Kealpaan Tito Karnavian dalam Menangkal Krisis

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
27 Maret 2020 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kealpaan Tito Karnavian dalam Menangkal Krisis
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Harus kita akui. Negara telah lalai dalam melindungi warganya dari ancaman Corona virus disease 2019 atau Covid-19 sejak pertama kali kasus ini muncul di Wuhan. Kenyataan yang terjadi justru menganggap enteng persoalan, menjadikannya guyonan, bahkan membuka pintu masuk yang besar bagi turis asing agar berwisata ke Indonesia. Tidak lupa dengan membanggakan diri, bahwa Indonesia aman, dan warganya kuat-kuat. Namun setelah kasus pertama muncul, tampak pemerintah sama sekali tidak siap. Dengan cepat kenaikan kasus infeksi Covid-19 terus bertambah dari hari ke hari.
ADVERTISEMENT
Sekarang justru timbul kesan pemerintah menolak disalahkan. Berlindung diri di balik BuzzeRp yang mati-matian memberikan pembelaan. Anasir yang melontarkan kritik dianggap pengganggu dan tidak tahu terima kasih karena katanya pemerintah sedang ‘bekerja keras’.
Untungnya, solidaritas di antara warga masih terasa. Banyak elemen non-pemerintah yang mengulurkan bantuan dan memberikan dukungan, terutama kepada para tenaga medis yang berjuang di garda terdepan. Meskipun di sisi yang lain, solidaritas sosial sesama warga menunjukkan bahwa negara saat ini berada dalam kondisi lemah. Logikanya: masyarakat berinisiatif melakukan sesuatu karena pemerintah tidak/belum sanggup melakukan sesuatu tersebut.
Rasa geram yang saya ungkapkan ternyata tidak sendirian. Ketika saya bersama Next Policy melakukan pengumpulan tweet sejak 11 Desember 2019 hingga 2 Maret 2020, sentimen negatif terhadap pemerintah dalam mengantisipasi Covid-19 lebih tinggi dibandingkan sentimen positifnya. Melalui Analisis Sosial-Media Nusantara berbasis AI (AMENA), isu mengenai Covid-19 di Indonesia pertama kali muncul di Twitter pada 15 Januari 2020 yang lalu. Tidak lama setelah kemunculan kasus penyakit mirip pneumonia yang menyerang 49 warga Wuhan. Meskipun jumlahnya tidak banyak, kami berhasil mengumpulkan 2870 tweets yang berkaitan dengan Covid-19, dan bagaimana respons pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh menteri Terawan.
ADVERTISEMENT
Lewat kata kunci ‘menteri’, dengan filter ‘Terawan’ dan ‘Corona’, kami menemukan 1439 tweets bernada negatif. Disusul 1071 tweets bernada netral dan hanya 360 tweets yang bernada positif. Sekiranya perlu saya katakan kembali bahwa data sentimen ini adalah pada saat pertama kali kasus Covid-19 muncul, sebelum menginfeksi negara kita.
Sentimen negatif itu terutama diarahkan kepada Terawan, sebagai menteri yang paling bertanggung jawab dalam upaya penanganan. Lonjakan itu terjadi akibat komunikasi politik menteri Terawan yang buruk: kita bisa bebas dari virus dengan berdoa, sampai menyalahkan mereka yang memakai masker -- meski belakangan kita melihat menteri Terawan justru mengenakan masker dalam sebuah pertemuan.
Sebetulnya ada satu menteri lagi yang memiliki peran sangat strategis dalam mengantisipasi Covid-19 sebelum menginfeksi negara kita: Tito Karnavian, menteri dalam negeri (mendagri). Dalam rentang waktu yang sama saat kami melakukan analisis terhadap menteri Terawan, justru Tito hampir-hampir tidak mendapatkan perhatian publik. Dari penelusuran kami, hanya terdapat 19 tweets yang relevan. Sembilan tweets bernada negatif, tujuh tweets positif, dan sisanya netral. Masalahnya memang atensi publik terhadap kasus Covid-19 sangat minim. Jumlah sentimen yang menyasar Terawan sangat sedikit, terlebih kepada Tito yang bisa dikatakan tidak signifikan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Terawan jelas memiliki peran paling utama sebagai pihak pemerintah dalam penanganan. Namun, sejatinya peran Tito juga sangat strategis, yang patut disayangkan justru abai menggunakan kewenangannya untuk melakukan langkah-langkah antisipatif. Di atas kertas, mendagri memiliki kewenangan dalam pengoordinasian, pembinaan, dan pengawasan umum, fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Kewenangan tersebut dalam konteks kasus Covid-19 jelas sangat penting. Patut disayangkan, kewenangan ini alpa digunakan untuk mengantisipasi Covid-19 sebelum benar-benar menginfeksi Indonesia.
Melalui penelusuran media daring dan data crawling yang kami lakukan di Twitter, tidak ada upaya koordinasi yang dilakukan antara pusat-daerah untuk menangkal Covid-19 pada masa awal kasus ini muncul. Padahal, koordinasi dan supervisi terhadap pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19 sangat penting.
ADVERTISEMENT
Justru Tito, seperti menteri lainnya, cenderung meremehkan Covid-19. Sebagai contoh saja, Tito membantah pemberitaan media asal asing Daily Mail yang menyebut Bali menjadi ‘kota hantu’ akibat Corona (11/2). Dengan optimistis, Tito mengatakan bahwa Bali tetap ramai wisatawan, tanpa menunjukkan sensitivitas terhadap krisis bahwa realita yang sedang Tito bicarakan menunjukkan bahwa Bali sangat rentan terinfeksi. Patut dicatat bahwa pernyataan tersebut dilontarkan Tito pada 11 Februari, dan kini, Bali benar-benar menghadapi krisis. Lebih miris lagi Tito menyebut bahwa sebaiknya masyarakat perbanyak makan tauge untuk cegah Corona. Sama seperti Terawan, pernyataan Tito sama sekali tidak mencerminkan kapasitasnya sebagai mendagri.
Kenyataan bahwa tidak ada koordinasi pusat-daerah menguatkan kesan bahwa pemerintah memang meremehkan kasus ini sejak awal. Kegagapan terjadi saat kasus demi kasus muncul. Koordinasi tampak kacau. Pada mulanya presiden menyebut bahwa penanganan Covid-19 diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing. Pernyataan pemerintah yang sebetulnya menunjukkan bahwa sejak awal tidak ada koordinasi. Meski tidak lama setelahnya, pusat memberikan veto terhadap pemerintah daerah yang terlanjur melancarkan antisipasi dan penanganan sendiri.
ADVERTISEMENT
Sikap pemerintah yang tidak transparan dalam penanganan maupun perkembangan kasus menambah daftar panjang carut-marut kepemimpinan pemerintah dalam menangani krisis. Secara khusus, kealpaan koordinasi pusat-daerah dan tidak adanya antisipasi dari mendagri menjadi lubang besar bagi administrasi kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Pasca badai krisis ini (semoga lekas usai), menurut hemat saya, selain kepada menteri kesehatan, presiden Jokowi dengan kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi negara ini juga harus mengevaluasi kinerja kementerian dalam negeri.