news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jebakan Politik Kartel

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
26 Agustus 2020 14:29 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Slogan 'nasionalis religius' yang digaungkan Partai Demokrat (Foto: Twitter @panca66)
zoom-in-whitePerbesar
Slogan 'nasionalis religius' yang digaungkan Partai Demokrat (Foto: Twitter @panca66)
ADVERTISEMENT
Partai politik telah menjadi salah satu pilar penting bagi negara yang menganut demokrasi. Hal ini disebabkan karena pandangan normatif terhadap partai politik yang menempatkannya sebagai agregator kepentingan di masyarakat. Pandangan tersebut tentu tidaklah salah, karena ideologi dan program partai sebagai cermin kepentingan masyarakat telah menjadi alat persaingan dalam interaksi antar partai.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Indonesia, persaingan antar partai berdasarkan ideologi maupun program partai telah terjadi paling tidak sejak pemilu 1955. Meskipun persaingan antarpartai sempat terhenti akibat otoritarianisme Orde Baru, persaingan yang serupa juga terjadi kembali pada arena pemilu 1999, maupun di arena pemilu di periode berikutnya. Persaingan, dalam hal ini menjadi agenda penting dalam demokrasi karena mampu menciptakan mekanisme check and balances secara horizontal. Persoalannya, benarkah mekanisme saling mengawasi dan saling menyeimbangkan kekuasaan politik benar-benar terjadi dalam praktik demokrasi di Indonesia?
Problem ini yang kemudian diangkat dalam studi Kuskridho Ambardi (2009) dalam buku Mengungkap Politik Kartel tentang sistem kepartaian dan interaksi antar partai politik yang terjadi dalam berbagai arena persaingan politik. Arena persaingan dalam hal ini tidak disempitkan dalam konteks pemilu saja; melainkan Ambardi juga mengambil fakta interaksi antar partai yang terjadi di arena eksekutif dan legislatif (persaingan pasca pemilu).
ADVERTISEMENT
Fakta empirik yang diungkapkan Ambardi adalah; partai politik secara umum tidak konsisten dalam melaksanakan agenda yang telah digaungkan sejak masa sebelum pemilu. Hal ini terlihat dari perilaku partai politik ketika memasuki arena eksekutif maupun legislatif. Partai politik terlihat pada kecenderungannya untuk lebih dekat pada lingkaran kekuasaan, sehingga sering mengesampingkan program partai bahkan ideologi partai. Kesimpulan Ambardi menyatakan bahwa fenomena tersebut diakibatkan munculnya sistem kepartaian yang berbasiskan kartel.
Ambardi sendiri mengambil kasus pada pemilu 1999 dan pemilu 2004 serta bagaimana interaksi antar partai yang terjadi setelah pelaksanaan keduanya. Namun dalam review singkat ini, yang penulis ulas adalah kerangka teoritis tentang kartel politik (BAB I), Kasus Pemilu 2004 (BAB V), serta sebab-sebab munculnya kartel politik (BAB VI). Hal ini diperuntukkan review ini menjadi lebih singkat dan padat. Selain itu dalam review ini penulis juga mencoba mengelaborasikan dengan beberapa studi lain yang relevan sebagai tambahan.
ADVERTISEMENT

Mendefinisikan Kartel Politik

Pada umumnya partai politik memiliki fungsi utama antara lain; (1) pendidikan politik bagi masyarakat, (2) agregasi kepentingan dalam masyarakat, serta (3) manajemen konflik. Konsekuensi logis dengan adanya fungsi tersebut mengakibatkan partai politik memiliki ideologi sebagai representasi kepentingan masyarakat tertentu. Kekhasan ideologi sebuah partai politik akan terlihat ketika persaingan terjadi. Partai politik akan mendefinisikan dirinya sebagai perwakilan kepentingan tertentu demi mengambil dukungan masyarakat. Tidak hanya itu, partai politik yang ideologis juga akan terlihat dari bagaimana partai tersebut berinteraksi dan saling memperjuangkan program dan kebijakannya. Namun dalam perkembangannya, studi mengenai interaksi antar partai politik tidak berhenti sampai disana.
