Dilema Membuka Kembali Sekolah

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2020 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah.
 Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Menteri pendidikan akhirnya mengizinkan sekolah yang berada di zona kuning infeksi virus corona untuk kembali dibuka (pada mulanya hanya untuk zona hijau). Dalam terminologi pengendalian COVID-19, zona kuning merupakan provinsi dengan risiko penularan virus corona yang rendah. Saat ini 57 persen populasi siswa berada di zona merah (risiko tinggi) dan zona oranye (risiko sedang), sedangkan 43 persennya berada di zona kuning (risiko rendah) dan zona hijau (tidak ditemukan kasus baru). Itu artinya, sebagian siswa di Indonesia akan segera menjalani aktivitas belajar mengajar layaknya sedia kala.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini sangatlah sembrono. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti kebijakan ini dalam Indonesia COVID-19 Situation Report edisi 12 Agustus 2020, dengan menyebutkan bahwa membuka kembali sekolah sangat berisiko terjadinya transmisi lokal. Kekhawatiran ini terbukti pasca dua hari pembukaan sekolah, muncul enam klaster penularan COVID-19 dari institusi pendidikan tersebut.
Catatan ourworldindata.org menyebut bahwa infeksi COVID-19 untuk anak-anak pada rentang usia 5 hingga 14 tahun di Indonesia mencapai 6,8 persen dari total kasus terkonfirmasi di Indonesia. Angka tersebut berada di atas rata-rata global untuk rentang usia yang sama yaitu sebesar lima persen. Proporsi ini berisiko semakin tinggi jika sekolah, tempat di mana anak-anak berkerumun, dibuka kembali padahal penularan virus masih belum terkendali dengan baik.
ADVERTISEMENT
Penyematan zona berdasarkan situasi pengendalian virus sendiri sejatinya sangat bermasalah. Pertama, jeda waktu antara pelaksanaan testing dengan keluarnya hasil adalah satu minggu. Dengan kata lain, kasus konfirmasi yang dilaporkan hari ini pada dasarnya merupakan hasil uji satu minggu lalu, bukan menggambarkan kondisi kekinian. Kedua, ketimpangan kapasitas testing yang sangat tinggi antara DKI Jakarta dengan non-DKI Jakarta. Penyematan zona pengendalian COVID-19 pada kapasitas testing yang cenderung rendah sangatlah berpotensi bias, dan tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya. Dengan demikian, pembukaan kembali sekolah di atas basis data yang tidak akurat adalah kebijakan yang sangat berbahaya.
Kata kunci untuk membuka kembali sekolah hanya satu: pengendalian virus. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah membuka kembali sekolah karena virus cukup terkendali. Di Israel, negara yang cukup berhasil mengendalikan penyebaran virus justru harus menutup kembali sekolah setelah ditemukan kasus transmisi lokal. Di Indonesia, memang tampak daerah dengan zona hijau dan zona kuning terkendali dengan baik. Namun dengan basis data konfirmasi kasus yang problematis, kita tidak dapat serta merta menyebut penanganan corona sudah terkendali dengan baik.
ADVERTISEMENT
Problem Ketimpangan Digital
Kebijakan membuka kembali sekolah dengan kondisi saat ini terlalu dipaksakan. Namun keterpaksaan tersebut sangat dipahami mengingat negara kita sejatinya tidak siap menerapkan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Infrastruktur digital sebagai penunjang utama kenyataannya sangatlah timpang. Salah satu indikator untuk melihat ketimpangan digital (digital divide) adalah indeks pembangunan teknologi, informasi, dan komunikasi (IP-TIK) yang dikeluarkan BPS. Indeks ini sendiri sejatinya diambil dari indikator global yang diterbitkan oleh International Telecommunication Union (ITU). Sederhananya, indeks ini mengukur sejauh mana suatu negara telah mencapai masyarakat informasi.
