Trotoar untuk Pedagang Kaki Lima

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
28 September 2019 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Trotoar di Jalan Sudirman. Foto: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Trotoar di Jalan Sudirman. Foto: Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bolehkah pedagang kaki lima (PKL) berjualan di trotoar? Kalau boleh, bukankah mereka akan 'menyandera' hak-hak pejalan kaki yang semestinya merasakan aman dan nyaman saat berjalan di trotoar? Pertanyaan ini menjadi ramai di publik pasca Gubernur Anies Baswedan mengeluarkan wacana akan mengakomodasi PKL untuk berjualan di atas trotoar Jakarta beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi cenderung berpendapat boleh, tetapi, jawabannya tidak sesederhana itu. Bagi saya, ini adalah masalah kompleks yang jawabannya tidak hitam-putih. Mengapa?
Yang jelas ini bukan soal kontradiksi antara kelas menengah atas dengan kelas menengah ke bawah. Memang benar, PKL adalah profesi yang didominasi oleh kelas menengah ke bawah. Tetapi, pejalan kaki pun kebanyakan adalah mereka yang berada di kelas yang sama dengan para PKL, dan juga orang-orang dari kelas menengah ‘tanggung’ yang harus berpikir berkali-kali sebelum membuat keputusan untuk membeli mobil. Sangat jarang kita temukan orang-orang kaya yang menjadikan ‘kaki’ -- meminjam istilah Gubernur Anies -- sebagai alat transportasi utamanya.
Ini semacam perebutan hak-hak yang bisa diatasnamakan sebagai ‘rakyat kecil’. Para pejalan kaki, maupun PKL bisa dibilang masuk ke dalam golongan ini. Itulah mengapa perdebatan di antara kedua kubu menjadi sangat sengit.
ADVERTISEMENT
Mereka yang membolehkan, menganggap bahwa trotoar adalah ruang bersama yang seharusnya bisa mengakomodasi baik pejalan kaki maupun PKL. Sebab, menurut mereka, para PKL ini juga membutuhkan penghidupan dari aktivitas ekonominya. Sebaliknya, mereka yang tidak setuju, mengatakan bahwa PKL akan menyandera akses pejalan kaki. Beberapa kalangan bahkan menyebut bahwa para PKL ini membuat trotoar jadi kotor dan tidak nyaman.
Rasa geram di masing-masing kubu ini dapat dipahami karena, tata ruang kota di Jakarta yang dibentuk sejak awal tidak mengakomodasi kepentingan pejalan kaki maupun PKL. Ide tentang megapolitan yang menghendaki Jakarta menjadi pusat kapital dan bisnis telah mengabaikan banyak hak warga kota. Padahal, wargalah yang sehari-hari beraktivitas dan seharusnya mereka yang membentuk kota itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, Jakarta bukanlah kota yang ramah bagi pejalan kaki. Sebuah studi yang diterbitkan di The New York Times tahun 2017 menyebut bahwa, hanya tujuh persen dari 4.500 mil jalan di Jakarta yang tersedia trotoar. Masih menurut studi yang diterbitkan The New York Times, rata-rata orang berjalan kaki dalam sehari di Jakarta hanya 3.513 langkah. Ini adalah angka yang kecil sekali bila dibandingkan dengan rata-rata kota di negara lain yang mencapai lebih dari 6.000 langkah.
Belum lagi angkutan umum yang semrawut dan banyak trayek yang saling tumpang tindih, terutama untuk moda seperti angkutan kota (angkot) dan bus-bus skala menengah. Tumpang tindih trayek ini membuat banyak angkutan umum yang jauh dari keterjangkauan warga karena lebih mengejar trayek-trayek gemuk dan menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Sudah infrastruktur trotoarnya minim, akses ke angkutan umum juga sulitnya minta ampun. Makanya tidak heran jika masyarakat di Jakarta malas untuk berjalan kaki. Menggunakan kendaraan pribadi -- terutama sepeda motor -- bisa menghemat biaya dan waktu berkali-kali lipat dibanding harus berjalan kaki dan naik transportasi umum. Ini jelas pilihan yang sangat logis.
Di sisi yang lain, fenomena PKL di kota Jakarta tidak lepas dari gempuran tenaga kerja di sektor informal akibat ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak sepadan dengan ledakan populasi. Orang-orang dari luar Jakarta, terutama pedesaan dan kota-kota kecil, bermigrasi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Masalahnya, sebagian besar para pendatang ini justru bekerja di sektor informal. Angkanya mencapai 75 persen dari total pendatang tahunan – biasanya di masa lebaran Idul Fitri.
ADVERTISEMENT
Geliat ekonomi PKL dan pekerja informal ini memang punya korelasi yang kuat. Paramita dan Rizal (2018) menemukan bahwa rata-rata pekerja informal di perkotaan Indonesia adalah 89,3 persen. Angka ini mirip dengan rata-rata pengusaha skala mikro (omset < 300 juta) di perkotaan Indonesia yang jumlahnya 87 persen dari total unit usaha yang ada. Dengan kemiripan itu, bisa dipastikan bahwa sebagian besar pengusaha skala mikro adalah pekerja informal alias tidak punya badan hukum. Tentu saja PKL masuk ke dalam kelompok ini.
