news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

HUT Ke-74 RI: Apa Kabar Keadilan Sosial?

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
17 Agustus 2019 8:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ceremony Hari Kemerdekaan. Foto: Ady Arif Fauzan (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ceremony Hari Kemerdekaan. Foto: Ady Arif Fauzan (Pixabay)
ADVERTISEMENT
Tidak bisa disangkal bahwa negara Indonesia dibentuk untuk 'mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. Itu sudah clear dan ajeg dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan sila kelima Pancasila, yang tidak bisa diubah-ubah lagi.
ADVERTISEMENT
Secara definitif, keadilan sosial bisa dikatakan sebagai kondisi masyarakat yang di dalamnya ada jaminan atas kebebasan, dan yang terpenting adalah perlakuan yang sama atas seseorang sesuai kemampuannya. Soekarno menempatkan keadilan sebagai sifat masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, dan tidak ada penghisapan.
Filsafat Soekarnoisme jelas sangat dipengaruhi sejarah panjang bangsa Indonesia yang dihisap habis-habisan sejak era kolonial. Kolonialisme telah merapuhkan pondasi sosial, dan menciptakan stratifikasi tidak adil dalam masyarakat yang kemudian kita kenal sebagai kelompok non-pribumi (Eropa) dan pribumi.
Pemerintah kolonial telah membentuk rantai penghisapan yang tidak hanya cukup efektif, melainkan juga sangat menindas. Penggambaran rantai penghisapan tersebut sangat jelas terekam dalam novel ‘Max Haveelar’ karya Eduard Douwes Dekker, yang juga dikenal dengan nama Multatuli. Kalau kita jeli membaca karya tersebut, musuh sebenarnya adalah ‘ketidakadilan sosial’ itu sendiri, bukan semata-mata pada entitas orang Eropa sebagai bangsa penjajah.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Jawabannya sederhana: Douwes Dekker adalah bagian dari bangsa Eropa, sekaligus pegawai Hindia Belanda yang bekerja atas nama kerajaan Belanda. Tanpa melihat entitasnya sebagai orang Eropa, nyatanya moralitas Douwes Dekker terusik dengan ketidakadilan yang ada di depannya. Ia pun melayangkan protes kepada pemerintah pusat Hindia Belanda yang menyebabkan dirinya dipecat dan dipulangkan ke negeri asalnya.
Menariknya, justru rantai penghisapan itu didukung oleh pejabat lokal pribumi yang sejak dulu kita kenal dengan istilah ‘bupati’. Para bupati di era kolonial ini membantu pemerintah Belanda untuk menghisap sumber daya ekstraktif, yang nantinya akan diperdagangkan di pasar Eropa, dengan mempekerjakan dan merampas hak-hak pribumi akar rumput. Apa yang dilakukan oleh pejabat pribumi ini adalah untuk mengamankan posisi dan keistimewaannya di bawah pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut dalam novel Max Haveelar, digambarkan bagaimana para petani mengirimkan hasil buminya, dan para peternak menyerahkan hewan-hewan ternaknya, dengan terpaksa kepada para bupati yang nantinya juga dipersembahkan kepada pemerintah kolonial. Dalam istilah Hilmar Farid, kolonialisme dan feodalisme saling berkelindan yang membuat rantai penghisapan itu semakin terstruktur.
Tentunya ini bukan dalam rangka membela bangsa penjajah. Saya hanya ingin menawarkan pandangan lain dalam melihat problem ketidakadilan sebagai masalah struktural, bukan dengan dikotomi etnik apalagi agama. Karena kesalahan kita dalam membaca sejarah inilah yang justru membuat sikap kita hari cenderung diskriminatif: sesuatu yang ditentang dalam prinsip keadilan sosial.
Misalnya, kita masih sering melihat generalisasi bahwa ‘asing’ dan ‘aseng’ adalah pihak tertuduh yang menindas pribumi Indonesia. Oleh sebab itu, menurut sebagian kalangan itu, sikap ‘anti-asing’ dan ‘anti-aseng’ adalah jalan untuk mencapai keadilan bagi ‘pribumi’.
ADVERTISEMENT
Pandangan itu, bukan hanya mensimplifikasi persoalan, melainkan juga berpotensi pada timbulnya kekerasan identitas. Lebih mengerikannya, dikotomisasi etnik, bahkan agama di Indonesia, telah menjadi komoditas politik yang dibawa para politisi untuk menggiring suara dan dukungan.
Keadilan Sosial Kita Hari Ini
Sekarang kita beranjak ke masa kini, yang pada dasarnya tidak lepas dari implikasi masa lalu. Contoh paling mudah untuk mengukurnya adalah melihat ketimpangan kekayaan materiil karena dampaknya sangat berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak sosial yang lain. Ditambah ketimpangan kekayaan ini tampak masih menjadi sumber keresahan masyarakat.