Dalam perhitungan IP-TIK 2018, BPS menyebut bahwa skor Indonesia berada di angka 5,07 dari 10. Jika dilihat pada aspek kawasan, provinsi di pulau Jawa berada di atas rata-rata. Beberapa provinsi di Indonesia bagian barat seperti Sumatera Utara, Jambi, dan Sumatera Selatan angkanya relatif rendah. Paling rendah adalah provinsi Papua yang memiliki skor hanya 3,30. Kenyataan ini menunjukkan bahwa akses & infrastruktur, penggunaan, dan keahlian TIK di tiap-tiap daerah sangatlah berbeda.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan ini sangat berpengaruh pada kesiapan daerah dalam mengaplikasikan PJJ. Misalnya dalam aspek penggunaan, tidak semua penduduk di daerah menggunakan internet. Bahkan kalau kita telisik data BPS, telepon genggam sebagai gadget utama untuk PJJ tidak secara merata dimiliki oleh semua orang, terutama mereka yang berada di usia sekolah. Tentu sudah dapat ditebak bahwa proporsi di Jakarta angkanya paling tinggi dibanding provinsi lainnya. Bahkan Indonesia bagian barat sendiri yang dianggap “lebih maju” dibandingkan kawasan timur banyak tergagap-gagap dalam hal infrastruktur dan aksesnya.
Oleh sebab itulah kita tidak heran ketika melihat ada kabupaten di pulau Jawa yang bahkan untuk akses internet saja masih susah. Potongan berita media tentang bagaimana anak-anak harus naik ke atas pohon untuk mencari sinyal internet, atau guru yang rela mendatangi rumah muridnya karena tidak memiliki laptop/telepon genggam menegaskan betapa tingginya ketimpangan digital di negara kita. Dalam istilah lain: kita memang tidak siap, atau jika terlalu kasar disebut malas, usaha kita untuk mentransformasi Indonesia menjadi masyarakat informasi berjalan lambat. Saya jadi teringat slogan Making Indonesia 4.0 yang dengan sukses melaksanakan adagium “tong kosong nyaring bunyinya”.
ADVERTISEMENT
Menghadapi Disrupsi
Saya sepakat dengan epidemiolog UI Pandu Riono yang menyebut bahwa penyematan zona pengendalian COVID-19 di tiap kawasan tidaklah tepat. Dalam bahasa pak Pandu, yang benar semua daerah berada di zona merah, alias tidak ada yang aman. Selain bobroknya kapasitas testing yang membuat rancunya zonasi, pergerakan orang antardaerah di era adaptasi kebiasaan baru sangat tinggi. Kalaupun zona warna yang ditetapkan itu benar, mobilitas orang-orang dari zona merah ke zona hijau akan meningkatkan risiko penularan. Oleh sebab itu atas nama kesehatan masyarakat, pembukaan kembali sekolah tidak boleh dilakukan saat ini.
Disrupsi digital pandemi terhadap sektor pendidikan memang tidak dapat dihindari. Sepertinya sosok Nadiem Makarim sebagai garda terdepan pendidikan tidak mampu untuk mengambil kesempatan disrupsi ini untuk mempercepat inovasi digital pada sektor pendidikan. Lagipula sekarang saya cukup skeptis, mengingat Nadiem justru kaget -- persis seperti presiden kita yang kagetan -- karena baru tahu tidak semua daerah ada akses internet. Padahal mantan bos Gojek ini diharapkan dapat membawa inovasi pada sektor pendidikan yang menjadi salah satu problem hulu pasar tenaga kerja. Tapi Nadiem pun tidak sepenuhnya salah, karena sejak awal inovasi di sektor pendidikan Indonesia memang “nol besar”, sehingga ketika ada disrupsi, sudah pasti tergagap-gagap.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu ada konflik kepentingan atau ego sektoral jenis apa di kementerian pendidikan -- atau mungkin sektor pendidikan secara keseluruhan. Yang jelas, percepatan inovasi digital di sektor pendidikan, tanpa COVID-19 pun memang sudah harus segera dilakukan. Dibutuhkan peran tidak hanya kementerian pendidikan saja, tetapi seluruh kementerian, bahkan melibat stakeholders terkait. Komandonya tidak hanya menteri saja, melainkan semestinya presiden langsung. Tapi itu pun kalau memang pemerintah kita benar-benar mau.
Grady Nagara. Peneliti Next Policy