Menggugat Pasal Penghinaan dalam RUU KUHP

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
24 Juni 2021 9:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Warganet Indonesia adalah yang paling tidak sopan, begitu menurut survei Microsoft beberapa waktu lalu – sesuatu yang bertolak belakang dengan ciri khas masyarakatnya yang santun di dunia nyata. Memang cukup mudah melihat bagaimana perilaku barbar warganet Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan pendapat yang berlainan. Jejaring sosial digital memungkinkan setiap orang untuk menyampaikan opini pribadi, termasuk menghina pemimpin mereka sendiri secara langsung.
ADVERTISEMENT
Tampaknya ini menjadi alasan bagi DPR dalam RUU KUHP yang sedang dibahas, bahwa menghina presiden/wakil presiden dan DPR melalui media sosial dapat dibui. Dalihnya, menjaga marwah karena mereka adalah lambang negara.
Agaknya para anggota DPR perlu berkaca dulu, apa yang harus mereka lakukan sebelum berbicara tentang marwah lambang negara. Saya mulai pertama-tama dari bagaimana para anggota DPR tersebut dapat “menjadi anggota DPR”.
Demokrasi Indonesia menganut sistem perwakilan, yang instrumennya dimanifestasikan dalam pemilu. Masyarakat memilih para calon anggota dewan yang diajukan partai politik tiap periode pemilu berlangsung. Kita harus ingat bahwa dalam demokrasi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan pada mulanya. Melalui pemilu, rakyat menitipkan kekuasaannya kepada anggota DPR yang mereka pilih. Oleh sebab itu, anggota DPR (maupun presiden/wakil presiden) hakikatnya hanyalah perwakilan dari kekuasaan rakyat itu sendiri, bukan pemegang utama kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Tentu dengan logika ini, menjadi absurd ketika anggota DPR ingin menjaga marwahnya dari segala bentuk penghinaan di media sosial yang dilakukan rakyatnya. Seolah-olah anggota DPR dan apa yang mereka klaim sebagai “lambang negara” memiliki kekuasaan di atas konstituennya. Padahal, rakyatlah yang lebih berkuasa di atas semua lambang negara tersebut, terutama anggota DPR. Ini adalah esensi dari sistem negara demokrasi.
Hal kedua yang menjadi kritik penting bagi rencana pasal penghinaan tersebut adalah, kenyataan bahwa demokrasi Indonesia terdegradasi. Indeks demokrasi yang dilaporkan Economist Intelligence Unit (EIU) baru-baru ini menunjukkan bahwa skor Indonesia tahun 2020 berada di angka 6,3, atau peringkat ke-64 dunia. Skor ini adalah titik terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Meskipun data BPS menunjukkan ada kenaikan dari indeks demokrasi tahun 2018 ke 2019, namun sejumlah variabel dan indikator yang berkenaan dengan kebebasan warga negara justru menurun. Kebebasan berkumpul dan berserikat menurun sebanyak 4,32; begitupun variabel kebebasan berpendapat menurun 1,88. Jika dilihat dari aspek indikator, sepertinya keadaan tersebut diakibatkan oleh ancaman penggunaan kekerasan aparat, di mana variabel kebebasan berserikat dan berpendapat mengalami penurunan.
Kenyataan kuantitatif yang diungkap BPS tersebut seharusnya menjadi cerminan sebelum pasal penghinaan melalui media sosial dimasukkan dalam RUU KUHP. Apabila kebebasan sebagai aspek penting demokrasi menurun karena kekerasan aparat pemerintah, bukankah pasal tersebut menjadi kontraproduktif? Hadirnya pasal penghinaan di media sosial tersebut justru semakin melegitimasi tindakan kekerasan aparat untuk membungkam kebebasan.
ADVERTISEMENT
Sebelum pasal penghinaan di media sosial tersebut diberlakukan, kebebasan berpendapat warga negara Indonesia sudah bermasalah. Negara tampak menutup telinga dari segala kritik, dengan mengerahkan para pendengung berbayar (buzzeRp) yang melakukan opinion blocking terhadap suara-suara oposisi. Sudahlah kritik enggan didengar, sekarang justru kebebasannya dibatasi melalui perangkat hukum.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa “kritik itu boleh, tapi jangan kebablasan sampai menghina”. Saya memiliki dua jawaban untuk poin ini. Pertama, sepanjang sejarah demokrasi di dunia, kritik itu selalu bernada keras dan cenderung mengganggu pendengaran para penguasa. Alasannya agar pemangku kebijakan mendengar, dan mau menerimanya. Semakin otoriter penguasa, semakin keras kritik yang diluncurkan, termasuk di media sosial. Coba saja lihat gerakan musim semi Arab 2011 silam, kritik tajam itu hadir secara gencar di Facebook dan Twitter karena jengah dengan raja-raja Timur Tengah yang otoriter sedangkan rakyatnya banyak terjatuh miskin.
ADVERTISEMENT
Kedua, pasal tersebut adalah pasal karet, yang sejatinya sama seperti UU ITE. Istilah “menghina kekuasaan umum atau lambang negara” menjadi tidak jelas batas-batasnya, sementara kritik itu tidak dapat dilepaskan dari sindiran-sindiran keras. Bagaimana membedakan penghinaan dengan satire, misalnya. Sedangkan satire sendiri menjadi bagian inheren dalam kritik politik.
