Kembalinya Partai Kartel

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2019 15:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin berfoto bersama jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik di Istana Merdeka, Jakarta.  Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin berfoto bersama jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Ada yang menarik dari formasi kabinet Jokowi periode kedua: diangkatnya Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, sebagai Menteri Pertahanan. Pengangkatan ini memang tidak terlalu mengejutkan. Pasalnya tidak lama setelah hasil pemilu keluar, Prabowo dan beberapa kader partai Gerindra tampak merapat ke PDIP sebagai partai pemenang pemilu.
ADVERTISEMENT
Foto bernuansa kekeluargaan antara Prabowo dan ketua umum PDIP Megawati tersebar ke mana-mana. Media massa ramai memberitakan pertemuan hangat antara dua rival, Jokowi dan Prabowo. Dari rangkaian pertemuan itu, dalihnya adalah rekonsiliasi. Tidak boleh perpecahan dibiarkan terus, katanya. Walaupun sebetulnya yang terjadi adalah meminta ‘jatah,’ dan hasilnya ternyata positif. Partai Gerindra mendapatkan ‘jatah’ yang diinginkan.
Hal lain yang tidak kalah menarik adalah PAN dan partai Demokrat yang gagal masuk kabinet. Padahal, kedua partai ini telah menunjukkan perilaku mendekat ke partai pemenang pemilu melalui rangkaian pertemuan dan pernyataan, yang sebetulnya merugikan koalisi partainya sendiri. Entah bagaimana ceritanya kedua partai ini gagal, bahkan terkesan ditikung oleh rekan satu koalisi, yaitu partai Gerindra. Kini, PAN dan partai Demokrat terpaksa mendeklarasikan diri sebagai oposisi meskipun sebetulnya itu bukan hasil yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya yang tampak konsisten hanya PKS. Alih-alih ikut dalam agenda kompromistis antarelite, sepertinya PKS lebih cenderung menjaga loyalitas konstituen. Dalam konteks untung-rugi sebagai oposisi, jelas PKS lebih beruntung daripada PAN dan partai Demokrat karena sudah terlanjur basah menunjukkan citra yang inkonsisten di mata publik. Setidaknya bagi yang tidak memilih Jokowi pada pilpres lalu, tampaknya mereka akan cenderung berharap pada PKS.
Ini adalah soal kalkulasi politik masing-masing partai. Per lima tahun sekali, kita akan selalu melihat hal yang serupa, sepanjang tidak ada yang berubah dari kebijakan kepartaian di Indonesia. Apa pun strategi dan output yang didapat dari partai, pola umum yang terjadi selalu sama: kecenderungan selalu mendekat ke lingkaran kekuasaan dengan format koalisi yang cair. Hal ini didukung dengan fakta bahwa sistem presidensialisme tidak pernah menghendaki adanya oposisi formal. Oleh sebab itu, check and balances dalam konteks pemerintah-oposisi pada dasarnya bukan sesuatu yang kaku.
ADVERTISEMENT
Gejala partai politik yang semakin ingin mendekat kepada negara telah diungkap oleh Katz dan Mair (1995) berdasarkan pengalaman di Eropa Barat dua dekade yang lalu sebagai bentuk partai kartel. Katz dan Mair melihat terjadi evolusi partai yang semakin renggang ikatan kulturalnya dengan masyarakat, dan lebih cenderung mendekat kepada kursi kekuasaan. Partai kartel ini bekerja atas basis intensif kapital, cenderung tersentralisasi, mencegah terjadinya persaingan antarpartai, dan yang paling penting adalah berusaha memonopoli sumber daya finansial dari negara. Pengalamannya memang tidak sama, namun gejala partai kartel juga tampak terlihat di Indonesia.
Partai politik di Eropa Barat cenderung mendekat ke negara untuk memaksimalkan bantuan finansial karena subsidi negara yang sangat besar terhadap partai. Di Indonesia, partai mendekat kepada negara untuk mendapatkan keuntungan finansial dari penyelenggaraan negara itu sendiri. Dan Slater (2004) menyebut bahwa posisi jabatan publik di Indonesia memungkinkan untuk mengutip keuntungan dari proyek yang diselenggarakan negara, tergantung sektor mana saja ‘basah’ atau ‘kering’. Kuskridho Ambardi (2009) menyebut sumber tersebut dengan istilah dana non-bujeter.