Salah satu studi yang pernah berkembang mengenai interaksi antar partai politik adalah teori koalisi politik yang muncul sejak 1960-an. William H. Riker (1962) dalam the theory of political coalition memberikan penjelasan terhadap koalisi-koalisi yang mungkin terjadi antar partai politik. Dengan konsep Minimum Winning Coalition (MWC) yang terinspirasi dari pendekatan rational choice, Riker mampu memprediksi kemungkinan koalisi partai politik yang terjadi. Konsep MWC menghendaki adanya koalisi dengan syarat minimal kemenangan yaitu 50 persen + 1. Menurut Riker, partai politik akan berhenti mencari anggota koalisi ketika syarat tersebut telah dipenuhi. Model koalisi politik yang lain juga turut melengkapi dengan melihat faktor terbentuknya koalisi bukan semata-mata karena syarat minimal kemenangan, melainkan koalisi juga dapat dibentuk karena adanya kedekatan ideologis antar partai politik (sebagaimana studi yang dilakukan oleh Robert Axelrod).
ADVERTISEMENT
Studi lain yang terkait dengan interaksi antar partai politik dalam sistem kepartaian juga diungkapkan oleh Sartori – yang dijadikan sebagai pijakan teoritis oleh Ambardi. Paling tidak studi tersebut memberikan penjelasan lebih luas dari sekadar klasifikasi sistem kepartaian sebuah negara yang hanya menjadi sistem partai tunggal, dwi partai serta multi partai. Penjelasan lebih mengenai sistem kepartaian telah membentuk tipologi sistem kepartaian tersendiri. Dalam studi tersebut, sistem kepartaian tidak hanya dilihat dari jumlah partai, melainkan juga dilihat dari rentang jarak ideologis antar partai. Sehingga dalam multi partai terbagi menjadi tipe pluralisme moderat (3-5 partai) dan pluralisme ekstrem (> 5 partai). Dalam hal tingkat jarak ideologis yang tinggi, jumlah partai politik yang berjumlah 2 ataupun lebih masing-masingnya memiliki kemungkinan terpolarisasi yang tinggi–terlebih pada jumlah partai yang lebih dari 5 kemungkinan terpolarisasi menjadi lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Tawaran tipologi sistem kepartaian tersebut telah memberikan penguatan terhadap teori koalisi politik. Bahwa polarisasi partai politik yang se-ideologi memberikan kemungkinan terjadinya koalisi partai yang lebih tinggi. Namun yang menjadi kelemahan dari tipologi sartori, maupun teori koalisi politik yang ada hanya mengasumsikan satu arena persaingan politik saja. Misalkan saja praktik pemilu di Indonesia; yang secara umum hanya menunjukkan adanya polarisasi partai-partai berbasiskan islam dan partai-partai yang berbasiskan sekuler. Kerangka teoritis tersebut relevan untuk melihat koalisi-koalisi yang terjadi antar partai politik di Indonesia dalam satu arena persaingan. Misalkan saja persaingan dalam pemilu 1999 dan terjadinya polarisasi antar partai islam dengan terbentuknya koalisi poros tengah. Namun sekali lagi perlu dicatat, kerangka teori demikian hanya mengasumsikan satu arena persaingan sehingga tidak dapat menjelaskan interaksi yang terjadi dalam arena persaingan yang lain.
ADVERTISEMENT
Salah satu usaha yang mencoba memberikan penjelasan lebih adalah studi yang dilakukan oleh Richar R. Katz dan Peter Mair (2009) dalam The Cartel Party Thesis. Dengan melihat pengalaman fenomena partai pasca-industri di Eropa Barat, Katz dan Mair memberikan kerangka historis bagaimana akhirnya kartel partai muncul. Dalam studinya, jenis partai muncul paling awal adalah partai kader (cadre party) pada abad ke-19. Hal ini juga merupakan awal ketika hak pilih publik diperkenalkan di seluruh Eropa Barat. Partai politik semakin berkembang dengan bertransformasi menjadi partai massa (mass party) sebagai kebutuhan untuk mencari konstituen yang lebih besar. Kebutuhan untuk mencari konstituen yang besar membuat partai politik bergerak lebih pragmatis, sehingga muncul partai lintas kelompok (catch all-party) yang tidak hanya melihat satu segmen masyarakat saja, melainkan juga melihat segmen masyarakat yang lain. Perkembangan berikutnya, partai politik bergeser ke arah perilaku kartel yang menjadi fokus studi Katz dan Mair.
