Di Media Sosial, Kita Semua Sama

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2019 20:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Di Media Sosial, Kita Semua Sama
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Saya kira Anda--begitu pun saya--pasti memiliki akun media sosial (medsos), baik Facebook, Instagram, Twitter, dan lain-lain. Entah salah satu, salah dua, atau semuanya dari pelbagai platform tersebut pasti kita punya. Ya, setidaknya Anda yang kebetulan mampir dan membaca tulisan ini pasti punya akun di medsos. Betul apa betul?
ADVERTISEMENT
Di era yang serba digital ini, punya akun itu menjadi suatu kebutuhan. Tanpa akun-akun itu, kita tidak akan bisa mendapatkan informasi ter-update. Lebih-lebih arus informasi itu mengalir dengan deras dan cepat. Selain itu, punya akun medsos itu juga menjadi saluran yang tepat untuk menyalurkan eksistensi diri.
Dulu, filsuf kenamaan Prancis bernama Rene Descrates pernah melontarkan pernyataan yang sangat terkenal: cogito ergo sum--aku berpikir maka aku ada. Nah, saya pikir pernyataan tersebut masih cukup relevan meski sedikit dimodifikasi menjadi: Aku upload maka aku ada. Artinya, akun-akun medsos yang kita miliki adalah diri kita yang lain. Ia menjelma sebagai identitas baru di semesta yang berbeda dari dunia nyata, yaitu alam maya.
ADVERTISEMENT
Dunia maya adalah semesta yang seolah terpisah dari dunia nyata. Seseorang bisa berselancar di dunia maya dengan akun medsosnya berjam-jam, sembari melupakan urusan dunianya sendiri. Terkadang, dunia maya adalah cermin dari dunia nyata. Meski kenyataannya tidak selalu demikian.
Di dunia nyata, sistem masyarakat kita sangat terlihat hierarkinya, baik dari segi usia, status sosial, maupun profesi. Seorang murid tidaklah sama dengan gurunya. Pengangguran jelas berbeda dengan mereka yang bekerja. Begitu pun mahasiswa berbeda dari para dosen di kampusnya. Situasi di dunia nyata dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah.
Sebaliknya, saat semesta baru yang disebut dunia maya muncul, hierarki yang ada di dunia nyata tiba-tiba hilang. Sekat-sekat sosial yang memisahkan status masing-masing orang semakin pudar. Ada semacam kesetaraan, bahwa saat orang-orang berada di medsos, semuanya sama. Tidak ada bedanya.
ADVERTISEMENT
Cobalah Anda amati dan renungkan perilaku warganet--sebutan untuk penduduk dunia maya--di setiap platform medsos. Penjelasan seorang akademisi yang mumpuni di bidangnya bisa didebat dengan hebat oleh semua orang. Jika para akademisi itu begitu didengar di dunia nyata, sebaliknya, mereka bisa kalah di dunia maya.
Saya punya seorang kawan yang kebetulan cukup concern di isu Papua. Bisa dibilang ia adalah peneliti yang telah mempelajari banyak literatur tentang isu Papua, bahkan pernah terjun langsung ke sana. Sebetulnya, karena jam terbangnya yang masih cukup terbatas, ia belum bisa dikatakan pakar di isu tersebut. Tetapi pemahamannya soal isu Papua melebihi pengetahuan rata-rata kebanyakan orang. Ya, karena memang ia sedang meneliti dan mendalaminya.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini ia bercerita kepada saya bahwa ia sempat 'dihajar' di medsos oleh seseorang yang tidak dikenal karena membela Papua. Kawan saya ini mengatakan di medsos bahwa ada pelanggaran HAM serius di sana. Jadi menurutnya, isu Papua yang belakangan sedang ramai ini intinya tidak bisa dilihat serta-merta. Tidak dengan hitam-putih, apalagi sekadar dibaca dari narasi pembelahan antara 'NKRI' dan 'anti-NKRI'.
Saya sangat mafhum dengan apa yang dialami kawan saya. Sebab, ia telah berbicara soal isu yang sensitif dengan sudut pandang anti-mainstream. Ya jelaslah jika di medsos kawan saya ini 'babak-belur'. Orang-orang--melalui akunnya--dengan latar belakang pengetahuan yang tidak relevan, tidak tahu isu, bahkan tidak jelas asal-usulnya, bisa meruntuhkan seluruh bangunan argumen kawan saya.
