Memikirkan Pembangunan Indonesia Pasca Covid

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
20 Mei 2022 17:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kehidupan sosial di masa pandemi. Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kehidupan sosial di masa pandemi. Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhirnya pemerintah secara resmi mengizinkan masyarakat untuk tidak memakai masker di ruang terbuka. Kebijakan ini menjadi pelonggaran paling “radikal” setelah aktivitas mudik diperbolehkan kembali. Pelonggaran akan terus dilakukan secara bertahap dengan memerhatikan situasi penularan COVID-19 di lapangan. Menteri kesehatan menengarai apabila lebih dari 30 hari pasca lebaran tidak ada kenaikan positivity rate signifikan, wabah dapat dikatakan sudah terkendali. Terlepas dari peringatan WHO soal penurunan jumlah testing, tampaknya tahun ini Indonesia akan segera menyatakan akhir dari pandemi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan penting selanjutnya: apa yang akan dilakukan setelah periode pelik COVID-19 berakhir? Dengan berharap tidak akan terjadi gelombang ketiga, pemimpin dan masyarakat Indonesia mestilah berpikir mengenai agenda ke depan. Kejadian krisis hebat seperti COVID-19 mungkin akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Bagaimana kita mengambil pelajaran dari krisis multidimensional yang telah dialami bangsa Indonesia dalam dua tahun terakhir?
Para pakar banyak menyinggung soal pentingnya membangun resiliensi sosial: kemampuan beradaptasi dari berbagai perubahan dan gejolak, serta kecepatannya untuk bertumbuh dan bangkit. PBB dalam kertas kebijakannya sudah merekomendasikan agar negara-negara dunia bergegas membangun resiliensi masyarakat dengan merefleksikan pandemi lewat beberapa langkah. Salah satunya yang penting adalah dengan meninggalkan pola business as usual agar lebih ramah lingkungan, memerhatikan keseimbangan ekologi, dan mendorong pembangunan ekonomi inklusif.
ADVERTISEMENT
Kemunculan wabah COVID-19 seolah menjadi mekanisme alamiah bumi dalam menemukan keseimbangannya yang telah dirusak manusia. Tidak lama virus menyebar secara masif pada awal 2020, kebijakan lockdown dan pembatasan mobilitas skala besar diberlakukan. Di masa-masa itu, bumi mulai membersihkan kembali atmosfernya dari polusi manusia. Manusia juga harus berpikir ulang mengenai makanan yang dikonsumsinya. Hal ini mengingatkan kita bahwa banyak penyakit yang sebetulnya bertransmisi dari hewan liar ke tubuh manusia.
Tentu saja ini menjadi tanggung jawab global. Ekonomi yang ditopang kapitalisme tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mendegradasi kehidupan sosial. Mekanisme pasar bebas telah meminggirkan kelompok rentan oleh karena ketidakmampuan mereka untuk berkompetisi. Kelompok masyarakat rentan adalah korban paling terdampak dari ganasnya wabah: kehilangan pekerjaan, merosotnya kualitas hidup dan kesedihan akibat hilangnya anggota keluarga.
ADVERTISEMENT
Pembangunan Sosial Sebagai Langkah Strategis
Babak belurnya sistem kesehatan dan sosial menjadi pengalaman buruk masyarakat Indonesia dalam periode reformasi ini. Pemerintah jelas tidak siap dengan kejadian pandemi yang diawali dengan sikap denial dan kegagalan menahan lebih banyak korban berjatuhan. Kita beruntung karena modal sosial bangsa menjadi jaring pengaman dalam menahan krisis akibat COVID-19. Inisiatif untuk saling membantu hingga maraknya gerakan kerelawanan yang menyemarakkan “warga bantu warga” jamak ditemui di tengah-tengah masyarakat. Gotong royong yang awalnya tampak seperti retorika menjadi aksi nyata saat situasi krisis melanda.
Di tengah situasi yang perlahan (semoga) kembali normal ini, apa yang sudah pikirkan pemerintah Indonesia? Pemerintah memang sangat getol dalam agenda pemulihan ekonomi. Indikatornya tidak jauh dari menggenjot kembali pertumbuhan ekonomi dan menjaganya agar tetap stabil. Kebijakan pelonggaran adalah bukti pemerintah ingin aktivitas perekonomian segera kembali pada sedia kala. Secara naratif ada tiga kunci yang menurut menko perekonomian dapat memulihkan pertumbuhan ekonomi pasca pandemi. Pertama adalah memaksimalkan terbukanya lapangan pekerjaan; kedua adalah mendorong produktivitas tenaga kerja; dan ketiga adalah menciptakan ekosistem bumi yang layak huni.