ADVERTISEMENT
Dalam ekonomi, istilah Kartel diasosiasikan sebagai kelompok produsen yang memiliki tujuan menetapkan harga dengan membatasi suplai dan kompetisi barang, sehingga tercipta suatu bentuk monopoli yang mengganggu persaingan dalam pasar. Istilah kartel juga dikaitkan dengan politik di mana ada kecenderungan dari partai politik untuk membatasi persaingan bahkan menghilangkan persaingan itu sendiri. Studi mengenai kartel politik juga diperkenalkan oleh Dan Slater (2004) dalam mengkaji fenomena partai politik di Indonesia era reformasi. Menurutnya, partai politik telah gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan dan perimbangan yang menjadi inti demokrasi. Sehingga bagi Slater, kondisi demikian merupakan jebakan pertanggungjawaban (accountability trap) yang diderita oleh demokrasi Indonesia. Perilaku kartel partai politik yang telah menghilangkan persaingan dan ketiadaan oposisi adalah sebab tidak adanya pertanggungjawaban horizontal.
ADVERTISEMENT
Jelas bahwa analisis atas fenomena kartelisasi partai politik mampu menjelaskan interaksi antar partai politik di berbagai arena persaingan. Anomali yang terjadi karena adanya ketidak konsistensi partai politik dalam menjalankan hasil pemilu sehingga koalisi-koalisi yang terbentuk tidak solid. Jika hari ini kita melihat ada sikap fraksi partai politik yang terlihat “kompak” dalam kebijakan tertentu – sehingga tidak terlihat ada persaingan dan oposisi, ataupun adanya koalisi dengan memasukkan anggota partai (yang seharusnya oposisi) pada jabatan-jabatan menteri ataupun jabatan lainnya, menurut Ambardi hal demikian adalah bentuk sistem kepartaian yang terkartelisasi. Dalam hal ini Ambardi memberikan lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia; (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
ADVERTISEMENT

Pemilu 2004 dan Kartelisasi Partai Politik

Pembahasan pemilu 2004 (BAB V) dalam buku Ambardi berusaha untuk mengkaji kartelisasi yang terjadi. Sehingga pembabakan dalam bab ini Ambardi membaginya dalam babak sebelum dan babak sesudah pemilu 2004. Perlu kita pahami bersama bahwa pemilu 2004 merupakan awal pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung. Sehingga dalam bab ini pun Ambardi juga akan melihat babak pilpres sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam melihat kartelisasi yang terjadi.
Pembabakan pertama yaitu temuan Ambardi dalam rentang pasca pemilu 1999 sampai dengan menjelang pemilu 2004. Ambardi melihat terjadi pelebaran jarak ideologis antara partai-partai yang berbasiskan sekuler dengan partai-partai yang berbasiskan islam. Paling tidak hal tersebut tercermin dalam sidang MPR tahun 2000 ketika membahas amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; “Negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Persaingan ideologis begitu terlihat ketika fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) bersikeras tujuh kata dalam piagam Jakarta yang berbunyi “dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya” ditambahkan dalam bunyi ayat tersebut.
ADVERTISEMENT
Fraksi partai islam lainnya yaitu Partai Keadilan (PK) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memilih pilihan ketiga; menambahkan kalimat “dengan kewajiban para pengikut masing-masing agama untuk menjalankan ajaran-ajarannya”. Pilihan PK dan PKB ini juga masih bernuansa ideologis dimana alasan PK mengambil pengalaman piagam madinah, sedangkan PKB yang berbasis tradisional NU mengambil dasar keyakinan atas pluralisme. Sedangkan fraksi partai lain seperti partai-partai sekuler dan Kristen memilih untuk tidak ada perubahan dalam ayat tersebut. Pertarungan ideologis tersebut kembali muncul di arena legislatif ketika pembahasan RUU Pendidikan Nasional di mana kalangan partai islam mencoba untuk memasukkan unsur islam di dalam pasal-pasal RUU tersebut.
