Kesalahan Tata Bahasa dalam Revisi UU MD3

Grammar Nazi
It is not truth that matters, but right grammar.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2018 15:40 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grammar Nazi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung DPR/MPR RI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR/MPR RI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati revisi UU MD3 yang disahkan dalam paripurna, Senin (12/2) kemarin. Revisi UU MD3 tersebut memicu berbagai reaksi dari semua kalangan masyarakat. Ada yang berpendapat DPR menjadi kebal hukum dan antikritik; ada pula yang menganggap bahwa UU MD3 mengancam demokrasi kita.
ADVERTISEMENT
Kenapa revisi UU MD3 menjadi persoalan yang sangat kontroversial? Jawabannya bisa ditemukan pada pasal-pasal yang baru saja direvisi. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat pemilihan kata yang tidak tepat, dan tata bahasa yang mengandung ambiguitas.
Berikut pasal-pasal dalam revisi UU MD3 yang menggunakan pemilihan kata tidak tepat:
Pasal 73
3. Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah tidak mau hadir memenuhi panggilan setelah 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.
Tidak mau, merujuk KBBI berarti tidak ingin atau sama dengan menolak.
Kesalahan di sini adalah karena menggunakan kata “mau” yang membuat gabungan kata dalam pasal tersebut langsung bersifat menghakimi atau menganggap ketidakhadiran dengan alasan apapun itu sebagai keengganan atau ketidakpatuhan.
ADVERTISEMENT
Beda halnya apabila hanya menggunakan “tidak” saja.
4. Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Polri.
Dalam kalimat di atas, panggilan paksa, lalu dilanjutkan dengan menggunakan, yang digabungkan dengan subjek dua institusi DPR dan Polri, membuat makna secara keseluruhannya menjadi negatif. Dengan adanya frasa panggilan paksa, mengarahkan kita pada pemahaman bahwa dua institusi yang ada di dalam kalimat tersebut merupakan institusi yang biasa melakukan panggilan paksa.
Kemudian frasa dengan menggunakan, membuat kita memaknai Polri sebagai alat. Dengan menggunakan lebih cocok untuk kalimat seperti ini: Fadli memasak dengan menggunakan panci. Kalimat di atas akan lebih tepat jika panggilan paksa diganti dengan pemanggilan, dengan menggunakan bisa diganti melalui, atau lewat bantuan.
ADVERTISEMENT
6. Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Polri dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat untuk paling lama 30 hari.
Polri atau Kepolisian Republik Indonesia adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya).
Sementara, pada pasal di atas tertulis Polri dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat.
Menyandera maksudnya menawan orang untuk dijadikan sandera. Pekerjaan ini biasa dilakukan oleh penjahat, teroris, atau pelaku kriminal lainnya. Namun, dalam pasal tersebut pekerjaan menyandera bisa dilakukan oleh Polri.
Pasal Kontroversial dalam Revisi UU MD3 (Foto: Faisal N/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pasal Kontroversial dalam Revisi UU MD3 (Foto: Faisal N/kumparan)
Pasal 122
Dalam melaksanakan fungsi, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:
k. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang peseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
ADVERTISEMENT
Langkah lain membuat makna pasal di atas mengalami perluasan atau tidak memiliki batas. Langkah berarti sikap, tahap, tindak, perbuatan. Sementara, penggabungan kata langkah lain bisa merujuk kepada langkah apapun selain langkah hukum.
Jadi tidak bisa disalahkan bila ada langkah penculikan, penangkapan, atau langkah lain.
Pasal 224
1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena penyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Nah, pasal di atas malah membangun makna yang lebih mengerikan lagi. Tidak dapat dituntut di depan pengadilan, artinya, atas dasar perbuatan apapun yang membuat individu dituntut, tidak berlaku untuk DPR karena pasal ini.
ADVERTISEMENT
Pasal 245
Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehoramatan Dewan (MKD).
Kesalahan di pasal ini adalah pada frasa harus mendapatkan. Harus artinya patut; wajib; mesti. Jadi, tidak bisa tidak atas dasar apapun pemanggilan anggota DPR harus izin tertulis dari presiden, sekalipun itu mendesak.
Itu beberapa kesalahan yang menurut penulis menyebabkan pasal-pasal tersebut menimbulkan berbagai reaksi penolakan. Tapi apapun maksud dari revisi itu sebenarnya, penulis hanya berusaha memaknai sebisanya. Ya, barangkali saja DPR punya maksud berbeda dari yang penulis uraikan.