ADVERTISEMENT
Sejauh amatan saya, belum ada dokumen apapun yang dikeluarkan pemerintah mengenai strategi ataupun arah bangsa Indonesia selepas pandemi dinyatakan usai. Bahkan tampaknya yang terjadi justru mengembalikan pola pemerintahan dan kebijakan layaknya business as usual. Tidak ada strategi pembangunan yang mengarah pada agenda resiliensi agar Indonesia jauh lebih siap dalam menghadapi potensi krisis lagi ke depannya.
Menurut saya, agenda strategis yang perlu dilakukan adalah bagaimana membangun resiliensi dengan memikirkan kembali pembangunan sosial inklusif. Ini bukan soal mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjadikan Indonesia sebagai negara lima besar kekuatan ekonomi dunia semata. Nyatanya pembangunan berbasis kebendaan sewaktu-waktu dapat runtuh. Negara-negara industri maju terporak-poranda akibat krisis ekonomi global dan kejadian wabah adalah buktinya.
Apa yang dimaksud pembangunan sosial di sini adalah memperbaiki kualitas hidup manusia dari dimensi sosialnya. Ini bukan berarti dimensi ekonomi, lingkungan, ataupun hukum diabaikan begitu saja. Sebaliknya, keseluruhan dimensi tersebut justru bertopang dari sosial masyarakat itu sendiri. Aktivitas industri, perdagangan, maupun penegakan hukum bersumber dari kehidupan sosial. Dalam keadaan wabah COVID-19 yang penularannya tersebar masif, kita dapat melihat secara nyata bagaimana dimensi sosial bekerja dibanding semata perekonomian.
ADVERTISEMENT
Pembangunan sosial setidaknya melibatkan tiga elemen dasar yaitu struktur, kultur, dan proses sosial (Wirutomo, 2013). Ini bukan semata retorika tetapi dapat diwujudkan dalam aksi nyata. Apa yang selama ini dipikirkan pemerintah hanyalah bahwa pembangunan sosial diwujudkan dengan penyediaan anggaran (input) untuk sektor-sektor sosial seperti pendidikan, kesehatan, agama, dan sebagainya (output). Kendati penting, pola pikir pembangunan seperti itu masih parsial dan tidak menyentuh akar persoalan. Pembangunan dengan memerhatikan tiga elemen dasar tersebut pada gilirannya akan mendorong resiliensi itu sendiri.
Apa yang dimaksud struktur di sini adalah relasi-relasi sosial antara warga dengan warga termasuk warga dengan pemerintah. Pembangunan pada aspek struktur artinya kebijakan pemerintah dalam setiap bentuknya memerhatikan inklusivitas dan tidak merugikan kelompok sosial tertentu. Mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi mengorbankan kelompok masyarakat artinya mendegradasi pembangunan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kultur, pembangunan mestilah memerhatikan kekayaan nilai dan norma di dalam masyarakat. Indonesia adalah negara dengan identitas sosial yang sangat beragam. Penghargaan terhadap keragaman bukan hanya lewat simbol-simbol seperti presiden mengenakan baju adat tertentu pada seremoni kenegaraan. Pembangunan sosial dari elemen kultural mengharuskan pemerintah untuk “mengeksploitasi” budaya untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Dari kultur gotong royong, misalnya, bagaimana pemerintah memanfaatkannya lewat membangun kolaborasi dengan keseluruhan stakeholder terkait. Hal ini akan mendorong kegiatan gotong royong bukan hanya menjadi tradisi berharga semata, melainkan juga melembagakannya sehingga dampak positifnya jauh lebih besar.
Sementara elemen proses sosial mensyaratkan adanya interaksi yang begitu intens di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah mesti menyediakan ruang publik yang setara dan tidak mendominasi. Itu artinya, masyarakat ikut berpartisipasi menentukan bagaimana pembangunan dijalankan. Bagaimana warga di dalamnya terlibat dalam menentukan infrastruktur apa yang perlu dibangun, aktivitas perekonomian macam apa yang diharapkan, dan bagaimana mereka menemukan kebahagian hidup secara bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Perilaku buruk masyarakat juga dapat dientaskan dengan memerhatikan elemen proses sosial. Pemerintah dapat membangun dialog bersama warga. Saling berbagi untuk mengedepankan kepentingan bersama. Adanya dialog intens dalam proses sosial artinya mengaktivasi warga untuk dapat lebih memerhatikan kehidupan kolektif. Kehidupan sosial akan menjadi lebih baik karena secara perlahan kebiasaan positif semakin tertanam. Banyak orang semakin sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, memilah sampah, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat sendiri.