Konsistensi partai politik diuji dalam arena pemilu 2004 yang menjadi babak berikutnya dalam temuan Ambardi. Hasil dari pemilu legislatif tentu memiliki pengaruh dalam penentuan koalisi partai menjelang pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung. Dalam beberapa hal memang konsekuensi atas pemilu legislatif menyebabkan adanya kompromi antar partai dalam penentuan koalisi, namun titik tekan Ambardi adalah kompromi yang mengorbankan hal-hal prinsipil yang dapat menghilangkan inti persaingan. Tesis koalisi minimal kemenangan (Minimum Wiinning Coalition) yang diajukan Riker terbukti dalam penentuan pasangan Capres-Cawapres serta partai politik yang mendukungnya.
ADVERTISEMENT
Terdapat lima pasangan Capres – Cawapres di mana di setiap pasangan tersebut telah diidentikkan masing-masingnya mewakili pemimpin partai sekuler dan islam, termasuk perpaduan partai islam dan sekuler juga terlihat dari partai yang mendukungnya. Mari kita lihat perpaduan tersebut; (1) Megawati – Hasyim Muzadi didukung oleh PDIP, PDS; (2) Wiranto – Shalahuddin Wahid didukung oleh Partai Golkar dan PKB; (3) Amien Rais – Siswono Yudho Husodo didukung oleh PAN, PKS, PBR, PNBK, PNI Marhaen, PPDI, PSI, PBSD; (4) Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla didukung oleh Partai Demokrat, PBB dan PKPI; serta (5) Hamzah Haz – Agum Gumelar didukung oleh PPP. Model koalisi minimal kemenangan juga terjadi pada Pilpres putaran kedua dimana pasangan Mega – Hasyim bersaing dengan pasangan SBY – JK. Perpaduan partai dengan ideologi yang berbeda telah menghasilkan dua poros koalisi; Koalisi Kebangsaan pendukung Mega – Hasyim (PDIP, PDS, Golkar, PPP, PBR) dan Koalisi Kerakyatan pendukung SBY – JK (PD, PPP, PKPI, PKS). Kemudian dalam Pilres tersebut pasangan SBY – JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2004 – 2009 yang menandakan Koalisi Kebangsaan menjadi oposisi sampai dengan pemilu 2009.
ilustrasi. Pixabay.com
Babak berikutnya dalam temuan Ambardi menjadi sangat penting karena menentukan konsistensi partai paling tidak setelah koalisi terbentuk. Babak berikutnya terbagi menjadi dua arena; arena eksekutif dan arena legislatif. Pada arena eksekutif, komposisi kabinet tidak berhenti pada partai pendukung dalam koalisi kerakyatan saja, melainkan semua partai koalisi kebangsaan kecuali PDIP bergaung dalam kabinet. Kasus PDIP yang tidak bergabung menurut Ambardi ada kemungkinan psikologis hubungan yang tidak harmonis antara Megawati dan SBY sejak SBY menjabat sebagai Menkopolhukam dalam pemerintahan Megawati. Meskipun indikasi tersebut bisa jadi tidak, track record PDIP sejak pemilu 1999 telah gagal uji mengingat Megawati tetap menjadi pasangan Gus Dur sebagai wakil Presiden di periode sebelumnya. Kemudian mari kita lihat apa yang terjadi dalam arena legislatif.
ADVERTISEMENT
Pada arena legislatif, pertarungan awal terlihat dalam perebutan kursi pimpinan DPR (Ketua dan Wakil Ketua) serta perebutan kursi ketua komisi. Temuan Ambardi sampai dengan persaingan di tingkat komisi menunjukkan pola yang serupa dengan arena pemerintahan; yang terbentuk adalah koalisi turah. Hal ini agar memperlihatkan bahwa terpilihnya Agung Laksono sebagai Ketua DPR saat itu bukan berarti persaingan koalisi kerakyatan dan koalisi kebangsaan secara konsisten terjadi. Melainkan pengalaman persaingan perebutan kursi di tingkat komisi membuktikan adanya praktik “bagi-bagi kursi” yang merata di semua partai politik. Atas nama “solidaritas” dan “pemerataan” kekuasaan, arena legislatif telah gagal dalam membentuk sebuah persaingan. Analisis Dan Slater juga memberikan indikasi yang sama dengan mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan jebakan pertanggungjawaban sebagai kegagalan sistem kepartaian dalam membentuk mekanisme check and balances.
