Corona dan Mengapa Masyarakat Kita Tidak Disiplin?

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
17 September 2020 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi New Normal. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi New Normal. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Takdir kelahiran manusia adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu-gugat. Kita tidak dapat memilih di mana kita dilahirkan, termasuk tidak dapat memilih lingkungan sosial yang kelak menjadi tempat kita bertumbuh kembang. Lingkungan sosial itu mengandung struktur, budaya, nilai, dan norma tertentu yang dianut oleh masyarakat lingkungan sekitar kita. Keseluruhan itu yang nantinya akan memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak.
ADVERTISEMENT
Secara umum orang-orang di pulau Jawa memiliki struktur dan norma sosial yang hampir homogen, terutama berkaitan dengan nilai tradisional agama Islam. Nilai tersebut yang secara intens disosialisasikan oleh orang tua dan masyarakat sekitar, sehingga membuat membentuk jati diri seorang anak yang taat dan patuh terhadap aturan sosial di lingkungannya.
Secara teoritis, nilai dan norma yang meliputi kehidupan manusia disebut sebagai fakta sosial, yang nantinya berfungsi sebagai dasar aturan untuk membentuk rasa saling kerja sama. Lewat rasa saling bekerja sama inilah suatu masyarakat akan stabil dan harmonis. Dalam kanon klasik seperti The Division of Labor in Society (1893), sosiolog ternama Emile Durkheim meyakini bahwa struktur masyarakat membutuhkan stabilitas melalui apa yang disebut pembagian kerja secara sosial.
ADVERTISEMENT
Ide dasarnya adalah setiap individu membutuhkan individu lain untuk kelangsungan hidup. Kita membutuhkan pedagang sembako, imam masjid, pastor gereja, akuntan, pencukur rambut, tukang jahit, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan hidup dan nilai yang dianut masyarakat. Dari pembagian kerja secara sosial itulah masyarakat menjadi teratur dan harmonis, yang kemudian dikenal dengan istilah solidaritas organik di dalam struktur masyarakat modern.
Sialnya menurut Durkheim, setiap individu memiliki kecenderungan selfish dan anti-sosial. Jika semua orang menuruti sikap egois masing-masing akan terjadi kekacauan, sehingga, solidaritas organik tidak akan dapat terwujud. Oleh karena itu dibutuhkan ‘fakta sosial’ yang mengatur tiap-tiap individu agar saling bekerjasama dan membantu satu sama lain. Aturan masyarakat, hukum negara, hingga norma agama bagi Durkheim sangat penting untuk menciptakan harmonisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Saya tidak dalam rangka berkhotbah tentang teori yang penuh celah untuk dikritik. Hanya saja kitab ilmu sosial tersebut setidaknya dapat memberikan alternatif pemahaman mengapa masyarakat kita sulit untuk disiplin di tengah pandemi COVID-19. Jika berbicara solidaritas, bukankah masyarakat kita sangat dikenal dengan nilai gotong-royong? Mengapa sulit sekali untuk mengajak orang mengenakan masker, tidak keluar rumah kecuali untuk hal yang penting saja, dan saling menjaga jarak sebagai bentuk solidaritas melawan wabah?
Lewat pendekatan fungsionalisme a la Durkheim, saya menduga ada dua sebab yang saling ketil-kelindan.
Pertama, amburadulnya penanganan corona sejak awal pandemi menyebabkan tidak berfungsinya institusi sosial yang menegakkan norma dan aturan di tengah masyarakat kita. Apa saja institusi sosial yang dimaksud? Lembaga agama seperti masjid dan gereja, Rukun Warga (RW), desa/kelurahan, perkumpulan warga, hingga unit terkecil seperti keluarga. Keterkaitannya dalam hal ini adalah kepemimpinan politik di mana negara justru terjebak pada problem pemimpin populis: bias optimisme, ambiguitas regulasi, dan anti-sains (Lassa & Booth, 2020).
ADVERTISEMENT
Institusi adalah unit yang sangat penting untuk menegakkan sosialisasi nilai dan norma. Ketika institusi tertinggi seperti negara gagal menghadirkan nilai dan norma yang semestinya dipatuhi oleh masyarakat, solidaritas organik tidak akan pernah terbentuk. Hal ini tercermin dari minimnya sense of crisis masyarakat umum terhadap bahaya wabah, yang ternyata cermin ini merupakan pantulan dari sikap pemerintah (pusat) yang tidak tegas, terkesan denial, dan juga tidak memiliki rasa krisis.
Sampai titik ini saya tidak habis pikir mengapa UU karantina wilayah yang sudah dibentuk justru tidak digunakan pada saat pandemi, padahal sangat dibutuhkan. Alih-alih karantina wilayah, negara justru bersilat dengan mengambil ‘jurus’ PSBB yang tidak lain adalah karantina wilayah gratisan -- berbeda dengan amanat UU yang mengharuskan negara menanggung beban hidup masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, beragamnya respons institusi sosial terkait bagaimana sikap masyarakat dalam menyikapi pandemi. Dalam kanon The Elementary Forms of Religious Life (1976), misalnya, Durkheim menekankan bagaimana agama sebagai institusi sosial berperan efektif dalam menciptakan solidaritas di masyarakat. Hal ini terjadi karena perangkat aturan dalam agama dapat mendorong masyarakat untuk mematuhinya. Dalam konteks Indonesia, agama jelas memainkan peranan sentral dalam menentukan tindak-tanduk masyarakat. Bahkan nilai gotong-royong yang dibanggakan biasanya selalu dilekatkan dengan perintah agama untuk saling membantu satu sama lain.
Namun dalam konteks pandemi, agama justru menunjukkan tafsir yang berbeda-beda. Kita masih ingat bagaimana pro-kontra terjadi dengan sangat tajam tentang apakah orang Islam boleh shalat zhuhur di rumah menggantikan shalat Jumat. Banyak masjid yang ditutup, namun tidak sedikit pula yang tetap melaksanakan ibadah Jumat bahkan tanpa saling menjaga jarak dan banyak yang tidak menggunakan masker.
ADVERTISEMENT
Problem pelik lainnya adalah masifnya informasi yang keliru dan asimetris yang menyebabkan kebingungan di tengah masyarakat. Masih banyak orang yang menganggap bahwa penyakit ini sama sekali tidak berbahaya, bahkan tidak sedikit masyarakat kita yang percaya COVID-19 itu tidak ada. Hasil survei yang dilakukan dinas kesehatan kota Bogor menunjukkan bahwa hanya 15 persen penduduk yang memercayai bahwa virus Corona benar-benar ada. Ironisnya, kota ini justru menjadi episentrum penyebaran virus hingga banyak bermunculan klaster keluarga.
Keluarga sebagai institusi sosial yang paling dekat dengan individu banyak yang gagal menghadapi pandemi ini. Norma kekeluargaan untuk saling bersilaturahmi yang menyebabkan banyak orang menciptakan kerumunan dan menggeser nilai solidaritas sesungguhnya yang semestinya dibangun dalam melawan pandemi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya saya menganggap bahwa pandangan Durkheim ada benarnya: saat institusi sosial gagal mensosialisasikan norma dan nilai, sampai kapanpun masyarakat tidak akan pernah disiplin.