Sisi Lain Defisit BPJS Kesehatan

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
31 Juli 2019 16:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan semakin cekak. Total defisit tahun ini diprediksi akan mencapai Rp 28 triliun berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT). Artinya, terjadi peningkatan defisit yang cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 9,1 triliun.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, masyarakat dianggap sebagai sumber masalahnya: jumlah iuran yang terlalu kecil dan ketidakpatuhan dalam membayar. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa masalah kepatuhan didominasi pada peserta yang bekerja di sektor informal atau memiliki upah tidak tetap.
Di Indonesia, mereka yang bekerja pada sektor informal memang jumlahnya lebih besar dibanding mereka yang bekerja di sektor formal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, sebanyak 58,4 persen tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal.
Dalam konteks kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS), sistem pembayaran bagi mereka yang di sektor informal adalah secara mandiri. Masalahnya, kebanyakan dari mereka membayar iuran hanya saat sakit dan membutuhkan pelayanan kesehatan.
Dengan mengandalkan sumber pembiayaan dari iuran, klaim Sri Mulyani sangatlah logis dan praktis. Logika sederhananya: kalau iuran terlalu kecil, maka jumlahnya harus dinaikkan. Soal kepatuhan, tinggal bagaimana BPJS Kesehatan melakukan langkah teknis untuk meningkatkan kepatuhan peserta dalam membayar iuran.
ADVERTISEMENT
Solusi ini yang tampak dipilih pemerintah. Meski tentu saja pemerintah menganggap bahwa kenaikan harus diiringi dengan perbaikan sistem. Mulai dari meningkatkan kepatuhan peserta dalam membayar iuran, perbaikan sistem rujukan, sampai dengan sistem penagihan.
Benarkah menaikkan iuran peserta dan perbaikan sistem dapat menjadi obat mujarab bagi BPJS Kesehatan yang sedang krisis? Tunggu dulu.
Masalah defisit yang dihadapi BPJS Kesehatan sering kali hanya dilihat secara permukaan. Padahal, krisis ini tidak lepas dari pelayanan kesehatan di Indonesia yang sangat bergantung pada logika pasar. Mari kita lihat dengan perspektif ini.
Logika Pasar dan Layanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Setidaknya, kita bisa lihat dari dua aspek: rumah sakit (RS) dan industri farmasi yang dikelola oleh swasta. Baik RS maupun industri farmasi yang dikelola negeri atau swasta tentu saja tidak akan sepenuhnya mempertimbangkan pelayanan publik, sebab, yang diutamakan adalah profit. Dengan demikian, pelayanan kesehatan mau tidak mau diposisikan sesuai dengan skema pasar.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Repbulik Indonesia (RI) tahun 2017, Indonesia memiliki 2.831 RS dengan komposisi 67 persen diselenggarakan oleh swasta. Sisanya, 27 persen oleh pemerintah daerah dan 9 persen oleh pemerintah pusat. Dalam konteks penyediaan jaminan sosial, sebanyak 65 persen dari total RS swasta di Indonesia telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2018.
Meningkatnya kerja sama RS swasta dengan BPJS Kesehatan terlihat bermakna positif. Namun, masalah yang terjadi justru timbul konflik antara logika pasar yang dimiliki RS, dengan prinsip BPJS Kesehatan yang menekankan pada pelayanan publik. Titik konflik yang paling terlihat adalah masalah klaim pembayaran atas layanan kesehatan untuk peserta JKN-KIS yang dilakukan RS kepada BPJS Kesehatan.
Untuk memahaminya, kita harus tahu bahwa skema pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagih RS adalah Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs). Skema ini mengganti pay-for-service, di mana pembayaran dilakukan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, dalam INA-CBGs, pendekatannya adalah prospektif, di mana pembayaran dilakukan atas layanan yang jumlahnya sudah diketahui. Istilah lainnya, INA-CBGs ini menggunakan pembayaran sistem 'paket' berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan untuk satu kelompok diagnosis. Misalnya untuk cuci darah, tarif 'paket' yang dikenakan untuk RS kelas C adalah Rp 450-600 ribu.
Sekilas, skema ini memang lebih cost effective, terutama bagi BPJS Kesehatan. Sebab, risiko pembiayaan tidak sepenuhnya ditanggung BPJS Kesehatan, melainkan juga pihak RS sendiri. Selain itu, skema pembayaran ini diyakini dapat menekan RS untuk berlaku bijak.