Tahun 2018 lalu, pemerintah berbangga bahwa angka kemiskinan di Indonesia adalah yang terendah sepanjang sejarah. Angkanya mencapai 9,66 persen atau 25,67 juta penduduk saja yang dikategorikan sebagai miskin. Koefisien gini sebagai alat pengukur ketimpangan juga diklaim menurun menjadi 0,384 pada September 2018 lalu. Angka ini jelas bermakna positif, dan menunjukkan bahwa usaha pemerintah tidak sia-sia.
ADVERTISEMENT
Sekarang kita lihat dari sisi lain dengan sudut pandang yang sedikit berbeda. Pada 2018, Produk Domestik Bruto (PDB) adalah sebesar 1.040,47 Miliar USD dan PDB per kapitanya 3.927 USD. Sandingkan data tersebut dengan top 50 orang-orang terkaya di Indonesia menurut forbes. Dengan perhitungan manual, total kekayaan bersih (net worth) dari top 50 tersebut sebesar 128,50 Miliar USD atau setara dengan 12 persen dari PDB. Ketimpangan akan semakin terlihat dari rata-rata net worth milik top 50 tersebut adalah 654.571 kali dari PDB per kapita.
Beratus ribu kali lipatnya rata-rata kekayaan bersih orang paling kaya dari PDB per kapita di tahun yang sama menunjukkan fakta ketimpangan yang luar biasa. Sebagian besar sumber kekayaan mereka berasal dari sektor ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan sawit, dan sebagian kecil lainnya dari real estate, yang justru menjadi sumber peminggiran hak-hak rakyat juga.
ADVERTISEMENT
Sektor-sektor tersebut terutama ekstraktif, telah meminggirkan hak-hak sosial masyarakat dalam merasakan sumber daya alam sebagai barang publik. Sektor tersebut juga bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang dampaknya dirasakan sendiri oleh masyarakat, seperti human made disaster yang telah menghilangkan hak-hak hidup banyak orang. Kebakaran hutan, yang berujung pada pencemaran udara parah di wilayah Sumatera dan Kalimantan, juga tidak lepas dari ‘pembajakan’ lahan dan deforestasi besar-besaran dari korporasi sawit.
Dari sektor real estate pun demikian. Bagaimana lahan di wilayah perkotaan dikomersialisasi habis-habisan. Padahal, lahan itu adalah barang publik yang semestinya bisa dinikmati bersama. Masyarakat (kelas menengah bawah) perkotaan sebagai terdampak harus kehilangan hak untuk mendapatkan tempat tinggal layak akibat nilai lahan yang semakin tinggi akibat bisnis properti mewah yang tidak terkontrol. Tidak hanya itu, mereka juga kehilangan hak atas lingkungan yang sehat akibat komodifikasi ruang yang abai terhadap dampak kerusakan alam.
ADVERTISEMENT
Entah bagaimana ceritanya, paradigma keadilan sosial dalam arti yang prinsipil telah bergeser ke arah pertumbuhan angka-angka ekonomi semata. Kita seolah terjebak pada ilusi bahwa dengan peningkatan PDB, dan penurunan angka kemiskinan, telah cukup untuk menghadirkan keadilan sosial – atau minimal ke arah keadilan sosial. Padahal, pertumbuhan tersebut berada dalam pondasi sosial yang rapuh dan didukung oleh sektor yang memiliki implikasi sosial yang negatif.
Kita seolah menemukan situasi yang mirip seperti yang digambarkan dalam novel Max Haveelar. Kemiripan ini terlihat dari sama-sama terjadinya perampasan hak warga negara, meski dengan mekanisme yang berbeda. Di era kolonial, perampasan terjadi secara kasat mata dan sangat terasa. Sedangkan pasca kemerdekaan, perampasan ditutup dengan ilusi bahwa prosesnya itu sendiri adalah untuk kebaikan seluruh masyarakat. Atas nama pembangunan, katanya.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang sangat disayangkan justru perbincangan tentang keadilan sosial hari ini masih berada di pinggiran dalam peringatan kemerdekaan dan wacana Pancasila kita. Kita terlalu sering berbicara tentang toleransi dan keberagaman, namun melupakan aspek keadilan sosial yang menjadi elemen kunci perjuangan melawan penjajahan. Tidak ada Pancasila, dan tidak ada kemerdekaan, tanpa keadilan sosial.
Sehingga perlu saya tegaskan: sampai detik ini negara telah gagal menghadirkan keadilan sosial, dan kita telah melupakannya atau memang pura-pura lupa.
Sedih memang, jika dikatakan bahwa selama 74 tahun pasca proklamasi kemerdekaan, keadilan sosial tampak masih jauh dari cita-cita konstitusi dan Pancasila.
Tentu menggaungkan narasi ‘anti-asing’ dan ‘anti-aseng’ bukanlah solusi. Kita harus melampauinya dengan melihat bahwa musuh yang dihadapi adalah ‘ketidakadilan’ itu sendiri, yang secara struktural-historis telah terbentuk sejak era kolonialisme sampai dengan hari ini.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kita bisa menentukan langkah yang lebih presisi dari pengalaman masa lalu untuk menghadapi masa depan yang tentunya sangat panjang.
Terakhir, selamat ulang tahun, Indonesia!
*Grady Nagara. Manajer Program NEXT Policy