Omong Kosong Protokol Kesehatan

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
5 Januari 2021 10:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasangan menggunakan masker.
 Foto: Jub-Job
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasangan menggunakan masker. Foto: Jub-Job
ADVERTISEMENT
Kita barang tentu sudah jamak tahu bahwa mengadakan acara atau aktivitas yang melibatkan banyak orang itu diperbolehkan, asal mematuhi "protokol kesehatan". Sejak pandemi muncul, frasa "protokol kesehatan" menjadi mantra ajaib yang meruntuhkan sebuah tembok besar. Kita khawatir bahwa virus akan menyebar, namun semua itu dapat ditoleransi ketika mantra "protokol kesehatan" didengungkan.
ADVERTISEMENT
Memang benar bahwa protokol kesehatan (selanjutnya kita sebut saja "prokes") adalah jalan tengah untuk tetap beraktivitas dengan risiko tertular yang lebih rendah. Memakai masker dengan benar, menjaga jarak, dan rutin mencuci tangan adalah kunci prokes. Tapi kita harus paham bahwa menggunakan prokes adalah selemah-lemahnya upaya pencegahan transmisi virus.
Satu-satunya jalan yang mungkin untuk memperlambat transmisi virus secara efektif adalah berdiam di rumah. Namun sendirian saja tidaklah cukup. Ia harus dilakukan dengan berjemaah. Semua orang serentak berdiam diri di rumah masing-masing. Sekiranya ada yang hendak keluar rumah, itupun harus didasarkan pada pertimbangan kedaruratan, serta dengan penerapan prokes yang ketat: sejak keluar hingga kembali pulang.
Nampaknya untuk kasus Indonesia, keluar rumah adalah sesuatu yang darurat. Tidak bisa tidak untuk tetap berdiam diri di rumah.
ADVERTISEMENT
Alasan yang paling utama adalah ekonomi. Semua orang butuh keluar rumah untuk bekerja. Sebetulnya ini karena pemerintah ogah menanggung kehidupan mereka selama mengkarantina diri. Tidak cukup anggaran katanya. Negara hanya hadir melalui bungkusan bantuan sosial, itupun masih harus dikorupsi dulu. Jadi untuk kedaruratan karena alasan ekonomi, itu masih bisa diterima.
Tampaknya jenuh di rumah menjadi faktor kedaruratan lainnya yang membuat banyak orang harus pergi keluar. Orang-orang berduit mulai membelanjakan uangnya di pusat perbelanjaan, kafe, restoran, dan berbagai sentra hiburan. Coba saja lihat, berapa banyak kendaraan asal Jakarta yang melaju ke kota-kota wisata. Asal ada waktu liburan yang sedikit panjang, kerumunan terjadi di mana-mana. Alasannya karena darurat jenuh di rumah. Butuh rekreasi dan hiburan, agar tidak stres. Bukankah tidak stres justru membuat badan sehat? Lalu imunitas tubuh menjadi kuat? Kalau imun kuat, virus corona bukanlah apa-apa. Begitu katanya.
ADVERTISEMENT
Ada juga keluhan para orang tua yang enggan mengurus anak di rumah seharian. Bagi orang tua yang malas seperti itu, adalah darurat bagi mereka agar sekolah segera dibuka secara tatap muka. Anak-anak di rumah tampaknya menjadi sumber tekanan hidup bagi para orang tuanya. Karena anak adalah sumber stressor, membuat banyak orang tua yang sakit. Imunitas melemah karena tingkat kebahagiaan turun. Sebaliknya kalau anak kembali ke sekolah, para orang tua dapat melepas beban pendidikan anak, karena tugas mereka di rumah hanya memberikan makan dan memarahi kalau-kalau anak berperilaku nakal di luar.
Tapi untuk kondisi anak-anak yang tidak memiliki akses internet dan telepon pintar karena orang tua mereka tidak mampu, rasa-rasanya dapat kita maklumi. Di kota besar saja, masih banyak yang kesulitan akses internet, terutama mahalnya biaya kuota. Sekalipun ada bantuan kuota dari pemerintah, sayangnya tidak semua mendapatkannya. Pun jika sudah ada kuota, untuk daerah-daerah tertentu yang tidak sedikit, masih mengalami susah sinyal.