ADVERTISEMENT
Saya bisa merasakan kekesalannya: bahwa orang yang lebih paham masalah justru cenderung tidak didengarkan. Di semesta maya, akun-akun medsos itu bisa bersuara lantang pada persoalan yang sebetulnya tidak mereka kuasai sama sekali. Celakanya, gejala seperti ini saya perhatikan semakin akut dari waktu ke waktu.
Mereka yang tidak bisa berbahasa Arab, dan tidak tahu ilmu fiqih secara mendalam, bisa menghujat tokoh agama yang keilmuannya tidak diragukan karena pandangan fikih ibadahnya berbeda.
Ilustrasi media sosial. Foto: PhotoMIX-Company via Pixabay
Ada juga seorang ustaz, mengaku diri sebagai ulama, tapi bisa mengomentari perpindahan ibu kota negara dengan pandangan yang absurd. Saya lihat memang banyak yang mendebat balik--tentu dengan argumen yang sama absurdnya karena tidak paham masalah. Tapi, mereka yang menekan tombol like juga, jumlahnya tidak sedikit.
ADVERTISEMENT
Di semesta maya, urusan dukung-tidak mendukung itu sesederhana dilihat dari jumlah like dan dislike (terutama pada YouTube). Kalau jumlah akun yang memberikan like mencapai ribuan pada sebuah posting-an, berarti yang mendukung argumen itu juga ribuan, sekali pun isinya absurd dan tidak masuk akal.
Padahal urusan pindah ibu kota ini adalah masalah duniawi yang pengetahuannya hanya dimiliki oleh mereka yang mendalami bidang keilmuan terkait, seperti ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Tapi kenapa mereka yang tidak paham masalah, juga ikut berkomentar, bahkan banyak yang mendukung komentar absurd?
Itulah yang saya maksud dengan hilangnya sekat-sekat sosial di dunia maya. Semua akun-akun medsos itu sekali pun dimiliki oleh orang dengan latar belakang status sosial dan profesi yang berbeda-beda. Di semesta maya, mereka bisa berdebat dalam posisi setara. Lucu kan?
ADVERTISEMENT
Situasi yang kontras antara medsos dengan dunia nyata membuat saya merenung. Bahwa di medsos, tidak ada lagi monopoli atas status, pengetahuan, dan juga informasi. Ketiga hal itu terdistribusi secara merata kepada semua pemilik akun. Semua orang kini bisa melekatkan status tertentu pada diri masing-masing.
Anda tiba-tiba bisa menjadi pengamat. Mengomentari panjang-lebar atas isu-isu tertentu meski tidak paham duduk masalahnya. Barangkali asal Anda punya sedikit kemampuan soal menulis, misalnya, Anda bisa 'menyihir' pembaca untuk mengamini tulisan Anda. Lihat saja, banyak akun yang di-like oleh akun-akun lain saat menelurkan sebuah posting-an pada tiap isu-isu tertentu. Banyak pengamat karbitan berprinsip 'palugada'--apa lu mau, gua ada.
Dalam hal informasi pun demikian. Kini, berita bukan lagi monopoli wartawan. Setiap orang bisa memberitakan apa pun pada dunia tentang segala hal. Beberapa platform media daring yang menyadari hal ini justru memberikan saluran bagi setiap orang untuk menerbitkan kisahnya. Seperti kumparan ini, setiap orang hanya butuh membuat akun, lalu bisa menulis bebas melalui kanal User Story.
ADVERTISEMENT
Bahkan, masing-masing orang bisa membuat portal beritanya sendiri. Caranya pun sangat mudah sekali. Anda bisa menggunakan platform blog yang tersedia gratis sebagai host berita Anda, dan bisa mendapatkan template yang gratis pula untuk portal Anda.
Kalau Anda punya modal yang cukup lumayan, Anda bisa boost portal Anda pada kanal medsos seperti Facebook dengan membayar jasa advertising, maka berita Anda bisa dibaca banyak orang. Tinggal bagaimana Anda membuat konten beritanya menarik untuk dilihat warganet. Dengan membuat judul yang clickbait, misalnya.
Tetapi, sekali pun Anda tidak punya modal dana untuk berbuat demikian, di dunia maya, Anda punya posisi yang setara dengan semua orang. Anda bisa beropini apa pun, mau absurd atau tidak, itu tidak akan terlalu berpengaruh. Toh, seorang profesor bisa dengan mudah Anda ajak debat di medsos.
ADVERTISEMENT
Kuncinya ya hanya satu: Anda harus punya akun medsos dulu. Itulah yang paling penting.