news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Betapa Pentingnya Tes PCR dalam Penanganan Corona

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
2 September 2020 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Robot ciptaan Mahmoud El Komy, melakukan tes swab pada seorang prisa di Kairo, Mesir. Foto: Mohamed Abd El Ghany/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Robot ciptaan Mahmoud El Komy, melakukan tes swab pada seorang prisa di Kairo, Mesir. Foto: Mohamed Abd El Ghany/REUTERS
ADVERTISEMENT
Bagaimana kita mengukur tingkat pengendalian COVID-19 pada suatu provinsi? Jawabannya hampir pasti dengan melihat jumlah kasus terkonfirmasi harian maupun kumulatif yang secara berkala dilaporkan tiap hari. Ini tidaklah aneh mengingat pemerintah selalu menyebutkan angka-angka kasus tersebut hingga menjadi dasar dari model zonasi. Jika kasus terkonfirmasi harian di sebuah provinsi hanya sekitar 1 – 10, artinya daerah tersebut zona hijau (aman). Sebaliknya, jika kasus terkonfirmasi harian melebihi 500, artinya daerah tersebut dikategori sebagai zona merah (berbahaya).
ADVERTISEMENT
Cara berpikir seperti itu tidak sepenuhnya salah jika tes polymerase chain reaction (PCR) untuk diagnosis COVID-19 yang dilakukan jumlahnya sudah memadai. Kenyataannya, sebagian besar provinsi di Indonesia memiliki jumlah tes PCR yang masih jauh di bawah standar. Cara mengukur untuk melihat perbandingan antarprovinsi adalah melalui rasio. Karena jika dilihat hanya pada total pemeriksaan spesimen PCR secara tunggal, setiap provinsi memiliki jumlah penduduk yang berbeda-beda.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut benchmark rasio tes PCR adalah seribu tes per satu juta penduduk dalam satu minggu. Jika disederhanakan, minimal rasio tes PCR yang harus dicapai suatu provinsi adalah 1 / 1000 penduduk / minggu. Silakan cek laporan COVID-19 dari WHO untuk Indonesia, tampak rasio tes PCR per 1000 penduduk per minggu untuk akumulasi 33 provinsi di luar DKI Jakarta masih jauh di bawah benchmark.
ADVERTISEMENT
Belum lagi penyebutan istilah “kasus terkonfirmasi” secara harian yang sejatinya sangat problematis. Publik mempersepsikan bahwa “kasus terkonfirmasi” adalah kasus infeksi yang terjadi pada hari itu secara real time. Faktanya, justru angka yang dilaporkan adalah hasil uji laboratorium yang dilakukan beberapa hari sebelumnya. WHO bahkan menyebut jeda waktu antara dilakukannya uji laboratorium hingga keluarnya hasil bisa sampai satu minggu. Jeda waktu yang terlalu lama membuat ukuran “kasus harian” terlalu lemah untuk dijadikan dasar pembuatan kebijakan.
Alih-alih melihat jumlah “kasus terkonfirmasi” setiap hari, alangkah lebih tepat jika berpatokan pada positivity rate sebagai istilah yang perlu dijadikan arus utama bagi publik. Positivity rate jelas tidak berdiri sendiri, sebab, ukurannya bergantung pada total tes PCR yang dilakukan. Lagi-lagi domain utama yang sangat penting dalam penanganan COVID-19 adalah sejauh mana tingkat tes PCR. Jika menggunakan ukuran ini, positivity rate Indonesia melampaui ambang batas yang telah ditetapkan WHO yaitu lima persen.
ADVERTISEMENT
Tes PCR yang semakin gencar dilakukan bisa saja menurunkan positivity rate provinsi atau mungkin sebaliknya. Kalapun temuan hasil terkonfirmasi positif semakin banyak -- yang artinya jumlah “kasus terkonfirmasi” juga lebih tinggi -- itu bukanlah aib bagi pemerintah. Sebab, semakin besar penduduk yang dites, kebijakan penanganan yang diambil juga semakin tepat karena berbasiskan pada data yang jauh lebih akurat. Ingat, evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti sangat penting untuk menyelamatkan masyarakat di era pandemi. Sebaliknya, kebijakan absurd tanpa basis data yang sahih justru membahayakan publik: kesehatan masyarakat terancam, dan berdampak buruk pada perekonomian jangka panjang.
Mari kita tengok provinsi yang sebetulnya tampak on the track dalam penanganan pandemi namun jauh dari perbincangan publik: Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Ketiganya menarik karena hanya mereka provinsi di luar DKI Jakarta yang memiliki rasio tes PCR tertinggi dibanding provinsi lain, bahkan di atas benchmark yang ditetapkan WHO.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data kementerian kesehatan per 26 Agustus 2020 lalu, Sumatera Barat adalah provinsi kedua tertinggi dalam hal rasio tes PCR setelah DKI Jakarta, yaitu 2,2 / 1000 penduduk / minggu (selanjutnya hanya disebut angka awal saja). Posisi ini masih terus bertahan sejak awal Juli lalu di mana rasio tes PCR Sumatera Barat juga tertinggi kedua setelah DKI Jakarta. Di posisi berikutnya ada Kalimantan Timur sebesar 1,4, kemudian disusul Kalimantan Selatan sebesar 1,2.
Dibandingkan dengan tiga besar provinsi yang memiliki total belanja APBD paling tinggi di luar DKI Jakarta, gap rasio tes PCR dengan Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sangat jauh. Jawa Barat dengan total belanja APBD sebesar 45,9 triliun rupiah atau terbesar kedua setelah DKI Jakarta, hanya memiliki rasio tes PCR sebesar 0,2. Jawa Timur (35,19 triliun rupiah) dan Jawa Tengah (29,02 triliun rupiah) memiliki rasio tes PCR sedikit di atas Jawa Barat, yaitu 0,3. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas APBD tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap seberapa besar upaya tes PCR yang dilakukan.
