Ramadhan dan Strata Sosial

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
28 April 2021 10:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang anak melaksanakan shalat tarawih pertama Ramadhan di Desa Kaliuling, Lumajang, Jawa Timur,  Senin (12/4/2021). Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anak melaksanakan shalat tarawih pertama Ramadhan di Desa Kaliuling, Lumajang, Jawa Timur, Senin (12/4/2021). Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ramadhan menjadi bulan yang dinanti oleh sebagian besar umat Islam. Simbol-simbol agama memeriahkan tempat-tempat umum dari alunan musik religi, pegawai toko berkerudung, iklan bernapaskan ramadhan, dan asosiasi bulan puasa dengan salah satu merk sirup terkenal.
ADVERTISEMENT
Ceramah di masjid menyerukan betapa mulianya bulan ini, serta anjuran agar memperbanyak ibadah: Salat, mengkhatamkan Al Qur’an, berzikir, sedekah, zakat, dan lain sebagainya. Ramadhan telah memunculkan para “sufi” yang menghabiskan banyak waktunya di altar-altar.
Dari seruan pemuka agama agar umatnya memanfaatkan Ramadhan untuk beribadah, ada hal yang luput dari pandangan kita: Tidak semua orang dapat menikmati ibadah ramadhan secara “optimal”.
Saya memberikan tanda kutip untuk menunjukkan bahwa ibadah yang optimal seringkali didefinisikan oleh kelas sosial yang beruntung. Kelas menengah muslim (saleh) perkotaan biasanya memiliki target ibadah khusus di bulan Ramadhan. Sebagian mereka menyebutnya dengan mutaba’ah yaumiah–saduran bahasa Arab yang artinya kurang lebih sama.
Jika di bulan-bulan biasa target membaca Al-Qur’an mereka adalah satu juz per hari (bahkan ada gerakan one day one juz), di bulan ramadhan target tersebut dapat dua hingga tiga kali lipatnya. Belum lagi sedekah dan salat yang peningkatannya lebih besar dibanding bulan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak ada yang salah dari apa yang mereka lakukan. Urusan ibadah memang pada dasarnya adalah wilayah pribadi. Namun apa yang saya soroti di sini adalah, ibadah bukan hanya soal manifestasi ajaran agama. Lebih dari itu, gejala masyarakat kita menunjukkan bahwa ibadah juga soal selera dan gaya hidup. Oleh karena itu, kesalehan adalah cerminan budaya yang diproduksi sekaligus direproduksi oleh strata sosial tertentu.
Selera ibadah muslim perkotaan berbeda dengan kalangan muslim desa dan muslim di kampung-kampung kota. Kelas menengah muslim perkotaan biasanya dicirikan dengan tingkat pendidikan relatif tinggi (pernah mengenyam studi di universitas) dan bekerja di area perkantoran. Dengan status sosial yang berbeda, baik kalangan muslim desa atau muslim kampung kota memiliki selera ibadah yang berbeda pula.
ADVERTISEMENT
Tadarusan dan berzikir bersama dengan suara keras mungkin lebih terasa di kalangan muslim desa dan kampung kota. Kalangan ini biasanya tidak mengenal istilah mutaba’ah yaumiah karena bagi mereka ibadah bukanlah target.
Memang klarifikasinya tidak sesederhana itu. Walakin, kenyataan bahwa selera ibadah berkaitan dengan posisi individu dalam strata sosial sangatlah terasa. Bunyi ayatnya sama, namun manifestainya yang berbeda-beda.
Saya mengamati bahwa perbedaan selera ibadah itu juga dipengaruhi oleh selera konsumsi atas konten-konten agama. Orang-orang di kampung lebih banyak mendengar ceramah ustaz atau kiai di masjid setempat. Berbeda dengan kelas menengah muslim kota yang saya amati lebih selektif dalam memilih masjid untuk mengaji, karena mempertimbangkan siapa yang menjadi penceramahnya.
Di era pandemi, kelas menengah muslim kota beralih ke pengajian virtual melalui aplikasi seperti Zoom, dengan penceramah yang lebih mudah diseleksi. Para ustaz perkotaan ini menjadi representasi gaya hidup kelas menengah muslim perkotaan. Sebagian besar mereka dapat menikmati ibadah ramadhan dengan “optimal” sebagaimana yang mereka pikirkan. Kelompok ini dapat dengan mudah menyerukan produktivitas kerja dan optimalisasi ibadah, padahal nature dari jam kerja mereka sangatlah memungkinkan untuk beribadah “optimal”.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ibadah “optimal” justru tidak begitu dapat dinikmati oleh muslim dengan posisi strata sosial di bawah, terutama mereka yang tinggal di kota. Saya sengaja memotret spesifik kota karena walaupun berada pada strata yang sama, desa-kota mengekspresikan situasi sosial yang berbeda, termasuk kehidupan agama sebagaimana saya jelaskan di atas.
Ruang perkotaan yang menuntut adanya kompetisi telah menyingkirkan orang-orang yang tidak beruntung. Kalangan muslim yang tidak beruntung ini biasanya datang dari desa untuk mengadu nasib, karena di desa mereka tidak memiliki kehidupan baik. Namun karena tidak dapat bersaing di pasar tenaga kerja perkotaan. Mereka menjadi kelompok pekerja dengan penghasilan rendah.
Sektor informal masih menjadi wajah tenaga kerja di kota-kota Indonesia, termasuk Jakarta. Kelompok ini tidak dapat terserap pasar tenaga kerja karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi. Akibatnya, penghasilan yang didapat sangat minim, dan membuat mereka menempati posisi strata sosial bawah.
ADVERTISEMENT
Kerja keras tidak serta-merta membuat mereka dapat naik kelas. Agar memenuhi kebutuhan sehari-hari, sering kali mereka harus bekerja lebih keras lagi hingga menghabiskan waktu dan tenaga fisik. Pekerjaan yang menghabiskan banyak energi dan waktu, membuat kalangan ini tidak masuk kualifikasi ibadah “optimal” yang didefinisikan oleh kelas menengah muslim perkotaan.
Peluang kalangan kelas bawah muslim perkotaan lebih kecil untuk dapat kuantitas ibadah yang banyak dibanding kelas di atasnya. Tentu ini bukan berarti mengecilkan kemampuan mereka. Karena sejatinya tetap dapat kita temukan beberapa orang yang jumlah ibadahnya luar biasa. Tapi saya meyakini jika dipotret secara statistik, terlihat signifikansi antara kelas bawah muslim kota dengan sedikitnya kuantitas ibadah mereka.
Terlalu sulit bagi mereka untuk membaca Al-Qur’an lebih dari tiga juz dan salat semalam suntuk, sedangkan fisik mereka terlalu lelah untuk bekerja. Ceramah keutamaan bulan ramadhan seperti pentingnya peningkatan kuantitas ibadah, serta keseimbangan bekerja dan ibadah tidak relevan dengan kelas bawah muslim kota. Sebaliknya, ceramah-ceramah umum seperti bersyukur, tawakal, surga, dan neraka akan lebih mudah diterima. Sekaligus menjadi penghibur dan penenang bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan dunia.
ADVERTISEMENT