Menyudahi Kepemimpinan Populis

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
16 April 2020 16:05 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo mengenakan masker dan sarung tangan saat tinjau Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo mengenakan masker dan sarung tangan saat tinjau Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
Siapkah pemimpin politik kita bergelut dengan pandemi Corona virus disease 2019 atau COVID-19 pasca ditetapkannya sebagai bencana nasional? Sistem politik seperti apa yang dianggap lebih siap untuk menangani krisis yang terjadi saat ini. Apakah sistem demokrasi? Atau justru sistem otoritarian?
ADVERTISEMENT
Berkaca dari pengalaman China saat outbreak SARS 2002-3 silam, sistem otoritarian efektif digunakan dalam menangani wabah. Sebaliknya, kepemimpinan demokrasi di Taiwan pada saat yang sama justru gagal. Sistem otoritarian dianggap memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem demokrasi. Pertama, sentralisasi pengambilan keputusan sehingga memutus inefektivitas dan miskoordinasi dalam birokrasi. Kedua, dukungan publik yang kuat terhadap pemerintah. Ketiga, kontrol media massa yang kuat dari pemerintah guna menghindari histeria massa yang mengganggu.
Demikian yang diungkapkan Jonathan Schwartz dalam Journal of Chinese Political Science edisi September 2012. Schwartz meyakini bahwa prinsip-prinsip negara otoritarian memiliki peluang yang lebih besar untuk berhasil melawan pandemi. “Authoritarian advantage” kata Schwartz, yang tidak dimiliki oleh negara-negara demokratis.
Namun, keberhasilan Taiwan hari ini, dan juga Korea Selatan hingga Jerman dalam menangani pandemi COVID-19 membuktikan bahwa sistem otoritarian tidak melulu berbanding lurus dengan success story sebuah negara. Bahkan pemimpin Korea Selatan meyakini bahwa kunci keberhasilan negaranya dalam melawan pandemi adalah keterbukaan informasi dan data, yang hanya dimiliki oleh negara demokratis.
ADVERTISEMENT
Dari sana kita dapat ambil kesimpulan baru: sistem politik tidak berpengaruh langsung terhadap keberhasilan suatu negara dalam menghadapi pandemi. Ada satu faktor lagi yang jauh lebih penting: tipe kepemimpinan.
Sistem otoritarian yang dianut Singapura terbukti berhasil melawan pandemi, namun di Iran dengan sistem yang sama justru babak belur. Amerika Serikat, negara demokrasi terbesar di dunia juga tidak kalah babak belurnya. Indonesia, jika terlalu kasar untuk disebut babak belur, harus diakui bahwa pemimpin kita tampak kewalahan menangani pandemi.
Kasus infeksi terus meningkat setiap hari. Rasio kematian dinobatkan sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Bahkan para pakar epidemiologi melalui modelling yang dilakukan, meyakini jumlah kasus di Indonesia sesungguhnya jauh lebih besar dibanding data resmi yang dilaporkan.
ADVERTISEMENT
Dari aspek sosial-ekonomi, kita dihantui dengan lonjakan pengangguran akibat PHK massal. Sudah puluhan ribu pekerja yang dirumahkan. Lembaga think tank Next Policy memprediksi peningkatan pengangguran nasional sebesar tiga juta jika selama empat bulan sebagian besar aktivitas perekonomian terhenti. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terancam jatuh, bahkan berpotensi minus.
Kekacauan ini terjadi karena krisis kepemimpinan. Sekalipun Indonesia menganut sistem demokrasi, layaknya Amerika Serikat, kita telah terjerembab dalam krisis yang semakin dalam.