Padahal, di sinilah konflik akan muncul. RS swasta yang mengedepankan profit tentu tidak akan mau menanggung risiko dengan menambal kekurangan biaya layanan yang tidak ditutupi BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Meskipun BPJS Kesehatan mengklaim bahwa pembayaran yang dilakukan selalu di atas rata-rata, kenyataannya masih banyak RS yang bermasalah. Masalah yang terlihat terutama pada buruknya kualitas pelayanan, pembatasan akses layanan, dan tidak sedikit pula perlakuan diskriminatif terhadap peserta JKN-KIS.
Ilustrasi seseorang dirawat di rumah sakit Foto: Shutterstock
Cerita tentang keluhan pasien JKN-KIS atas pelayanan RS selalu ada setiap tahunnya dan mewarnai berita-berita di media. Hal ini terjadi karena RS tidak ingin menanggung kerugian yang menghambat mereka untuk mendapatkan profit.
Padahal, pelayanan kesehatan yang baik bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan. Seiring dengan meningkatnya kepercayaan, bisa menjadi insentif bagi masyarakat untuk lebih patuh dalam membayar iuran. Jadi, sebetulnya ini bisa jadi jawaban atas masalah kepatuhan yang sedang dikeluhkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang juga penting adalah: biaya layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan sangat bergantung pada supply dari industri farmasi. Selain biaya penanganan, ketersediaan alat medis, termasuk obat-obatan juga pasti akan berpengaruh dalam perhitungan unit cost untuk satu kelompok diagnosis.
Pelayanan kesehatan yang bergantung pada logika pasar membuat biaya yang ditanggung juga semakin besar. Pelayanan RS swasta tentu saja akan lebih besar dibandingkan dengan pelayanan RS milik pemerintah. Tidak hanya itu, penyediaan obat-obatan juga bergantung pada industri yang juga menggunakan logika korporasi.
Di Indonesia, industri farmasi yang tersedia sebanyak 216 perusahaan pada tahun 2016. Masalahnya bukan hanya sebagian besar pengelolaannya pada korporasi swasta, melainkan juga bahan baku dalam pembuatan obat sebagian besarnya masih diimpor.
ADVERTISEMENT
Sehingga, tidak hanya soal mengedepankan profit, melainkan juga biaya produksi obat juga semakin mahal. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa mekanisme pasar obat tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh negara. Pemerintah tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan harga obat.
Padahal, harga obat ini akan menjadi dasar perhitungan INA-CBGs. Tarif INA-CBGs akan bergantung pada mekanisme pasar obat dan layanan kesehatan, yang apabila terjadi kenaikan, tentu saja tarifnya akan semakin meningkat. Maka sangat wajar, jika beban BPJS Kesehatan semakin besar pula, setidaknya hal ini terlihat dari nilai defisit yang semakin besar setiap tahunnya.
Catatan Penting
Tarif INA-CBGs adalah dasar untuk menetapkan besaran iuran peserta JKN-KIS. Dengan penjelasan di atas, kita akan lihat keterpautan yang sangat erat antara beban iuran yang harus ditanggung masyarakat dengan pasar bebas layanan kesehatan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, masyarakat juga harus dihadapkan dengan buruknya kualitas pelayanan kesehatan karena ketergantungannya pada mekanisme pasar. Sebab, dalam mekanisme pasar, mereka yang tidak mampu bersaing akan tersingkirkan.
Oleh sebab itu, keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran kepesertaan harus ditinjau ulang. Ada masalah kronis lainnya yang membuat sistem jaminan sosial kita semakin krisis: pelayanan kesehatan yang sarat free market dan lemahnya kontrol pemerintah.
Andai sisi ini bisa diatasi pemerintah, seharusnya iuran tidak perlu dinaikkan, bahkan sangat mungkin jika diturunkan. Dampak positif berikutnya adalah kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan, terutama di RS, juga semakin meningkat.
Catatan penting lainnya adalah pemerintah harus peka terhadap kemiskinan dan ketimpangan sosial yang masih menjadi problem serius di Indonesia. Wajah ketimpangan pendapatan kita masih berada di kisaran 0,4 berdasarkan rasio gini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Lembaga Keuangan Swiss, Credit Cuisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Ketimpangan di Indonesia adalah terbesar keempat setelah Rusia, India, dan Thailand.
Jangan sampai defisit BPJS Kesehatan ini dibebankan kepada masyarakat yang justru lebih membutuhkan akses layanan kesehatan yang layak dari negara.
*Grady Nagara. Manajer Program NEXT Policy