Big Data Mengungkap Pornografi

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
5 Juli 2020 22:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oleh mediaindonesia.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh mediaindonesia.com
ADVERTISEMENT
Mendiskusikan seks di Indonesia adalah hal yang tabu. Terlebih negara kita cukup religius dengan populasi muslim yang besar. Ketaatan pada nilai-nilai agama seharusnya membuat sebagian besar orang Indonesia tidak akan tertarik pada seks karena dekat dengan perbuatan dosa. Bagi masyarakat religius, seksualitas adalah perbincangan orang dewasa yang telah memiliki ikatan pernikahan. Topik tentang seks sangat tertutup rapat yang membuat masyarakat religius cenderung malu membahasnya.
ADVERTISEMENT
Kesulitan untuk mengungkap hal tersebut dialami oleh Shereen El Feki, jurnalis The Economist yang menerbitkan hasil riset terkait gairah seksual dan intimasi di Timur Tengah dalam buku berjudul Sex and the Citadel (2013). Timur Tengah, kawasan dengan kultur Islam yang sangat kuat, nyatanya menutup rapat perbincangan tentang seksualitas. Betapa sulitnya kata El Feki, mencari tahu frekuensi hubungan seksual, apakah pernah berhubungan intim di luar nikah, dan seberapa sering menggunakan kondom saat bercinta. Jika pertanyaan itu diberikan pada masyarakat Indonesia, sekalipun data dirahasiakan, sangat sulit untuk mendapatkan hasil yang valid dan representatif.
Mari kita lihat sedikit fakta relasi agama dan seks. Dalam artikel berjudul God, I can’t stop thinking about sex! (2018), Yaniv Efrati menunjukkan bahwa di Israel, lebih banyak remaja religius yang memiliki perilaku seksual kompulsif (Compulsive Sexual Behaviour atau CSB) dibanding para remaja yang lebih sekuler. CSB artinya obsesi atau dorongan yang berlebih terhadap fantasi seksual, sehingga mengganggu kehidupan sosial seseorang (Kafka, 2010). Sederhananya, CSB dapat diartikan sebagai hiperseks. Dalam studinya, Efrati juga membuktikan bahwa gangguan mental seperti depresi dan kecemasan lebih banyak dialami remaja religius dibandingkan yang tidak.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi karena kultur religius cenderung menganggap fantasi seksual, terlebih hiperseks, adalah sesuatu yang memalukan. Orang-orang religius yang mengekspresikan fantasi seksualnya dan diketahui publik akan merasa malu dan bersalah. Adanya ketakutan terhadap hal itu, membuat masyarakat religius akan menutup rapat perilaku seksualnya, meskipun di sisi lain justru menimbulkan rasa ingin tahu tentang seks yang lebih besar. Adagium sederhananya: ‘semakin dilarang, semakin penasaran’. Karena topik seksualitas adalah sesuatu yang tersembunyi, orang-orang justru berfantasi lebih liar. Barangkali inilah jawaban mengapa hiperseks lebih banyak terjadi di kalangan religius dibandingkan yang tidak, merujuk pada hasil studi Efrati tersebut.
Kultur religius dan adat ketimuran yang lebih mengedepankan sopan dan santun di Indonesia juga menyimpan fakta menarik terkait perilaku seksual masyarakatnya. Saya ambil contoh salah satu perilaku seksual yang dianggap perbuatan dosa, yaitu onani dan masturbasi. Pada dasarnya kedua kata ini memiliki pengertian yang sama, yaitu usaha untuk mencapai puncak gairah dengan merangsang diri sendiri (self-orgasm). Hampir tidak mungkin untuk mengetahui berapa kali orang Indonesia melakukan onani atau masturbasi. Andai pertanyaan tersebut disurvei lewat sampel yang acak, rasanya terlalu sulit untuk mendapatkan jawaban yang absah. Sekali lagi karena orang pasti malu mengungkapnya, apalagi onani atau masturbasi adalah perbuatan dosa.
ADVERTISEMENT
Tapi jika kita ketik kata ‘onani’ dan ‘masturbasi’ di Google Trends, kita akan menemukan fakta bahwa dua kata tersebut cukup populer dicari orang di internet. Ketika saya mencari tahu popularitas kata kunci ‘onani’ sejak awal tahun hingga 4 Juni 2020, saya menemukan kata kunci berkaitan yang paling populer adalah ‘bolehkah onani untuk menghindari zina’. Popularitas kata kunci spesifik yang bahkan mengaitkannya dengan zina menunjukkan bahwa banyak orang yang ingin melakukan onani, namun mencari pembenaran atas perbuatannya di internet. Barangkali anggapan mereka, zina adalah perbuatan dosa yang harus dihindari, maka bukankah melakukan onani dengan tujuan menghindari zina seharusnya diperbolehkan dalam agama?