Kegagalan Pemimpin Populis

Telah banyak studi politik yang berbicara tentang populisme; entah dalam bentuk gerakan massa maupun pemimpin populis itu sendiri. Cas Mudde dalam artikel The Populist Zeitgeist tahun 2004 menyebutkan dua karakteristik populisme. Pertama adalah anti kemapanan, dan yang kedua adalah apa yang disebut sebagai kehendak rakyat.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, pemimpin populis akan bertindak seolah-olah mewakili kepentingan rakyat: Apa yang dianggap baik maupun buruk oleh rakyat. Brexit di Inggris, serta deglobalisasi dan politik rasial di Amerika Serikat adalah contoh kebijakan populis yang semata-mata mementingkan rasa puas orang banyak dibanding implikasi rasionalnya.
Presiden Donald Trump adalah contoh nyata keburukan pemimpin populis dalam menangani pandemi. Sejak awal, Trump bersikap denial ketika wabah COVID-19 muncul. Akibatnya Amerika Serikat kelabakan ketika kasus positif meningkat tajam. Pun, Trump masih enggan disalahkan, dan sering menyebut dengan kata rasis terkait COVID-19: “Virus China” -- Trump selalu menyalahkan China.
Tidak hanya itu, pemimpin populis juga cenderung mengambil kebijakan ugal-ugalan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dengan percaya diri meyakini bahwa herd immunity adalah solusi. Padahal, konsep itu sudah ditentang habis-habisan oleh kalangan ilmuwan. Lebih ajaib lagi di Iran, presiden Hassan Rouhani gembar-gembor mengaitkan COVID-19 dengan konspirasi global.
ADVERTISEMENT
Kegagalan pemimpin populis, mengutip Jonatan Lassa dan Miranda Booth (2020), bersumber pada: [1] bias optimisme, [2] kepemimpinan yang ambigu, dan yang lebih mengerikan yaitu [3] anti-sains. Sialnya, ketiga-tiganya terjadi di Indonesia.
Pertama adalah bias optimisme. Tali Sharot dalam majalah Current Biology edisi Desember 2011 menyebut bahwa bias optimisme adalah sikap optimis yang berlebihan dan mengabaikan kemungkinan negatif yang sama besar potensinya. Para pemimpin populis tidak menggunakan kemampuan kognitif dengan mengabaikan kemungkinan terburuk pandemi, bahkan meremehkan. Kepemimpinan Jokowi adalah contoh nyata bias optimisme dengan menjadikan pandemi sebagai guyonan. Bahkan kita masih disuruh untuk berpikir positif padahal dampak pandemi ini kian memburuk.
Kedua adalah kepemimpinan yang ambigu. Kacaunya koordinasi pusat-daerah, miskomunikasi antarpemangku kebijakan, hingga perilaku pemimpin yang tidak tepat terus mewarnai di tengah krisis pandemi. Dari awal terlihat kebingungan yang dihadapi kepala daerah akibat ketidaksiapan pusat, komunikasi menteri yang saling bertentangan. Bahkan baru-baru ini presiden Jokowi sendiri harus terlibat pada kegiatan yang sebetulnya cukup dilakukan ketua RT seperti bagi-bagi sembako.
ADVERTISEMENT
Ketiga yang paling mengerikan adalah anti-sains. The Jakarta Post menyebutnya dengan judul yang menohok: Jokowi vs The Scientist. Ada kecenderungan di mana pemerintah justru ingin menghambat suara peneliti untuk melindungi agenda politik dan ekonomi di atas keselamatan warganya. Tidak hanya itu, pemerintah tampak menyangkal masukan para ilmuwan dan bersikukuh dengan apa yang sedang dilakukannya. Menganggap langkah yang diambil adalah baik namun tidak berbasis pada dasar ilmiah yang kuat.
Di tengah-tengah krisis kepemimpinan, pemimpin politik kita justru masih sempat-sempatnya menyalahkan demokrasi. Wacana darurat sipil dan pasal penghinaan presiden dimunculkan untuk membungkam suara kritis. Para influencer media sosial disewa untuk melindungi citra populis presiden tanpa mengindahkan betapa bahayanya kebijakan yang sedang diambil. Serta yang paling menyedihkan adalah rendahnya transparansi data dengan dalih mencegah kepanikan massal. Padahal anggapan tersebut lagi-lagi tidak ada dasar ilmiahnya.
ADVERTISEMENT
Tidak ada jalan lain. Presiden Jokowi harus memanfaatkan sistem demokrasi ini untuk mengajak partisipasi masyarakat. Menggandeng civil society, terutama insan akademis untuk mencari jalan keluar dari krisis. Jika tidak, penetapan bencana nasional tidak akan memiliki arti apa pun.