Membakar Hutan Lewat Pelemahan KPK

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
24 September 2019 8:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kebakaran hutan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran hutan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Manusia Indonesia harus merasakan sesak dua kali. Pertama, penumpulan taji agenda pemberantasan korupsi lewat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), kedua, kepungan asap di Sumatera dan Kalimantan akibat pembakaran hutan. Dua peristiwa itu memang bukan sebab-akibat. Namun, kenyataan bahwa dua peristiwa itu berkelindan pada masalah korupsi, dada kita terasa semakin sesak berkali lipat.
Asap dari ‘tungku raksasa’ yang menyelimuti bagian barat dan tengah Indonesia ini bukanlah kesalahan alam, tangan manusia yang sejatinya bertanggung jawab, dan alam bereaksi atas ulah itu. Manusia Indonesia lainnya yang tidak tahu-menahu menjadi korban. Paru-paru mereka dibuat kotor. Sialnya, peristiwa asap akibat pembakaran hutan ini tak lekang dari pemufakatan jahat yang bernama korupsi.
Persoalan korupsi dalam kasus pembakaran hutan tidak hanya soal aturan yang dilanggar, atau tidak berfungsinya lembaga negara dalam menegakkan hukum. Tiap asap pekat muncul, polisi berhasil menangkap pelaku pembakar, entah oknum, maupun perusahaan. Tahun 2015 lalu, polisi menetapkan 12 perusahaan sebagai tersangka di balik pembakaran hutan. Tahun ini, setidaknya pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel 42 perusahaan. Pelaku-pelakunya selalu ditangkap, tetapi mengapa peristiwa serupa selalu terulang?
ADVERTISEMENT
Korupsi dalam konteks ini justru terjadi dalam jaringan politik transaksional yang dipelihara dalam kekuasaan. Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) yang diinisiasi KPK sudah mengendus praktik itu, dan menyebut jaringan kuasa itu sebagai ‘institusi alternatif.’ Agar lebih mudah, mari kita sebut saja ‘institusi alternatif’ yang dimaksud oleh KPK sebagai klientelisme.
Klientelisme adalah relasi personal para aktor yang saling bertukar keuntungan. Allen Hicken (2011) menandai relasi transaksional itu terjadi di antara pemilik resources yang berbeda-beda. Di satu sisi, ada yang memiliki resources berupa akses jabatan, sehingga bisa mengeluarkan lisensi, monopoli, dan izin; sedangkan di sisi yang lain, ada yang memiliki resources berupa uang. Relasi asimetris itu memungkinkan para aktor saling bertransaksi dengan resources yang dimiliki masing-masing untuk saling mendapatkan keuntungan. Simbiosis mutualisme, bahasa mudahnya.
ADVERTISEMENT
Saya pikir, hampir sebagian besar kasus korupsi di Indonesia terjadi dalam relasi klientelisme itu. Gejalanya dapat dilihat dari maraknya praktik suap demi mendapatkan keistimewaan dan akses tertentu dari pejabat publik. Kabar buruknya, pola serupa juga terjadi pada konteks pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) negara itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah tata kelola lahan dan hutan.
Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
Herry Purnomo dan kawan-kawan (2017) dalam penelitiannya mengenai ekonomi politik kebakaran hutan menemukan jalinan relasi klientelistik yang rumit dan kompleks. Ada banyak aktor yang saling bertukar keuntungan di balik pembakaran hutan. Yang paling kentara dari pembakaran hutan ini adalah transaksi jual-beli lahan antara elite lokal setempat dengan investor dari kota besar seperti Jakarta.
Para elite lokal ini menyiapkan lahan kosong sesuai pesanan pembeli dengan membakar lahan hijau. Lahan yang kosong, apalagi yang sudah ditanam sawit, nilainya akan jauh lebih tinggi. Mengosongkan lahan dengan membakar adalah cara yang paling mudah dan murah. Dapat dibayangkan, mendapatkan keuntungan besar dengan modal kecil, jelas menjadi bisnis yang sangat menggiurkan.