ADVERTISEMENT
Katanya making Indonesia 4.0. Banyak pejabat cuap-cuap soal industri digital, inovasi, dan Indonesia four point zero, tapi untuk urusan bandwidth saja empot-empotannya minta ampun. Ingin mendorong inovasi digital, tapi mentalnya masih kolonial: yang ada di pikirannya cuma soal pengadaan.
Mohon maaf jika ke mana-mana. Saya hanya ingin katakan bahwa segala bentuk kedaruratan itu memiliki jalannya atas nama prokes. Sekolah boleh dibuka asal patuh prokes. Tempat wisata, pusat perbelanjaan, dan sentra hiburan boleh dibuka asal taat prokes. Begitupun pilkada (oligarki) yang maha darurat menurut pemerintah karena urusan hak konstitusi warga negara, boleh diselenggarakan asal ketat penerapan prokes. Padahal, prokesnya sendiri kedodoran di mana-mana.
Buat apa kita takut dengan virus? Toh tiap hari kita hidup berdampingan dengan banyak penyakit. Jangan menakut-nakuti masyarakat dengan corona! Begitu kata sebagian orang, termasuk di dalamnya ada segelintir selebriti yang gencar mempromosikan bahaya konspirasi COVID-19 tanpa dasar ilmiah.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba saya teringat dengan selebriti gblk yang melakukan rapid test terhadap sambal cireng. Katanya untuk menguji keakuratan alat tes, yang mana jika positif, berarti menguatkan argumennya bahwa bahaya virus corona adalah sesuatu yang berlebih-lebihan untuk ditakuti.
Ah, sorry, saya jadi ke mana-mana lagi. Tidak tahan bagi saya rasanya untuk memaki orang-orang yang meminjam istilah Rocky Gerung, dungu, di negara ini.
Kembali lagi soal prokes, yang nyatanya kendor di mana-mana. Spanduk imbauan untuk memakai masker tersebar di mana-mana, namun tetap saja banyak yang abai memakai masker. Sekalipun ada yang menggunakan masker, hidungnya masih nongol. Ada juga yang menggunakan masker untuk menutupi dagunya. Ini unik sekali, seolah manusia itu batuk-batuk lewat dagu.
ADVERTISEMENT
Kalau prokes soal menjaga jarak kedodorannya lebih parah lagi. Jaga jarak adalah sesuatu hal yang mustahil dilakukan. Di tempat-tempat umum yang memang dasarnya sulit untuk menjaga jarak, jamak kita temui betapa kedodorannya pasal physical distancing. Untuk tempat-tempat yang semestinya jarak dijaga saja, masih banyak yang abai. Sudahlah tidak menjaga jarak, tidak memakai masker pula.
Apakah kedodorannya prokes adalah soal kesadaran masyarakat? Menurut saya tidak sesederhana itu. Masyarakat memang bertindak atas dasar kesadaran, tapi tindakan mereka dapat dihambat oleh perangkat aturan. Dalam situasi ini pemerintah harus benar-benar hadir. Kenyataan yang terjadi justru masyarakat disalahkan atas lonjakan kasus yang sangat tinggi dengan dalih melanggar prokes. Kata seorang pejabat, masyarakat sedang mengubur dirinya sendiri (padahal mereka yang sedang mengubur warganya). Narasi tentang prokes menjadi dalih untuk lari dari tanggung jawab, alias tidak mau disalahkan.
ADVERTISEMENT
Sekarang kapasitas rumah sakit sangat sempit untuk menampung korban corona. Tapi ada saja pejabat politik yang sebetulnya ingin sekali saya sebut namanya, menuduh rumah sakit telah berbuat nakal. Ia lupa bahwa pernyataannya menimbulkan persepsi buruk masyarakat terhadap tenaga kesehatan. Banyak orang menuduh nakes meng-covid-kan pasien untuk mendulang keuntungan. Mana mungkin meng-covid-kan pasien sedangkan kenyataan lapangan justru rumah sakit sangat penuh.
Ah, pokoknya protokol kesehatan itu jadi omong kosong belaka.