DKI Jakarta: Evaluasi PSBB dan Prediksi New Normal

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 15:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memantau mobilitas warga yang keluar masuk Jabodetabek pada tol Karawang Timur Km 47 (Sumber: Instagram @aniesbaswedan)
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memantau mobilitas warga yang keluar masuk Jabodetabek pada tol Karawang Timur Km 47 (Sumber: Instagram @aniesbaswedan)
ADVERTISEMENT
Gubernur Anies Baswedan telah mengumumkan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk wilayah DKI Jakarta akan diperpanjang hingga 4 Juni 2020. Ini sudah ketiga kalinya DKI Jakarta melakukan perpanjangan PSBB sebelum memasuki era normal baru (new normal) sebagaimana arahan presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu provinsi yang akan menerapkan new normal, rasanya penting untuk melihat kembali sejauh mana pencapaian kebijakan PSBB dalam menangani COVID-19 sejak 10 April 2020 yang lalu hingga kini. Saya mencoba untuk melakukan evaluasi atas PSBB DKI Jakarta yang telah dua kali diperpanjang sebelumnya, sebut saja PSBB jilid pertama (10 hingga 23 April) dan PSBB jilid kedua (24 April hingga 21 Mei). Kemudian saya melakukan prediksi untuk PSBB jilid ketiga (22 Mei hingga 4 Juni) dan periode new normal paling tidak hingga akhir Juni nanti (tidak tahu sampai kapan). Adapun yang saya evaluasi dan prediksi adalah terkait kasus kumulatif dan harian infeksi SARS-CoV-2.
Untuk melakukan evaluasi dan prediksi, saya menggunakan tiga variabel. Variabel pertama yaitu kasus kumulatif infeksi SARS-CoV-2 yang dinotasikan sebagai N. Variabel kedua, rasio penularan berdasarkan pada jumlah rata-rata orang yang bertemu pasien/orang dengan infeksi SARS-CoV-2 yang dinotasikan sebagai R. Variabel ketiga, peluang seseorang terinfeksi SARS-CoV-2 yang dinotasikan sebagai P.
ADVERTISEMENT
Nilai rasio penularan (R) dalam perhitungan ini sangat menentukan jumlah kasus harian maupun kasus kumulatif. Jika nilai R sebesar dua, artinya pasien maupun mereka yang menjadi carrier COVID-19 rata-rata bertemu (dan kemungkinan besar menginfeksi) dua orang lainnya dalam sehari. Disebut kemungkinan besar menginfeksi karena belum tentu seseorang yang bertemu pasien dapat terinfeksi. Oleh sebab itu, ada variabel P yang merupakan peluang seseorang terinfeksi, yang dalam kesempatan ini saya asumsikan nilainya sebesar satu persen.
Dari variabel tersebut, kasus kumulatif (N) kemudian dihitung dengan model perhitungan berikut:
ΔN = N.R.P
Atau: Nt+1 = (Nt.R.P).Nt
Atau: Nt+1 = (1+R.P).Nt
Pertama-tama mari kita mengevaluasi pencapaian PSBB DKI Jakarta jilid pertama dan jilid kedua. Salah satu cara mengukurnya adalah dengan melihat tren pada kurva kasus harian. Berikut saya tampilkan kurva tersebut.
Grafik 1 Kurva Kasus Harian COVID-19 di DKI Jakarta (Sumber: corona.jakarta.go.id/id).
Apa yang dapat kita simpulkan dari kurva kasus harian di atas? Dari garis tren yang saya tambahkan, ternyata kurvanya melandai. Jika kita hitung nilai rata-rata kasus harian adalah sebesar 109 kasus, sedangkan nilai akumulasinya adalah 4.588 kasus. Dari kurva tersebut kemudian saya menghitung rasio penularan (R) berdasarkan model perhitungan yang saya gunakan, hasilnya sebagai berikut:
Grafik 2 Kurva Rasio Penularan. Nilai R ini dihitung berdasarkan model perhitungan yang digunakan pada studi ini.
Sudah dapat diduga bahwa jika kurva kasus harian melandai, kurva rasio penularan juga mengalami penurunan. Bahkan dari hasil perhitungan saya penurunannya cukup signifikan. Pada hari pertama PSBB per 10 April 2020, rasio penularan berada di angka 10,9, sedangkan di akhir periode PSBB jilid kedua (21 Mei 2020) rasio penularannya berada di angka 2. Sepanjang PSBB jilid pertama rata-rata rasio penularan sebesar 5,6 dan pada PSBB jilid kedua yang lebih panjang rata-ratanya menjadi 2. Penurunan yang signifikan ini apakah membuktikan bahwa PSBB sukses besar dan siap untuk memasuki new normal? Tunggu dulu.