Katakanlah jika revitalisasi trotoar di Jakarta ke depan membuat garis demarkasi yang jelas antara pejalan kaki dan PKL. Trotoar difungsikan penuh hanya bagi pejalan kaki, sedangkan PKL disediakan tempat khusus untuk berdagang yang tidak memakan trotoar. Tapi buat saya, itu tidak adil bagi PKL. Itu sama saja ‘membunuh’ aktivitas ekonomi mereka yang justru menjadikan pejalan kaki dan pengguna transportasi yang berlalu-lalang sebagai ceruk pasarnya.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, mau ditempatkan di mana para PKL tersebut di kota Jakarta yang sudah begitu sempit ini? Beberapa lokasi khusus untuk berdagang yang disediakan pemerintah justru semakin menjauhkan mereka dari pangsa pasar utamanya.
Tahun 2012 yang lalu, saya pernah melakukan observasi lapangan di pasar Tanah Abang. Waktu itu, saya lihat banyak pedagang yang lebih memilih berjualan di jalanan dan trotoar, dibanding di ruko-ruko yang tersedia di dalam gedung. Dari beberapa pedagang skala mikro yang saya wawancarai, jawaban mereka hampir seragam. Usaha mereka jauh lebih sepi dari pelanggan jika di dalam gedung dibanding dengan dekat kerumunan orang yang notabene adalah di jalanan dan trotoar.
Ini jelas masalah pilihan rasional mereka. Kenyataan bahwa PKL lebih cenderung mendekat ke kawasan yang dilalui banyak orang tidak bisa dipungkiri. Sejauh ini, trotoar adalah tempat yang paling menguntungkan bagi para PKL itu untuk menjajakan barang dagangannya.
ADVERTISEMENT
Redefinisi Trotoar
Sudah sejak lama kota-kota di Eropa seperti London dan Paris menjadikan trotoar sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Mereka menempatkan pejalan kaki sebagai komponen paling penting dalam sistem lalu-lintas perkotaan.
Di Indonesia, trotoar adalah fasilitas pejalan kaki yang semestinya ditempatkan di titik kepadatan penduduk yang tinggi, serta menjadi penghubung bagi angkutan umum, dan fasilitas pelayanan publik lainnya. Sialnya di Jakarta, fasilitas trotoar ini masih jauh dari kata layak. Boro-boro trotoar di Jakarta dapat mengakomodasi hak penyandang disabilitas, pejalan kaki pada umumnya saja masih tidak terfasilitasi dengan baik.
Saya tidak ingin membenturkan kepentingan pejalan kaki dan PKL. Keduanya harus diakomodasi sesuai dengan ‘kondisi nyata’ yang sedang mereka rasakan. Ingat, kata kuncinya adalah ‘kondisi nyata’, yang dalam isu ini hanya bisa dirasakan dan disuarakan sendiri oleh pejalan kaki dan PKL.
ADVERTISEMENT
Meminjam konsep yang diperkenalkan sosiolog cum filsuf kenamaan Prancis, Henri Lefebvre, isu trotoar ini semestinya ditempatkan dalam konsep hak atas kota (right to the city). Hak yang dimaksud tidak hanya soal aksesibilitas terhadap layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Lebih dari itu, konsep hak atas kota menghendaki bahwa warga punya hak untuk berpartisipasi dalam merencanakan dan membangun kota. Dalam isu ini, berarti warga punya hak untuk merencanakan pembangunan trotoar, termasuk ikut mendefinisikan kembali ‘apa itu trotoar’ sesuai dengan konteks kekinian yang mereka rasakan sendiri.
Sayangnya, yang terjadi saat ini dalam perdebatan tentang trotoar adalah saling klaim kebenaran. Mereka yang kontra kebijakan gubernur menganggap para PKL itu akan mengganggu akses dan membuat trotoar menjadi kumuh, kotor, dan tidak nyaman. Ini jelas pandangan yang sarat bias kelas.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, pihak pemerintah yang ingin mengakomodasi PKL di trotoar juga menegaskan suara-suara yang kontra terhadap dirinya. Padahal, suara kontra itu juga adalah kepentingan ‘rakyat kecil’ yang menginginkan trotoar berfungsi maksimal, karena itu adalah hak pejalan kaki. Meski gubernur Anies menganggap bahwa ini adalah perihal keadilan ruang, yang terjadi justru ketidakadilan karena kebijakan itu dipaksakan sepihak.
Yang benar adalah, baik pihak pejalan kaki maupun PKL harus difasilitasi oleh pemerintah untuk berpartisipasi dalam menentukan nasib trotoar ke depannya. Partisipasi ini bukan hanya pada aspek teknis, melainkan juga secara lebih substantif. Misalnya, pihak-pihak terkait dilibatkan sejak dalam perumusan anggaran revitalisasi trotoar, seperti gagasan participatory budgeting di kota Porto Alegre, Brasil.
Keterlibatan substantif inilah yang mencerminkan keadilan ruang, bahwa warga punya hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, bukan ditentukan secara sepihak. Apalagi dengan serta-merta melihat kota-kota maju di negara lain sebagai contoh, tanpa melihat kompatibilitasnya dengan konteks yang dirasakan warga Jakarta.
ADVERTISEMENT
Marilah kita melepas diri dari gagasan ortodoks bahwa trotoar adalah sepenuhnya milik pejalan kaki, yang artinya netral dari PKL. Trotoar bisa didefinisikan bersama oleh warga Jakarta sendiri sesuai dengan konteks nyata yang mereka rasakan. Agar nantinya konsep trotoar yang baru lebih mencerminkan keadilan ruang.
Saya pun tidak ingin membenturkannya dengan aturan yang berlaku, karena sebetulnya, aturan-aturan itu (seharusnya) bisa direvisi agar lebih sesuai dengan kepentingan publik. Tinggal bagaimana keberpihakan para perumus aturannya itu sendiri.