Grafik perbandingan antarprovinsi untuk rasio tes PCR per satu juta penduduk dengan pos belanja APBD 2020. Perbandingan dilakukan antara provinsi dengan rasio tes PCR tertinggi dengan provinsi dengan APBD tertinggi. Perbandingan provinsi di atas di luar DKI Jakarta.
Dibutuhkan Kemauan Pemerintah
ADVERTISEMENT
Wabah COVID-19 adalah ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Efek buruknya bisa domino terhadap sektor lain, terutama terhadap pembangunan ekonomi. Oleh sebab itulah informasi terkait penanganan pandemi yang benar harus disampaikan kepada masyarakat. Jika situasi buruk, artinya harus disampaikan dengan sesuai, agar masyarakat waspada. Cara untuk memberikan ketenangan bagi publik adalah melalui langkah kebijakan yang tepat atas dasar bukti yang akurat, bukan dengan menampilkan informasi yang misleading.
Tes PCR adalah jendela untuk memahami bagaimana wabah menyebar. Tanpa testing, kita tidak akan mendapatkan data COVID-19 yang absah. Sayangnya, informasi tentang betapa pentingnya rasio testing dan cara pandang lewat positivity rate tidak dianggap sebagai ukuran yang utama. Bahkan terkesan pemerintah justru menambah misleading melalui ragam penghargaan kepada beberapa pemerintah daerah terkait COVID-19 yang sebetulnya tidak relevan dalam upaya penanganan wabah. Seolah-olah daerah yang mendapatkan penghargaan kinerja penanganannya lebih baik dibandingkan daerah lain, padahal belum tentu demikian.
ADVERTISEMENT
Tidak ada salahnya belajar dari Sumatera Barat. Provinsi ini secara konsisten mampu mempertahankan tingkat rasio tes PCR per satu juta penduduk dalam seminggu yang tinggi. Alasan mengapa Sumatera Barat memiliki rasio tes PCR yang tinggi adalah karena provinsi ini menggunakan teknik pool testing: sebuah metode di mana beberapa orang yang dikumpulkan menjadi satu spesimen. Misalnya, jika ada satu spesimen dari 30 orang yang dinyatakan negatif, artinya keseluruhan dari 30 orang tersebut negatif. Sebaliknya, jika ada satu yang positif, maka keseluruhan spesimen dites satu per satu untuk dilihat secara detail spesimen mana yang positif.
Teknik pool testing secara internasional diakui memiliki keabsahan yang setara dengan testing secara individual. Studi sebelumnya di Israel, Amerika Serikat, dan Jerman menyebut bahwa spesimen yang positif SARS-CoV-2 dapat dideteksi hingga 32 spesimen. Pada ukuran pool testing dengan 16 spesimen, tingkat sensitivitasnya sangat tinggi yaitu 96 persen dengan rasio eror 10 persen.
ADVERTISEMENT
Teknik tersebut jelas dapat meminimalisasi biaya dibanding melakukan model testing secara individual. Namun teknik tersebut hanya efektif dilakukan untuk daerah dengan tingkat prevalensi penularan penyakit yang rendah. Seperti misalnya di Nebraska, Amerika Serikat, pool testing terhadap lima spesimen meningkatkan kapasitas testing sebesar 69 persen di sana, namun dengan catatan prevalensi infeksi COVID-19 terhadap populasi kurang dari 10 persen. Intinya, teknik ini sangat kontekstual, namun sangat mungkin diterapkan di beberapa provinsi di Indonesia.
Teknik pool testing jelas tidak efektif diterapkan di provinsi dengan prevalensi infeksi yang tinggi seperti provinsi-provinsi di pulau Jawa. Prevalensi sangat dipengaruhi oleh tingkat mobilitas penduduk antardaerah yang jelas tidak mungkin diterapkan bagi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Namun metode yang dilakukan Sumatera Barat dapat dilakukan pada provinsi-provinsi yang prevalensinya rendah, terutama yang memiliki kapasitas APBD relatif kecil.
ADVERTISEMENT
Konteksnya bukan pada membandingkan antarprovinsi karena memang tidak apple to apple. Tapi fakta bahwa mengejar rasio testing yang tinggi bagi tiap provinsi harus dilakukan, karena testing adalah bagian dari rantai upaya penanganan yang di dalamnya terdapat tracing kemudian testing dan isolating.
Pemerintah dan stakeholders terkait di Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan telah membuktikan adanya kemauan untuk menanganai pandemi dengan cara yang tepat. Kalau saya boleh mengusulkan, provinsi yang berhasil melampaui rasio tes PCR 1/1000 penduduk/minggu seharusnya mendapatkan penghargaan. Hal ini bukan hanya untuk memotivasi setiap daerah untuk berlomba, juga untuk menunjukkan kepada publik bagaimana seharusnya penanganan COVID-19 yang tepat.
Bagi provinsi dengan rasio tes PCR yang masih sangat rendah, terutama mereka yang punya APBD besar: Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, apa lagi yang dipertimbangkan untuk segera mengejar rasio tes yang lebih besar? Prioritas hari ini adalah penanganan wabah, oleh sebab itu, seharusnya setiap sumber daya daerah dioptimalkan untuk melakukan penanganan secara tepat, bukan untuk meningkatkan citra positif pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Grady Nagara. Peneliti Next Policy