuk mencari kasus baru, terutama bagi mereka yang tidak memiliki gejala. Tes PCR di Indonesia masih terhitung sangat rendah: empat kali lebih rendah dari India, delapan kali lebih rendah dari Brasil, dan 30 kali lebih rendah dibanding Rusia.
ADVERTISEMENT
Narasi soal testing berdasarkan laporan WHO yang terbaru lebih bernada tegas: Indonesia harus tingkatkan kapasitas testing (jumlah spesimen yang dites) dan memprioritaskan kasus suspek untuk segera dites. Meskipun terjadi peningkatan tren jumlah tes PCR sejak Juni hingga akhir Agustus, sayangnya yang terjadi masih jauh di bawah standar.
Berdasarkan provinsi, rasio tes PCR per 1.000 penduduk paling tinggi adalah DKI Jakarta yang berada di kisaran angka 4,5 hingga 5. Namun perlu diakui bahwa positivity rate di ibu kota juga mengalami peningkatan dalam tiga minggu hingga yang terakhir sebesar 15 persen. Dengan kata lain, jika ada testing terhadap 4.500 orang, terdapat di antaranya 675 yang dinyatakan positif. Hal ini juga selaras dengan kasus terkonfirmasi di DKI Jakarta dalam sepekan sejak 31 Agustus hingga 6 September jumlahnya mencapai 7.000 kasus, meningkat pesat sejak satu minggu sebelumnya. Situasi yang semakin mengkhawatirkan ini membuat gubernur DKI Jakarta “menarik rem darurat” dengan kembali pada skema PSBB ketat.
ADVERTISEMENT
Langkah provinsi DKI Jakarta memang didasarkan pada penanganan yang tepat, yaitu kapasitas testing yang jauh lebih memadai. Karena kasus terkonfirmasi maupun positivity rate hanya dapat diinterpretasi jika kapasitas tes PCR tinggi, yang dalam hal ini mengikuti standar WHO yaitu seribu testing per satu juta penduduk dalam satu minggu.
Ambil contoh provinsi DI Yogyakarta dan Sumatera Barat dengan positivity rate di kisaran lima persen yang merupakan ambang batas menurut WHO. Kedua provinsi tersebut bisa kita klaim sebagai daerah terkendali karena kapasitas tes PCR sudah melampaui seribu per satu juta penduduk.
Tapi ada juga yang cukup mengerikan: Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua Barat. Dalam sepekan terakhir, WHO menyoroti ketiga provinsi tersebut berada di angka positivity rate yang sangat tinggi, masing-masing 50 persen, 25 persen, dan 35 persen. Persoalannya bukan hanya positivy rate yang tinggi, melainkan juga kapasitas tes PCR yang sangat rendah untuk tiga provinsi tersebut.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan nasib provinsi lain semisal Jawa Timur dan Jawa Tengah yang turut menyumbang kasus terbanyak di Indonesia? DKI Jakarta memang mengkhawatirkan, namun dua provinsi tersebut justru jauh lebih mengkhawatirkan. Sebabnya, dua provinsi tersebut memiliki kapasitas tes PCR yang cukup jauh di bawah standar. Dilansir dari data Kementerian Kesehatan untuk 7 September, jumlah tes PCR per satu juta penduduk dalam seminggu terakhir untuk Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing adalah 480 dan 411. Ditambah tren untuk kasus terkonfirmasi di dua provinsi tersebut masih terus menanjak. Hal ini yang menyebabkan Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi sangat mengkhawatirkan.
Dengan kasus terkonfirmasi harian secara nasional yang trennya terus menanjak, namun kapasitas tes PCR sangat rendah, dikhawatirkan masih banyak rantai penyebaran COVID-19 yang tidak terdeteksi. Provinsi seperti Sumatra Selatan memang tampak rendah untuk kasus terkonfirmasi harian, namun itu terjadi karena jumlah tes PCR yang dilakukan masih sangat sedikit. Layaknya provinsi-provinsi dengan kapasitas testing yang masih sangat rendah, dikhawatirkan justru penularan virus sudah menyebar tanpa kita sadari.
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Presiden Joko Widodo belakangan baru menyebut bahwa “kunci ekonomi yang baik adalah kesehatan yang baik”. Pernyataan yang tidak salah, namun sangatlah terlambat dan bertentangan dengan narasi pemerintah di awal pandemi yang terkesan denial. Masih terpatri dalam ingatan bagaimana promosi wisata dilakukan gencar justru pada saat dunia mulai digemparkan oleh wabah. Para menteri menunjukkan sikap abai dan tampak tidak tahu persoalan. Terkesan enggan untuk transparan soal data dengan dalih tidak ingin menimbulkan kepanikan, padahal kondisi saat ini justru sangat mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Lalu tergesa-gesa mencetuskan new normal dengan dalih pemulihan ekonomi tanpa mempertimbangkan kesiapan dan risiko yang dihadapi. Mengatakan bahwa “jangan sampai urusan kesehatan belum tertangani, perekonomian sudah di-restart”, padahal nyatanya restart itu sendiri sudah dilakukan sebelum masalah kesehatan tertangani.
Sebagian masyarakat di sisi yang lain tampak abai terhadap wabah. Menggunakan masker hanya sebagai formalitas (tidak digunakan dengan benar) atau tidak sama sekali. Masih banyak titik-titik kerumunan, dengan pesan sponsor yang penting mematuhi protokol kesehatan.
Paling tidak dalam enam bulan terakhir sejak COVID-19 dimulai, situasi wabah di negara kita tampak ambyar. Bagi saya, omong kosong terbesar tahun ini adalah, “boleh beraktivitas, asalkan mematuhi protokol kesehatan”, yang nyatanya protokol itu sendiri menjadi klise untuk menutupi betapa carut-marutnya penanganan corona di Indonesia.
ADVERTISEMENT