Untuk kata kunci ‘masturbasi’ agak sedikit berbeda, tampaknya karena terminologi ini disematkan bagi perempuan. Tentu saja pencarian yang berkaitan dengan agama sangat populer. Ada kata kunci seperti, ‘apakah masturbasi itu dosa menurut alkitab’, ‘hukum masturbasi bagi muslimah yang belum menikah’, dan ‘masturbasi yang dibolehkan islam’. Lebih menarik lagi, ada yang mencari tutorial melakukan masturbasi di internet dengan mengetikkan kata kunci ‘cara masturbasi yang benar’.
ADVERTISEMENT
Fakta menarik lain terkait religiositas adalah popularitas dua kata kunci tersebut hampir selalu lebih tinggi pada saat bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya. Saya menemukan fakta tersebut saat mengambil rentang waktu sepuluh tahun terakhir. Tren popularitas kata kunci ‘onani’ selalu naik pada bulan Ramadhan, dan ini terjadi secara konsisten sejak 2012 hingga tahun ini, meskipun tahun 2011 tidak terjadi pada bulan Ramadhan (puncak tren di Desember). Begitupun untuk tren popularitas kata kunci ‘masturbasi’, juga hampir selalu lebih tinggi pada bulan Ramadhan dibanding bulan lain.
Mengapa informasi tabu tersebut justru lebih populer di bulan Ramadhan yang seharusnya orang-orang jauh lebih religius? Tentu bukan sekonyong-konyong karena masyarakat lebih religius saat bulan Ramadan kemudian ingin melakukan onani atau masturbasi. Dugaan saya karena Ramadhan adalah momen sakral, sehingga, membuat orang-orang yang terbiasa melakukan onani atau masturbasi mencari tahu hukum melakukan aktivitas tersebut di bulan puasa. Dengan kata lain, Ramadhan telah mengungkap perilaku seksual orang Indonesia sesungguhnya. Internet adalah saksi bisu yang menyibak laku seksual masyarakat Indonesia secara lebih jujur.
ADVERTISEMENT
Fantasi terhadap Perempuan Berhijab
Di Instagram, cukup banyak akun perempuan muslimah berbaju syar’i (berhijab panjang dan bergamis) dengan jumlah followers puluhan ribu. Sudah pasti mereka memiliki paras yang cantik menurut standar warga Instagram. Para muslimah itu mengenakan hijab warna-warni, dipadu pencahayaan yang memukau, dan dibingkai dalam potret berkualitas tinggi. Terkadang para muslimah itu meletakkan caption Instagram berupa kata-kata bijak nan puitis, terkadang kutipan ayat atau hadist, maupun sekadar mempromosikan produk hijab tertentu.
Saya tertegun saat melihat kolom komentar. Banyak pengguna Instagram dari kalangan adam yang melontarkan kata-kata menggoda seperti, ‘ukhti cantik sekali’, ‘cantik banget sih kamu’, ‘Masya Allah, inilah bidadari syurga’, atau ‘nikah yuk sama aku’. Kalimat-kalimat itu biasanya dilontarkan untuk pemilik akun yang memakai hijab panjang, sehingga kata-kata yang lekat dengan identitas Islam seperti ‘ukhti’ atau ‘bidadari syurga’ dijadikan sebagai cara menggoda. Pada beberapa akun perempuan dengan hijab yang lebih pendek, komentar seperti cantik dan manis lebih jamak dilontarkan. Bahkan lebih ekstrem, saya menemukan ada komentar ‘enak banget buat bahan bacol neng’, atau ‘crot dulu ah’. Kata ‘bacol’ dan ‘crot’ sendiri sudah jauh lebih spesifik pada ungkapan pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Saya sebut kata-kata di atas sebagai menggoda bukannya pujian, karena jika kalimat itu dilontarkan di ruang publik, adalah bentuk catcalling. Tentu saja catcalling sendiri sudah dikategorikan sebagai bagian dari pelecehan seksual. Untuk apa laki-laki asing menyebut cantik dan manis kepada seseorang yang tidak dikenal kalau bukan didorong hasrat seksual? Padahal foto yang mereka tampilkan di Instagram bukanlah konten pornografi.