ADVERTISEMENT
Dan Slater mengakui bahwa posisi menteri membuat partai memiliki akses sumber daya finansial dari penyelenggaraan negara secara langsung. Dari sana terbentuk jaringan patronase di mana partai politik dapat mendistribusikan sumber daya dari kementerian tertentu baik dalam bentuk uang, mau pun jabatan. Biasanya, isu ini berkaitan erat dengan mahalnya biaya demokrasi dan dampaknya pada kapasitas finansial partai. Dalam hal ini, partai politik butuh sumber daya finansial yang besar untuk tetap bertahan dan bisa menutup biaya pemilu yang sangat besar.
Bisa dikatakan bahwa partai kartel adalah strategi partai untuk menambah kapasitas finansialnya. Finansial di sini bukan hanya soal kebutuhan organisasional, melainkan juga bagaimana partai tetap mempertahankan para loyalis di bawahnya. Itulah mengapa hasil pemilu di Indonesia tidak berpengaruh pada formasi koalisi pemerintah-oposisi, dan partai politik cenderung bertindak secara kolektif pada isu tertentu yang memang bisa memberikan keuntungan bersama (Ambardi, 2009).
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa yang kasar, partai kartel ini tidak berbeda dari model perburuan rente (rent seeking), yang dalam waktu tertentu bisa dilakukan sendiri, maupun secara kolektif. Apabila sedang sial, praktik perburuan rente dan patronase (bagi-bagi akses berupa lisensi, monopoli, barang, dan seterusnya) bisa berujung kasus korupsi. Kasus yang menimpa dua mantan ketua umum PPP, Suryadharma Ali dan Romahurmuziy, adalah contoh bagaimana distribusi akses dari kementerian agama bisa berujung pada kasus korupsi. Dalam konteks kolektif, kasus korupsi e-KTP adalah bentuk paling nyata dari bekerjanya partai kartel untuk saling mendapatkan keuntungan material.
Menjadi oposisi di Indonesia memang tidak terlalu menyenangkan. Tidak banyak akses finansial, rente, dan dana non-bujeter yang bisa diraih. Dengan menjadi partai kartel, partai politik berusaha untuk mengejar jabatan publik terutama kabinet yang bersinggungan langsung dengan urusan pemerintahan. Terutama pada partai yang kalah, saat kalkulasi menunjukkan bahwa perlu mendapatkan akses kuasa dan finansial, maka lebih baik berkompromi dengan pemenang. Harapannya tentu saja agar mendapatkan ‘jatah’, yang dalam banyak hal harus bersitegang dengan partai lain yang sama-sama menginginkan kuasa dan akses material.
ADVERTISEMENT
Apa yang terlihat saat ini, sejak pemilu selesai sampai dengan kabinet baru terbentuk, setidaknya menunjukkan gejala partai kartel sebagaimana dideskripsikan di atas. Tentu kita tidak berharap sampai benar-benar terjadi kasus korupsi. Sejauh ini, motif untuk mendapatkan akses kekuasaan dan finansial adalah yang paling rasional, meskipun barangkali ada motivasi lain. Terlalu naif untuk menyebut bahwa kompromi elite yang tertutup itu adalah untuk kebaikan bangsa dan negara. Kita memang berharap pada pejabat publik yang kompeten, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa jeratan partai kartel ini memiliki potensi korupsi yang tinggi.
Belum lagi memberikan ‘jatah’ pada relawan dan loyalis yang tidak terakomodasi dalam kabinet. Mereka yang berkeringat saat pemilu harus dibalas dengan bayaran yang setimpal. Seperti memberikan posisi empuk sebagai komisaris di berbagai perusahaan pelat merah, misalnya. Ketika akses itu diberikan, jaringan patronase yang terjadi semakin luas. Akibatnya, pembuatan kebijakan dan pemilihan jabatan publik, sangat kental dengan nuansa tentang bagaimana memuaskan semua orang yang berada dalam jaringan patronase tersebut.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, pidato dalam pelantikan presiden Jokowi sama sekali tidak menyinggung ihwal korupsi. Taji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengganggu jaringan patronase yang koruptif itu juga semakin tumpul pasca revisi UU KPK. Hampir sulit membayangkan bahwa pemerintah akan menjadikan pembenahan UU partai dan UU pemilu yang mengatur langsung urusan kepartaian dan masih banyak celah korupsi sebagai kebijakan prioritas. Kalau tidak ada kemajuan, perilaku partai kartel ini akan selalu ada.
Grady Nagara. Manajer Program Next Policy