ADVERTISEMENT
Para elite lokal berjejaring dengan birokrat lokal seperti oknum kepala desa, camat, bahkan hingga tingkat kabupaten dan provinsi. Mereka juga menyewa operator yang mengeksekusi pembakaran hutan. Setelah lahan terjual mahal, keuntungan dibagi-bagikan kepada mereka yang terlibat; birokrat yang memberikan izin, operator lapangan, dan mereka yang melancarkan prosesnya. Investor yang biasanya berwujud korporasi juga lebih untung dengan lahan siap pakai. Tidak mengherankan, jika kita bisa menemukan tanaman sawit tumbuh di atas lahan yang belum lama terbakar.
Ini jelas praktik korupsi yang mengerikan. Salah satu bukti paling kuat dari eksistensi relasi klientelisme di balik pembakaran hutan adalah ditangkapnya mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, yang diduga menerima suap dari pengusaha sawit pada akhir 2014 lalu. Dalam hal ini, Annas berperan penting dalam pengalihfungsian lahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan sawit.
ADVERTISEMENT
Begitu pun kasus korupsi yang menimpa mantan Gubernur Riau lainnya, Rusli Zainal, yang menerima suap karena menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan izin pemanfaatan lahan. Itu baru yang tampak. Andai jejaring itu dilihat lebih dalam, tentu kita akan temukan banyak aktor yang menerima keuntungan.
Di saat yang sama, rakyat Indonesia harus ditimpa kemalangan dengan melemahnya taji KPK dalam memberantas korupsi. Padahal, KPK punya peran sangat besar untuk ‘mengganggu’ relasi transaksional, terutama berkaitan dengan penerbitan izin yang tidak bertanggung jawab. KPK punya peran yang signifikan untuk mengawal dan memastikan bahwa proses tersebut berjalan sesuai dengan koridor hukum.
Misalnya, sejak nota kesepahaman antara KPK dengan kementerian dan lembaga terkait yang tertuang di GNP-SDA, pada sektor kehutanan sudah dilakukan perubahan aturan terkait izin yang diklaim meningkatkan efisiensi. Dalam hal ini, biaya transaksi dalam izin bisa berkurang hingga 60 persen. Dalam hal perkebunan, GNP-SDA juga sudah melakukan review atas pelbagai izin perkebunan secara jelas dan bersih (clean and clear). KPK, melalui kemitraannya dengan pemerintah, telah berkontribusi untuk penyelamatan SDA dan kerugian negara, serta mencegah terjadinya kerusakan alam yang lebih luas.
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Itu baru pada aspek pencegahan. Tentu, di tengah kuatnya jaringan klientelisme di balik pembakaran hutan, aspek penindakan yang menjadi kewenangan otentik KPK sebelum revisi UU KPK memiliki peranan penting. KPK dengan independensi dan keleluasaannya, telah memungkinkan lembaga antirasuah ini menjerat aktor-aktor korup yang membakar hutan. Bahkan, KPK sendiri sudah mulai menyasar keterlibatan korporasi sejak awal penyelidikan. Ini menjadi harapan besar untuk memutus rantai jaringan klientelisme yang biasanya melibatkan korporasi skala menengah dan atas.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan sahnya UU KPK yang baru, harapan akan independensi dan keleluasaannya dalam menindak koruptor di sektor SDA menjadi pupus. Para dalang yang membakar hutan makin leluasa untuk meluaskan jaringan korupnya tanpa ada hambatan yang berarti. Barangkali, mereka tidak akan berhenti sampai hutan di Indonesia benar-benar habis.
Sangat aneh memang. Betapa korupsi struktural dibiarkan tidak diawasi. Sedangkan lembaga seperti KPK yang seharusnya mengawasi dan mengatasi agar tidak terjadi korupsi justru diawasi. Bukankah ini adalah logika aneh yang muncul dari benak para pejabat publik kita? Bukankah ini sama saja membantu koruptor untuk membuat kerusakan hutan lebih luas, dan menciptakan polusi asap yang semakin pekat?
Kita akan mendapatkan keterkaitan yang sangat erat bahwa mereka yang telah melemahkan KPK itu sama seperti para pembakar hutan dan lahan. Dengan kata lain, pelemahan KPK adalah membakar hutan. Mereka, para pejabat publik di legislatif dan eksekutif pusat, juga bertanggung jawab atas kebakaran hutan yang menyesakkan dada di hari-hari mendatang.
ADVERTISEMENT
*Grady Nagara
Manajer Program Next Policy