ADVERTISEMENT
Jika ciri kartel dalam sistem kepartaian telah terlihat dalam fenomena kepartaian di Indonesia, pertanyaan berikutnya adalah; apa yang menjadi motivasi bagi partai politik membentuk perilaku yang serupa dengan kartel? Argumen Ambardi adalah perilaku tersebut merupakan usaha partai politik untuk melindungi kepentingan kolektifnya, yaitu sumber-sumber rente. Menurutnya, ketika partai politik yang kuat (dengan melihat basis dukungan dari hasil pemilu) tidak diakomodir, hal ini dapat mengganggu distribusi rente.

Partai Pemburu Rente dan Kepentingan Kolektifnya

Perilaku kartel partai politik terjadi menurut Ambardi dikarenakan adanya motivasi partai politik untuk mendapatkan keuntungan finansial. Temuan Ambardi kali ini merupakan kritik atas tesis Katz dan Mair yang mengungkapkan bahwa motivasi terbentuknya kartel karena partai politik ingin mengamankan sumber subsidi finansial dari negara. Bagi Ambardi, perilaku kartel terjadi justru karena partai politik ingin mendapatkan sumber-sumber rente yang bersifat ilegal, dan hal ini hanya didapatkan dengan menjadikan partai politik masuk dalam lingkaran kekuasaan. Pencarian atas sumber rente inilah yang menurut Ambardi menjadi kepentingan kolektif partai-partai politik. Berikut ini ringkasan penulis dari temuan Ambardi dalam beberapa contoh kasus.
ADVERTISEMENT
Terdapat tiga contoh kasus yang diambil oleh Ambardi; kasus skandal uang Departemen Kelautan dan Perikanan, Kasus Buloggate I dan II serta kasus Bank Bali. Namun sebelumnya perlu kita ketahui bahwa aturan yang berlaku ketika itu–dalam hal ini UU Partai Politik–memiliki celah yang paling tidak dapat dimanfaatkan oleh partai politik. Dalam temuan Ambardi, sebagian besar pemasukan partai berasal dari sumbangan individu, yang mana dalam proses audit laporan keuangan partai diakui oleh Ambardi tidak sepenuhnya mendetail dan hanya membenarkan dari proses administratifnya saja. Tentu sumbangan individu ataupun perusahaan memiliki koneksi-koneksi yang bersifat perorangan, bukan kelembagaan partai, yang berkonsekuensi pada ketidakjelasan besaran jumlah penerimaan dana partai dari penerimaan yang lain – atau disebut juga dengan sumber dana nonbujeter.
ADVERTISEMENT
Kasus skandal uang DKP misalnya, Ambardi melihat fenomena bahwa partai politik terlihat saling melindungi untuk melindungi aliran distribusi rente. Sumber distribusi rente berasal dari penyelewengan dana subsidi DKP dan menjerat Rokhmin Damhuri, menteri kelautan dan perikanan yang menjabat saat itu (era pemerintahan Megawati 2001 – 2004). Hal ini baru berhasil diungkap oleh KPK dan mendapatkan temuan bahwa aliran dana tersebut terdistribusi secara merata di semua fraksi di komisi III DPR bahkan tim kampanye salah satu pasangan Capres – Cawapres. Meskipun demikian, kasus ini tidak menjerat semuanya karena hanya pemberi dana yang dikenakan sanksi, sedangkan dalam kenyataannya penerima dana tidak dikenakan sanksi hukum sedikitpun. Hal ini dapat terjadi karena adanya upaya dari setiap partai politik untuk saling “melindungi”.