Oleh karena itu, pasal penghinaan di media sosial sejatinya bukan untuk menjaga marwah lambang negara. Sebaliknya, pasal tersebut menjadi bukti arogansi penguasa, yang tidak mau mendengarkan keluhan rakyat sebagai pemilik kekuasaan sejati di dalam demokrasi.
Yang Lebih Penting dari Pasal Penghinaan
Apa yang seharusnya dilakukan anggota DPR dalam kerangka wewenangnya untuk menguatkan demokrasi?
Jawaban atas pertanyaan tersebut harus dimulai dari esensi paling mendasar dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Sejak lama ilmuwan politik seperti Gabriel Almond (aliran behavioralist) menyebut bahwa partisipasi politik memiliki bentuk yang luas. Bukan hanya ikut dalam pemilu, melainkan juga turut aktif mengontrol penguasa. Partisipasi dalam mengontrol penguasa menjadi penting karena rakyat memberikan mandatnya kepada para penguasa tersebut. Instrumen kontrol rakyat tersebut tidak lain adalah kritik.
ADVERTISEMENT
Studi-studi ilmu politik beberapa dekade terakhir mempersoalkan perwakilan dalam demokrasi. Dalam konteks Indonesia kira-kira pertanyaannya seperti ini: memangnya para anggota DPR benar-benar mewakili rakyat? Kenyataannya justru ada keterputusan (disconnection) antara anggota dewan dengan konstituennya, yang membuat konsep perwakilan ini problematis.
Pada dasarnya, problematika konsep perwakilan dalam demokrasi itu kompleks. Namun untuk kepentingan artikel ini, saya beranggapan bahwa jembatan penghubung antara rakyat dengan penguasa adalah partisipasi. Tidak hanya saat pemilu, partisipasi rakyat hadir dalam setiap perumusan kebijakan negara, yang proses legislasinya dilakukan oleh DPR.
Saat ini kita tidak dapat ikut terlibat dalam perumusan kebijakan seperti RUU. Kita tahu ada pasal kontroversial dalam RUU KUHP melalui media. Itupun tidak memiliki saluran formal agar masukan-masukan masyarakat dapat diakomodasi. Alih-alih mengontrol perilaku warga negara di internet, seharusnya anggota DPR memanfaatkannya untuk memberikan akses partisipasi politik bagi warga negara. Sudah bukan hal baru praktik demokrasi digital dilembagakan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Ada baiknya kita belajar dari pengalaman Brasil. Pada 2009, lembaga legislatif di sana meluncurkan e-Democracia dalam format website. Tujuannya adalah untuk menghadirkan transparansi, memperdalam interaksi dengan konstituen, termasuk memberikan edukasi tentang tugas dan wewenang lembaga legislatif. Sambutan civil society di sana sangat positif mengingat Brasil memiliki sejarah kelam akan praktik korupsi.
e-Democracia sendiri diatur dalam tiga area: komunitas virtual untuk isu-isu tematik, ruang bebas, dan Wikilegis. Dalam komunitas virtual, warga Brasil dapat turut serta dalam forum daring dan berdiskusi langsung dengan anggota dewan, termasuk menghadiri rapat-rapat penting yang berkenaan dengan proses legislasi.
Ada 17 komunitas virtual yang mencakup beragam tema seperti korupsi, olahraga, hingga siber-kriminal.
Atas kesuksesan e-Democracia, pemerintah Brasil membuat semacam laboratorium inovasi yang bernama LabHacker. Nantinya, inovasi kebijakan ditelurkan melalui proses kolaborasi antara parlemen, pihak perancang atau pengembang, dan civil society. Intinya, kehadiran e-Democracia dan LabHacker ini berusaha memecah masalah keterwakilan, dengan menghadirkan akses yang luas dan transparan bagi warga negara untuk berpartisipasi secara langsung.
ADVERTISEMENT
Pada 2019 lalu, DPR meluncurkan aplikasi berbasis mobile bernama DPR NOW. Mereka mengklaim bahwa aplikasi tersebut merupakan upaya untuk menjembatani anggota dewan dengan masyarakat, disamping melalui akun-akun resmi di platform media sosial.
Nyatanya justru aplikasi tersebut sama sekali tidak memberikan akses partisipasi bagi masyarakat. Selain informasi yang ditampilkan hanyalah pemindahan dari website, banyak yang mengeluh laporan warga tidak ada tindak lanjutnya. Tidak ada sarana bagi warga negara untuk ikut menyampaikan kritik dan masukan kepada tiap-tiap RUU sebagaimana pengalaman Brasil. Tetap saja ada kebijakan yang jauh dari nilai transparansi. RUU omnibus Cipta Kerja yang ditentang banyak pihak saja, anggota DPR enggan membahas bersama dengan warga, bahkan ada kesan dikerjakan secara tertutup.
ADVERTISEMENT
Padahal inisiatif seperti yang dilakukan Brasil sangat murah. Tidak seperti membangun infrastruktur yang menelan dana besar. Bukan hal yang mustahil untuk menerapkan metode Brasil, tentu disesuaikan dengan konteks lokalitas Indonesia.
Jika anggota DPR mengatakan akan mengokohkan demokrasi Indonesia, bagi saya, itu tidak lain hanyalah gimmick yang sama sekali tidak ada maknanya.