ADVERTISEMENT
Meskipun kurva kasus harian terus melandai, rasio penularan di DKI Jakarta masih berada di kisaran 1 – 2. Artinya rata-rata penularan dari mereka yang terinfeksi sebesar satu hingga dua orang lainnya. Masalahnya, jika rasio penularan masih konsisten pada angka 1 – 2, yang terjadi adalah penanjakan kurva kasus harian. Perhatikan prediksi kasus kumulatif dan harian yang saya tampilkan berikut:
Grafik 3 Prediksi Kasus Kumulatif di DKI Jakarta sepanjang PSBB Jilid ketiga dan new normal (22 Mei 2020 - 30 Juni 2020). Garis merah jika nilai R berkisar 4-5, garis kuning jika nilai R berkisar 1-2, dan garis hijau jika nilai R di bawah 1.
Grafik 4 Prediksi Kasus Harian di DKI Jakarta sepanjang PSBB Jilid ketiga dan new normal (22 Mei 2020 - 30 Juni 2020). Garis merah jika nilai R berkisar 4-5, garis kuning jika nilai R berkisar 1-2, dan garis hijau jika nilai R di bawah 1.
Saya memprediksi, jika rasio penularan masih stagnan pada angka 1 – 2, jumlah kasus kumulatif pada hari terakhir PSBB jilid ketiga (4 Juni 2020) adalah 7.558 kasus dengan kasus harian sebesar 112 kasus. Jika rasio penularan masih terus stagnan di era new normal, kurvanya akan kembali menanjak dengan prediksi kasus kumulatif di akhir Juni sebesar 11.813 kasus.
ADVERTISEMENT
Namun stagnansi nilai R pada angka 1 – 2 di era PSBB menunjukkan bahwa kebijakan PSBB di DKI Jakarta sesungguhnya belum dapat dikatakan berhasil. Seharusnya, kebijakan PSBB dapat menekan rasio penularan hingga di bawah 1. Karena kurva kasus harian akan terus melandai hingga titik nol kasus per harinya hanya jika rasio penularan angkanya di bawah 1.
Simulasi saya, sebagaimana ditampilkan pada grafik 4 di atas, menunjukkan jika di era new normal rasio penularan masih stagnan pada 1 – 2, angka kasus harian menjadi sebesar 209 kasus pada akhir Juni 2020. Berbeda signifikan jika PSBB berhasil menekan rasio penularan hingga mendekati titik nol, di mana pada akhir Juni 2020 angka kasus harian hanya sebesar 19.
ADVERTISEMENT
Jika PSBB gagal menekan angka rasio penularan hingga di bawah 1 secara konsisten, menjalani new normal justru menimbulkan gelombang baru infeksi SARS-CoV-2. Dengan melihat evaluasi ini, sejujurnya menjalani new normal masih sangat berisiko.
Kunci rasio penularan adalah social distancing: semakin orang menjaga jarak satu sama lain, maka semakin kecil jumlah pertemuan antara orang yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi. Protokol social distancing sejauh ini hanya dapat dilakukan secara maksimal hanya jika dilakukan pada fase PSBB, di mana hampir semua orang bekerja dari rumah, serta pusat perbelanjaan hingga rumah ibadah ditutup, alias menekan titik kerumunan. Itupun yang terjadi masih banyak yang tidak tertib.
Apa jadinya jika PSBB benar-benar dilonggarkan dan semua orang kembali beraktivitas seperti biasa namun dengan protokol COVID-19 (era new normal)? Saya khawatir justru protokol yang sudah disiapkan menjadi lebih tidak efektif. Logikanya, kebijakan social distancing pada era PSBB saja masih gagal, bagaimana jika kemudian menjadi lebih longgar pada era new normal?
ADVERTISEMENT
Titik kerumunan akan terus bertambah, dan tentu saja, rasio penularannya berpotensi besar kembali menanjak. Perhitungan saya jika rasio penularan menanjak hingga berada di angka 4 – 5, terjadi lonjakan kasus kumulatif yang sangat signifikan. Prediksi saya pada akhir Juni kasus kumulatif mencapai 21.969 kasus dengan kasus harian sebesar 1.379 (lihat grafik 3 dan grafik 4).
Sebetulnya kita patut menggugat ide new normal yang dikatakan oleh presiden sebagai era di mana kita harus berdamai dengan virus corona. Memang benar bahwa corona tidak akan menghilang sebelum ditemukan vaksin yang efektif, karena tujuan social distancing memang bukan itu.
Social distancing adalah bentuk intervensi non-farmasi yang berfungsi untuk membatasi penyebaran virus agar mudah dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan social distancing yang ketat memang memukul perekonomian negara cukup telak. Tapi mengorbankan manusia dengan dalih pemulihan ekonomi sama saja menjadi boomerang bagi perekonomian jangka panjang. Sebab penggerak perekonomian tidak lain adalah manusia itu sendiri, yang hanya dapat beraktivitas hanya jika mereka sehat.
Grady Nagara. Peneliti Next Policy