ADVERTISEMENT
Kasus rente yang juga fenomenal saat itu adalah kasus Buloggate yang melibatkan Presiden Gus Dur ketika itu – dan juga menjadi dasar alasan impeachment terhadap Gus Dur. Gus Dur dan PKB dianggap telah menerima dana ilegal dari Badan Usaha Logistik (Bulog). Kasus ini kemudian berlanjut dengan dituduhnya Partai Golkar dan Akbar Tanjung yang juga mengambil untung dari dana ilegal dari Bulog (kasus Buloggate II). Dana ini pun juga mengalir ke beberapa menteri dan juga fraksi partai di DPR. Sekali lagi, kasus Buloggate ini berhenti begitu saja, karena partai politik telah berseteru untuk melindungi kepentingan kolektifnya. Bahkan melalui kekuasaan anggaran dan kekuasaan legislasi, DPR dapat memanfaatkannya untuk melindungi dirinya dari jeratan hukum sekalipun. Kemudian untuk kasus Bank Bali, pola yang serupa dengan kasus DKP juga terjadi. Partai politik dengan kekuasaannya di eksekutif dan legislatif memiliki kemampuan untuk memproteksi kepentingan kolektifnya, sehingga sangatlah wajar dengan kondisi demikian dalam beberapa kasus persaingan tidak akan terjadi.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi dalam bab ini Ambardi telah menemukan fakta bahwa jabatan – jabatan strategis di kementerian maupun di DPR memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan sumber rente. Hal ini yang menjadi hilangnya komitmen ideologis partai politik, tidak adanya persaingan dan partai politik secara otonom mengejar kepentingan lembaganya dibandingkan mengedepankan kepentingan konstituennya.
Kesimpulan
Dari ulasan singkat di atas telah jelas bahwa; demokrasi di Indonesia berada dalam jebakan kartel partai politik. Hal-hal substansial tentang demokrasi yang mengedepankan adanya check and balances dan partai politik yang menjadi perwakilan kepentingan masyarakat seutuhnya menjadi sirna dengan melihat kenyataan perilaku yang terjadi dalam dunia kepartaian di Indonesia. Tentu praktik kartel politik dalam hal ini dapat dilawan dengan meningkatkan kinerja akuntabilitas pemerintahan, dan terlihat dalam beberapa tahun terakhir usaha untuk mewujudkan pengawasan vertikal sudah terlihat dengan menciptakan mekanisme pemerintahan yang transparan. Sehingga, dalam beberapa aspek rakyat Indonesia dapat mengawasi kinerja wakil-wakilnya yang menjabat di pemerintahan, meskipun hal ini masih jauh dari yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Mengakhiri review ini, ada dua hal yang ingin penulis sampaikan. Pertama, perlu kita ketahui bersama bahwa studi Kuskridho Ambardi ini tidak melihat kartelisasi yang terjadi pada masing-masing partai politik. Melainkan fokus studi ini adalah interaksi antar partai politik, dan mengambil kasus-kasus empirik sebagai pembuktian atas hipotesisnya. Hal ini bagaimanapun juga menurut penulis, mengakibatkan generalisasi terhadap seluruh partai politik bahwa semua partai telah berperilaku sebagai kartel. Hal ini tidak mengecualikan adanya kemungkinan pada satu atau beberapa partai politik yang mungkin mengambil sikap bukan karena mencari keuntungan finansial bagi partainya. Sehingga, menurut penulis Ambardi terlihat luput pada aspek-aspek yang sifatnya kemungkinan adanya pengecualian terhadap satu atau beberapa partai dan tidak terlihat dalam temuan studi ini.
ADVERTISEMENT
Kedua, studi Ambardi ini tentu memiliki manfaat yang sangat besar untuk menganalisis fenomena interaksi antar partai politik di masa-masa selanjutnya. Bagaimanapun juga, selama partai politik dan demokrasi ada di Indonesia, selama itu pula arena persaingan akan terus terbentuk. Dengan pendekatan yang sama, seharusnya penjelasan atas interaksi antar partai politik dapat dibedah dengan model analisis yang serupa juga, meskipun ada kemungkinan studi ini berkembang dengan terjadinya pengalaman-pengalaman empirik yang baru.