Sekarang mari kita buka lagi Google Trends. Saya mencari tahu apakah kata kunci ‘jilboob’ populer di internet. Jilboob sendiri berarti perempuan berhijab namun menggunakan pakaian ketat sehingga lekuk tubuhnya tampak jelas. Kata kunci relevan yang populer sangatlah menggambarkan fantasi seksual kebanyakan orang. ‘jilboob sma’ misalnya, artinya banyak orang yang ingin melihat foto gadis SMA berkerudung yang memakai pakaian ketat. Ada juga kata kunci ‘jilbab hot’ dan ‘jilboob ketat’ yang cukup populer dicari orang Indonesia di internet.
ADVERTISEMENT
Google Trends juga dapat melihat popularitas kata kunci yang diketikkan orang di YouTube. Kata kunci ‘jilboob’ cukup populer disandingkan dengan kata kunci ‘sange’, ‘goyang hot’, ‘grepe’, ‘mendesah’, dan ‘ciuman jilbab’. Hal ini membuktikan bahwa indentitas perempuan berhijab juga cukup populer dijadikan obyek hasrat seksual. Namun bukan berarti perempuan tanpa hijab tidak dijadikan obyek. Popularitas kata ‘telanjang’ di internet jauh lebih tinggi dibandingkan ‘jilboob’. Kata ‘telanjang’ sendiri relevan dengan ‘bigo telanjang’, ‘tiktok telanjang’ dan ‘yoga telanjang’ yang cukup populer. Kita tahu bahwa Bigo dan Tiktok adalah aplikasi yang memungkinkan seseorang menampilkan video dalam beberapa menit. Keduanya jamak diisi konten berupa perempuan bergoyang yang seringkali dijadikan obyek fantasi seksual.
Pornografi: Fenomena Gunung Es
ADVERTISEMENT
Pemerintah memang sudah memblokir banyak konten pornografi, tetapi tidak dengan yang beredar di media sosial. Di YouTube, konten berbau pornografi sangat mudah ditemukan. Memang tidak menampilkan langsung aksi hubungan badan, namun banyak rekaman yang dijadikan fantasi seksual. Banyak perempuan jilbab yang merekam dirinya sedang goyang lewat aplikasi Tiktok dan Bigo, yang tanpa sadar mereka sedang dilecehkan.
Begitupun di Instagram, banyak sekali akun-akun yang sengaja dibuat untuk menghimpun foto-foto perempuan cantik. Biasanya mereka hanya reupload dari pemilik asalnya, dengan jumlah followers-nya pun mencapai angka puluhan ribu. Sudah pasti mereka lakukan tanpa izin. Fotonya pun beragam, bergantung pada nama akunnya itu sendiri. Jika menyematkan kata ‘muslimah’, biasanya yang ditampilkan di feeds adalah foto-foto muslimah cantik. Ada juga akun menyematkan ‘jilboob’ atau ‘hijaboob’ yang menampilkan perempuan kerudung dengan pakaian ketat. Namun ada juga yang menampilkan foto gadis-gadis setengah telanjang, dan jumlah akunnya pun terbilang banyak. Dari akun-akun penghimpun gambar itulah kita akan temukan banyak sekali komentar bernada melecehkan.
ADVERTISEMENT
Lebih mengerikan lagi di Twitter. Konten pornografi bahkan jauh lebih mudah ditemukan di Twitter. Dengan mengetikkan kata kunci terkait dengan fantasi seksual saja akan ditemukan akun yang terang-terangan menampilkan pornografi. Jumlah followers-nya pun luar biasa. Akun yang berbasis di Indonesia juga sangat banyak, mulai dari fantasi seksual untuk perempuan berhijab hingga perempuan telanjang tanpa sehelai kain pun. Komentar-komentarnya bahkan jauh lebih melecehkan dibanding Instagram.
Sekarang kita tahu bahwa perilaku dan fantasi seksual yang tertutup rapat di balik kamar justru terungkap secara jujur dari data yang mereka rekam sendiri secara tidak sadar di internet. Kenyataan ini juga seharusnya menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan. Dalam hal ini tidak hanya berupaya melakukan sensor terhadap konten-konten berbau pornografi, karena sudah pasti percuma. Melainkan juga memikirkan ulang disain pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi yang tidak lagi tabu, melainkan edukatif, sehingga setiap orang dapat mempertanggung jawabkan perilaku seksualnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Grady Nagara. Peneliti Next Policy